PANDUAN
SHALAT WITIR
Segala puji
bagi Allah, Rabb yang mengatur malam dan siang. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pada
kesempatan kali ini kami akan menyajikan panduan singkat shalat witir.
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Witir
secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya
Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410 dan
Muslim no. 2677)
Sedangkan
yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara
shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah
penutup shalat malam. Mengenai
shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak,
para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir
adalah bagian dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari
shalat lail.
Hukum Shalat
Witir
Menurut
mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang
amat dianjurkan). Namun ada
pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa
shalat witir itu wajib bagi orang yang punya kebiasaan melaksanakan
shalat tahajud.[1] Dalil pegangan beliau barangkali adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah
akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan
Muslim no. 751)
Waktu
Pelaksanaan Shalat Witir
Para ulama
sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar.
Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh (terbit fajar), maka itu
tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ
صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat
malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan
masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup)
bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990
dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar
mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ
فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »
“Barangsiapa
yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir shalat malamnya adalah
witir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.
Dan jika fajar tiba, seluruh shalat malam dan shalat witir berakhir, karenanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat witirlah kalian
sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Lalu
manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya,
waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam
terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى
السَّحَرِ.
“Kadang-kadang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam,
pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau
mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR.
Muslim no. 745)
Disunnahkan
–berdasarkan kesepakatan para ulama- shalat witir itu dijadikan akhir
dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah
akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan
Muslim no. 751)
Yang
disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat) bangun di akhir
malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam, maka hendaklah ia
mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin
‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ
لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ
فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa
di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia
witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir
malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri
(oleh para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no.
755)
Dari Abu
Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ »
قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ
آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ
لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ” Kapankah kamu
melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan
malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah kamu melaksanakan witir?”
Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata
kepada Abu Bakar, “Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati.” Dan kepada Umar
beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud no.
1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Jumlah
Raka’at dan Cara Pelaksanaan
Witir boleh
dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir
dengan satu raka’at.
Cara
seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu
raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ
فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Witir
adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan
witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang
hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang
siapa yang hendak melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.”
(HR. Abu Daud no. 1422. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kedua: witir
dengan tiga raka’at.
Di sini
boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2]
mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu
raka’at kemudian salam.
Dalil cara
pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ
إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau
tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
Dalil cara
kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا
فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah
dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap
dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: witir
dengan lima raka’at.
Cara
pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus dan
tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah,
ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ
فِى آخِرِهَا.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga
belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima
raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at
terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir
dengan tujuh raka’at.
Cara
pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali
pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at keenam, tidak langsung
salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud
pada raka’at ketujuh dan salam. Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan
sembilan raka’at.
Kelima: witir
dengan sembilan raka’at.
Cara
pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali
pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, tidak langsung
salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at kesembilan. Kemudian
tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.
Dalil
tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah
mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ
أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ
رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ
وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى
التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ
يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا
يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ
فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ
أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ
فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Kami
dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah
membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan
berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan
rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya
dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam.
Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian
beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau
mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau
shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai
anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan,
beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya
sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan
wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)
Qunut Witir
Tanya: Apa
hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Jawab: Tidak
masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun
pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat
witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya
setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau
meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka
itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu
dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu
juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut
pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a
qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan
bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[2]]
Do’a qunut
witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan
bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat
witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ
مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ
مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini
fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik
lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho
‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya
Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk,
dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan,
uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku
apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang
telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan
kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau
tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai
no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bagaimana
Jika Luput dari Shalat Witir?
Tanya: Apakah
shalat witir itu wajib? Apakah kami nanti berdosa jika suatu hari kami
mengerjakan shalat tersebut dan di hari yang lainnya kami tinggalkan?
Jawab: Hukum
shalat witir adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Oleh karenanya sudah
sepatutnya setiap muslim menjaga shalat witir ini. Sedangkan orang yang
kadang-kadang saja mengerjakannya (suatu hari mengerjakannya dan di hari lain
meninggalkannya), ia tidak berdosa. Akan tetapi, orang seperti ini perlu
dinasehati agar ia selalu menjaga shalat witir. Jika suatu saat ia luput
mengerjakannya, maka hendaklah ia menggantinya di siang hari dengan jumlah
raka’at yang genap. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput dari
shalat witir, beliau selalu melakukan seperti itu. Sebagaimana hal ini terdapat
dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
“Jika beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat
melakukannya di malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua
belas rakaat” (HR. Muslim).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya melaksanakan shalat malam sebanyak
sebelas raka’at. Beliau salam setiap kali dua raka’at, lalu beliau berwitir
dengan satu raka’at. Jika luput dari shalat malam karena tidur atau sakit, maka
beliau mengganti shalat malam tersebut di siang harinya dengan mengerjakan dua
belas raka’at. Inilah maksud dari ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tadi. Oleh
karena itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan shalat di malam hari sebanyak
lima raka’at, lalu ia ketiduran atau luput dari mengerjakannya, hendaklah ia
ganti shalat tersebut di siang harinya dengan mengerjakan shalat enam raka’at,
ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at. Demikian pula jika seseorang biasa
shalat malam tiga raka’at, maka ia ganti dengan mengerjakan di siang harinya
empat raka’at, ia kerjakan dengan dua kali salam. Begitu pula jika ia punya
kebiasaan shalat malam tujuh raka’at, maka ia ganti di siang harinya dengan
delapan raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at.
Hanya Allah
yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
para sahabatnya. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’,
ditandangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku Ketua,
Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku Wakil Ketua, Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah
bin Ghodyan selaku Anggota, pertanyaan kedua no. 6755, 7/172-173]
Sudah Witir
Sebelum Tidur dan Ingin Shalat Malam Di Akhir Malam
Tanya: Apakah sah
shalat sunnah yang dikerjakan di seperti malam terakhir, namun sebelum tidur
telah shalat witir?
Jawab: Shalat
malam itu lebih utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir karena sepertiga
malam terakhir adalah waktu nuzul ilahi (Allah turun ke langit dunia).
Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia hingga tersisa
sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman (yang artinya): ‘Adakah
seorang yang meminta? Pasti Aku akan memberinya. Adakah seorang yang berdoa?
Pasti Aku akan mengabulkannya. Dan adakah seorang yang memohon ampunan? Pasti
Aku akan mengampuninya’. Hal ini berlangsung hingga tiba waktu fajar.” (HR.
Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat di
sepertiga malam terakir adalah sebaik-baiknya amalan. Oleh karena itu, lebih
utama jika shalat malam itu dikerjakan di sepertiga malam terakhir. Begitu pula
untuk shalat witir lebih utama untuk dijadikan sebagai akhir amalan di malam
hari. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah shalat witir ”
(HR. Bukhari, dari Abdullah bin ‘Umar).
Jadi, jika seseorang telah mengerjakan
witir di awal malam, lalu ia bangun di akhir malam, maka tidak mengapa jika ia
mengerjakan shalat sunnah di sepertiga malam terakhir. Ketika itu ia cukup
dengan amalan shalat witir yang dikerjakan di awal malam karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengerjakan dua witir dalam satu malam.
[Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan
no. 41, 65/19]
Semoga
panduan shalat witir ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan
berkat karunia Allah Ta’ala pada hari Jum’at, 23 Jumadil Awwal 1431 H
(07/05/2010) di Panggang-GK
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Al Ikhtiyarot, ‘Alaud diin Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin ‘Abbas Al Ba’li Ad Dimasyqi, hal. 57, Mawqi’ Misykatul Islamiyah
[2] Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/128688
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan