RADIO DEWI ANJANI

RUKUN KALAM 2


                                                                 RUKUN KALAM 2

Oleh: Wildan Kurnia



       3.      Mufid (Dapat Memberikan Pemahaman)

               Rukun kalam yang ketiga mufid, yang berasal dari kalimah اَلْفَيْدُ  yang maknanya (secara bahasa): اِسْتِحْدَاثُ الْمَالِ وَ الْخَيْرِ   (membuat/menghasilkan harta dan kebaikan).  Syaikh ar-Razi Rahimahullah berkata bahwa mufid itu dibagi menjadi empat:


a.      Mufid yang lafadzh dan maknanya “tersusun” (lebih dari satu), seperti: اَلْاِنْسَانُ حَيَوَانٌ   (Manusia adalah spesies hewan) dan غُلَامُ زَيْدٍ   (Budak Zaid). Pada contoh tersebut, memiliki lafadzh yang tersusun dan makna yang tersusun pula, yaitu: “Manusia (1) – Hewan (2)” dan “Budak (1) – Zaid (2).”

b.      Mufid yang lafadzh dan maknanya “mufrad” (tidak tersusun), seperti: اَلْوَحْدَةُ   (Satu), النُقْطَةُ   (titik), مَسْجِدٌ   (Masjid) dan lain-lain.

c.       Mufid yang lafadzhnya “mufrad” sedangkan maknanya “tersusun,” contohnya: اِنْسَانٌ   (Manusia secara umum), مَسَاجِدُ   (Masjid-masjid) dan lain-lain.

d.      Mufid yang lafadzhnya “tersusun” sedangkan maknanya “mufrad,” contohnya: نِصْفُ الْاِثْنَيْنِ   (Setengah dari dua). Lafadzh نِصْفُ الْاِثْنَيْنِ meskipun tersusun atas dua kalimah tetapi maknanya cuma satu yaitu tertuju kepada angka “satu.”

           Dari keempat macam Mufid ini, melihat bahwa keempatnya مِنْ غَيْرِ جِهَةِ التَّاْلِيْفِيَّةِ   (tidak ditinjau dari sisi susunannya), maka bukan mufid semacam ini yang dikehendaki dalam rukun kalam. (Lihat: Tasywiq al-Khilan, hal. 6., Asymawi, hal. 3).

          Sedangkan menurut istilah Nahwu, Mufid adalah: 

اَلْمُفِيْدُ هُوَ مَا اَفَادَ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ مِنَ الْمُتَكَلِّمِ وَالسَّامِعِ عَلَيْهَا
Mufid adalah ungkapan/ucapan berfaidah (memberikan kepahaman) dengan kepahaman yang sempurna, yang mana diamnya mutakallim (orang yang berbicara) dan sami’ (pendengar) terhadapnya dianggap baik.
           Contohnya: قَامَ زَيْدٌ   (Zaid telah berdiri). Dalam contoh tersebut sudah memberikan kepahaman  makna, yaitu “berdirinya Zaid”, sehingga pihak Mutakallim dan Sami’ diam, karena saat Mutakallim mengucapkan berita itu, pihak Sami’ sudah paham maksudnya.


Ciri-Ciri Lafadzh Bisa Dianggap Mufid

           Para ulama Nahwu menganggap suatu ungkapan/ucapan sebagai ucapan yang sudah mufid (memberikan kepahaman makna) apabila ucapan tersebut terdiri dari:

a.      Mubtada’ sudah menyertakan Khobarnya.
b.      Fi’il sudah menyertakan fa’ilnya.
c.       Fi’il sudah menyertakan naibul fa’ilnya
d.      Fi’il syarat sudah menyertakan jawab syaratnya.
e.      Isim fi’il sudah menyertakan Fa’ilnya.
f.        Isim maushul sudah menyertakan shilahnya.
g.      Fi’il qasam sudah menyertakan jawab qasamnya.

           Sebagian ulama seperti  Syaikh Sibawaih, Syaikh Ibnu Hisyam dan Syaikh Kholid Rahimahumullah berpendapat bahwa mufid dalam kalam haruslah ‘tajdidul faidah’ (pemahaman yang baru didapat oleh sami’), sehingga ungkapan/ucapan yang sudah maklum artinya di kalangan umum tidak bisa disebut kalam (menurut mereka). Jadi ungkapan seperti: اَلسَّمَاءُ فَوْقَنَا   (Langit di atas kita), اَلْاَرْضُ تَحْتَنَا   (Tanah di bawah kita), النَّارُ حَارٌّ   (Api panas/membakar) tidak bisa disebut mufid, yang pada gilirannya juga tidak bisa disebut kalam.

          Sedangkan menurut pendapat yang Rajih (unggul), bahwa mufid dalam kaam tidak disyaratkan tajdidul faidah, sehingga mereka mengatakan sebagai ungkapan mufid pada contoh-contoh di atas, walaupun sudah maklum maknanya oleh kalangan umum. Ulama yang berpendapat demikian diantaranya Syaikh Abu Hayyan dan al-Ashfihani Rahimahumallah. 

           Perlu diketahui bahwa, jika kalam yang diucapkan sudah dimaklumi oleh pendengar, seperti ungkapan اَلسَّمَاءُ فَوْقَنَا   (Langit di atas kita), maka yang dikehendaki oleh mufid bukanlah memberikan pengetahuan (informasi) baru yang belum diketahui pendengar, melainkan اِلْتِفَاتُ النَّفْسِ اِلَيْهَا   (sekedar menarik perhatian pendengar). (Lihat: Tasywiq al-Khilan, hal. 5 dan 9).

Catatan:

v  Suatu ungkapan berupa fi’il muta’adi beserta fa’ilnya tanpa menyebutkan maf’ul bih tetap dikatakan sebagai ungkapan mufid menurut ulama Nahwu.
Contohnya: ضَرَبَ زَيْدٌ   (Zaid telah memukul).


v  Jumlah berupa Shilahnya Maushul, jumlah Washfiyyah (yang menjadi sifat), jumlah Haliyah (yang menjadi hal), jumlah Syarthiyyah (yang menjadi Syarat), jumlah Qasamiyyah (yang menjadi Qasam), menurut ulama nahwu belum dikatakan sebagai ungkapan/ucapan mufid, sebab jumlah berupa Shilah tanpa menyertakan isim maushul, jumlah Washfiyyah tanpa menyertakan Maushuf, jumlah Haliyah tanpa menyertakan Shohibul hal, jumlah Syarthiyyah tanpa menyertakan jawab syarat, jumlah qasamiyyah tanpa menyertakan jawab qasam, belum dipahami maknanya.

Contoh jumlah Shilah: زَيْدٌ الَّذِى قَامَ اَبُوْهُ   (Zaid orang yang berdiri bapaknya)
Contoh jumlah Washfiyyah; رَاَيْتُ رَجُلًا يَذْهَبُ اَبُوْهُ   (Aku telah melihat laki-laki yang bapaknya pergi)
Contoh jumlah Haliyah; رَاَيْتُ زَيْدًا يَذْهَبُ اَبُوْهُ   (Aku telah melihat Zaid yang bapaknya pergi)
Contoh jumlah Syarthiyyah: اِنْ قَامَ زَيْدٌ قَامَ خَالِدٌ   (Jika Zaid berdiri maka Kholid pun berdiri)
Contoh jumlah Qasamiyyah: اَقْسَمْتُ بِاللهِ لَاَفْعَلَنَّ كَذَا   (Aku bersumpah  demi  Allah,  sungguh aku akan melakukan hal demikian).



2            4.      Wadha’ (Menggunakan Bahasa Arab)

            Secara bahasa الْوَضْعُ   artinya: اَلْوِلَادَةُ   (Melahirkan), contoh penggunaannya seperti ungkapan: وَضَعَتِ الْمَرْاَةُ   (Perempuan itu melahirkan). Tetapi kemudian dalam penggunaannya bisa bermakna اَلْاَسْقَاطُ   (Jatuh) seperti: وَضَعْتُ الدَّيْنَ عَنْ فُلَانٍ اى اَسْقَطْتُهُ عَنْهُ    (Saya telah menjatuhkan yaitu memberikan fulan untuk berhutang). Bisa juga bermakna اَلْحَطُّ   (Turun, murah) contohnya: وَضَعْتُ الدَّيْنَ عَنْ فُلَانٍ اى حَطَطْتُهُ عَنْهُ   (Aku telah menurunkan yaitu memberi fulan untuk berhutang). (Lihat: Tasywiq al-Khilan, hal. 6., Asymawi, hal. 3).


           Sedangkan menurut istilah dalam ilmu Nahwu, Wadha’ ialah:

اَلْوَضْعُ هُوَ جَعْلُ اللفْظِ دَلِيْلًا عَلَى الْمَعْنَى بِالْقَصْدِ وَبِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ
Wadha’ ialah mengucapkan lafadzh harus disengaja serta dengan menggunakan bahasa Arab.

          Definisi di atas merupakan penggabungan antara dua pendapat di kalangan ahli Nahwu tentang definisi Wadha’. Adapun rincian dari kedua pendapat tersebut ialah sebagian ahli Nahwu berasumsi bahwa Wadha itu adalah ‘dengan bahasa Arab,’ dan sebagian yang lain mengatakan “dengan disengaja.” Berikut penjelasannya:

a.      Jika yang dikehendaki dilalahnya kalam itu وَضْعِيَّةٌ   (sudut pandang bahasa), maka yang dimaksud Wadha’ dalam rukun kalam adalah ‘bahasa Arab’, dari pengertian ini bahwa bahasa Turki, India, Indonesia, Bar-bar (Mongol) dan lain-lain dari selain bahasa Arab, sekalipun ungkapannya/ucapannya memuat huruf hijaiyyah, murakkab Isnadiy dan mufid, tidak bisa disebut sebagai ungkapan kalam menurut istilah ulama Nahwu, sebab bukan bahasa Arab. Ulama yang menganut pendapat ini diantaranya: Syaikh Ibnu Dlo’i Rahimahumallah.


b.      Jika yang dikehendaki dilalahnya kalam itu عَقْلِيَّةٌ   (sudut pandang akal), maka yang dimaksud Wadha’ dalam rukun kalam adalah ‘diucapkan dengan sengaja oleh si mutakallim’. Dari pengertian itu, bahasa selain Arab yang memuat huruf hijaiyyah, murakkab Isnadiy, mufid dan diucapkan dengan sengaja, bisa disebut kalam menurut istilah Nahwu. Ulama yang berpendapat demikian diantaranya: Syaikh Ibnu Malik, Syaikh ‘Ushfur, Syaikh Ibnu Hisyam, Syaikh Kholid Rahimahumullah. Syaikh Kholid berkomentar bahwa yang lebih shahih atau lebih unggul diantara kedua pendapat ini adalah pendapat yang kedua, yaitu dipandang dari sudut akal (dengan disengaja). (Lihat: Tasywiq al-Khilan, hal. 11-12).


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi