RADIO DEWI ANJANI

Macam-Macam Hawa Nafsu Dalam Al-Qur’an

       Sumber: Yufid.TV 
Macam-Macam Hawa Nafsu Dalam Al-Qur’an


Manusia terbagi menjadi dua golongan. Pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya. Golongan kedua yang berhasil mengalahkan dan mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu itu tunduk di bawah perintah dirinya.

Sebagaimana orang arif berkata, “Perjalanan orang yang mencari jalan menuju Allah, maka berakhir dengan keberhasilannya mengalahkan nafsu mereka. Siapa yang berhasil mengalahkan nafsunya akan beruntung dan sukseslah mereka, dan siapa yang dikalahkan oleh nafsunya akan merugi dan celaka.”
Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah mengatakan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ûlûmiddîn:

السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”

Di dalam Al-Qur’an, Allah menyifati nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah (tenang), lawwamah (pencela), dan ammarah bis-suu’ (penyuruh berbuat buruk).

a. Nafsu Muthmainnah

Allah berfirman,

وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّ اللّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ , الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mu'jizat) dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya", (yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du  [13]: 27-28)

Allah juga berfirman,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr [89]: 27-28).

Bila nafsu merasa damai dengan Allah, merasa tentram dan tenang dengan mengingatnya, merasa rindu berjumpa dengannya, dan merasa senang berdekatan denganNya, itulah yang disebut nafsu muthmainnah.

Menurut Ibnu Abbas: “Nafsu muthmainnah ialah nafsu yang membenarkan.” Sedangkan menurut Qatadah: “Ia adalah orang mukmin yang jiwanya merasa tenteram dengan apa yang dijanjikan Allah.” Seperti merasa tenteram dengan takdir Allah, pasrah kepada-Nya, dan rela menerima ketentuan-Nya, sehingga ia tidak merasa kesal, tidak mengeluh, dan tidak goyah iman-Nya. 

Ia tidak merasa frustrasi terhadap apa yang dilewatkannya dan tidak bangga dengan apa yang diterimanya, karena musibah itu telah ditetapkan sebelum sampai kepadanya dan sebelum ia diciptakan.

Allah berfirman: 

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghabun [64]:11)

Banyak kalangan salaf yang mengatakan: “Itu adalah orang yang ditimpa musibah, lalu menyadari bahwa musibah itu berasal dari Allah, kemudian ia menerimanya dengan perasaan rela dan pasrah.

b. Nafsu Lawwamah

Menurut sebagian orang, nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak stabil. Ia sering berubah warna antara ingat dan lalai, menghadap dan berpaling, cinta dan benci, senang dan sedih, suka dan marah, patuh dan menghindar.

Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah [75]: 2)

Nafsu lawwamah ada dua macam: nafsu lawwamah yang tercela dan nafsu lawwamah yang tidak tercela. Nafsu lawwamah yang tercela adalah nafsu yang bodoh dan zalim yang dicela Allah dan para malaikat-Nya.

Sedangkan nafsu lawwamah yang tidak tercela adalah nafsu yang tidak henti-hentinya mencela pemiliknya atas kecerobohannya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan terus berusaha keras untuk memperbaiki diri.

Sementara nafsu yang paling mulia ialah nafsu yang mau mencela dirinya di dalam ketaatan kepada Allah dan tabah menerima celaan para pencela (sesama manusia) dalam upaya menghadapi ridha-Nya.

Jadi, ia tidak berpengaruh oleh celaan siapa pun dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, maka nafsu semacam ini terbebas dari celaan Allah. Sedangkan nafsu yang rela dengan perbuatannya dan tidak mau mencela dirinya, serta tidak tabah menghadapi celaan para pencela dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, itulah nafsu yang dicela oleh Allah.

c. Nafsu Ammarah Bis-suu’

Allah sebutkan jenis nafsu ini dalam surat Yusuf,

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Nafsu ammarah bis-suu’ selalu menjadikan setan sebagai teman dan sahabat setianya. Setanlah yang memberikan janji dan harapan kepadanya, memasukkan kebatilan ke dalamnya, menyuruhnya melakukan perbuatan yang buruk dan membuatnya terlihat baik olehnya. Setan juga membuatnya menjadi panjang angan-angan dan membuatnya melihat kebatilan dalam bentuk yang bisa diterimanya dan terlihat baik olehnya.

Inilah nafsu yang benar-benar tercela, karena nafsu ini selalu menyuruh seseorang melakukan segala macam keburukan, dan itu adalah watak aslinya. Maka tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari kejahatannya kecuali dengan pertolongan Allah.

Allah mencela ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) di beberapa ayat yang banyak dalam Al-Qur`an, diantaranya adalah firman-Nya,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan [25]: 43).

Allah Ta’ala berfirman :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُون

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?(Al-Jaatsiyah [45]: 23).

Allah Ta’ala berfirman :

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Al-Qashash [28]:50).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

فَأَمَّا مَن طَغَى , وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ¸ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى , وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى , فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Ada pun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya Nerakalah tempat tinggalnya. Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.(QS. An-Nazi’at  [79]: 37-41)

Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ


“Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits shahih diriwayatkan oleh ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

Simaklah faidah indah yang disampaikan oleh ibnu Qayyim ketika menjelaskan surat Al-Ankabut ayat 69,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا


“Dan orang orang yang berjihad di jalan Kami, Kami akan memberikan kepada mereka hidayah kepada jalan jalan Kami” (Al-Ankabut [29]: 69).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini Allah mengaitkan hidayah dengan jihad. Orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling sempurna jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah menjihadi diri sendiri, menjihadi hawa nafsu, menjihadi setan, dan menjihadi dunia.

Siapa yang menjihadi empat perkara ini karena Allah, maka Allah akan memberinya hidayah kepada jalan jalan keridhaan-Nya yang akan menyampaikannya ke surga. Siapa yang meninggalkan jihad maka ia akan kehilangan hidayah sejumlah jihad yang ia tinggalkan.


#Disalin dari beberapa sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi