Oleh:
Wildan Kurnia Saputra
Wildan Kurnia Saputra
Cukup banyak perkara-perkara yang seringkali membuat kita mis-understanding dalam memahami ajaran agama kita, Islam. Sehingga, umat islam
–sebagiannya- masih menggondol
persepsi-persepsi yang keliru. Bahkan tidak jarang, persepsi tersebut dibubuhi
dengan mitos dan anekdot yang kita atau bahkan mereka tidak tau-menau tentang
ujung pangkalnya. Inilah yang menyebabkan kita terjebak dalam kesalah kaprahan
dalam beragama (meminjam istilahnya Agus Mustofa). Diantaranya adalah mengenai
Kursi.
Jika dirujuk dalam lembaran-lembaran Al-Qur’an, maka kita hanya
akan menemukan kata “Kursi” sebanyak dua kali, yaitu pada surat Shaad ayat 34 dan
Al-Baqarah ayat 155. Dimana pada dua tempat tersebut kata ini disandingkan
dengan dhamir gaib (kata ganti
persona ketiga tunggal) dengan lafadz masing-masing Kursiyyuhu.
QS.Shaad
[38]: 34
وَلَقَدْ
فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَداً ثُمَّ أَنَابَ
Dan sesungguhnya Kami telah
menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai
tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat .
QS. Al-Baqarah [2]: 255
وَسِعَ
كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Kursi Allah meliputi langit
dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
Pemahaman kursi pada ayat pertama di atas tidak ada masalah, karena
berkaitan dengan kursinya Nabi Sulaiman as. Yang tentu maksudnya adalah kata
kursi dalam pengertian bahasa pada umumnya, yaitu “sesuatu yang disandari atau
diduduki”. Maka dalam QS. Shaad diatas yang dimaksud kursiyyihi adalah tempat duduknya Nabi Sulaiman. Tidak ada yang ganjal karena
kursi disandingkan dengan manusia, jadi pemahaman kursi dalam ayat tersebut
adalah hakikat kursi itu sendiri.
Hal ini akan terasa krusial jika sudah mulai melirik pada ayat
kedua yang penulis cantumkan diatas. Kata kursi disambung dengan dhamir ghaib
yang merujuk kepada Allah Sang Penguasa seantero Alam. Karenanya, cara
memahaminya harus berbeda dengan kursi dalam QS. Shaad itu. Kalau yang tadi
dipahami secara hakiki, maka kursi yang beriringan dengan Allah alias “Kursi
Allah” mesti dipahami dengan jalan majaz. Begitulah kata sementara pakar.
Lantas, kenapa harus berbeda ? Bukankah dalam kedua ayat tersebut
sama-sama menyebut kursi ? Menurut sebagian pakar, pengalihan arti kursi dari
arti harfiyahnya ke arti lain bertujuan
supaya tidak terkesan bahwa Allah itu bersifat materi.[1]
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut, dikarenakan
ada kata “supaya tidak terkesan”.
Pengertian yang penulis tangkap dari ungkapan ini bahwa Allah itu adalah
materi, sehingga agar tidak terkesan begitu, dialihkanlah makna kursi ke makna
majaznya. Bagaimana mungkin Allah itu materi. Materi bisa terdefinisikan, punya
batasan dan terikat dengan ruang, waktu, dan energi. Sedangkan Allah meliputi
itu semua.
Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada tiga pandangan persepsi
yang bercokol dalam benak kaum muslimin kaitannya dengan Kursi Allah ini. Pertama, Sebagian kalangan masih beranggapan bahwa yang dimaksud kursi
Allah ya sama seperti kursi pada umumnya, kursi yang dibuat dan
digunakan oleh manusia, dalam arti hakiki sama-sama digunakan sebagai tempat
duduk. Bedanya, -kata mereka- kursinya Allah bukan seperti kursi manusia. Kursi
Allah adalah kursi yang berada di langit sana dan tidak ada satu pun yang dapat
menggambarkan bentuknya.
Inilah yang penulis sebut sebagai kesalah kaprahan dalam memahami
kursi Allah itu. Ada indikasi bahwa pemahaman ini mencuat akibat salah kaprah
dalam memahami bahasa personifikasi yang digunakan Allah dalam al-Qur’an.
Kasusnya sama seperti, ketika Allah mengatakan bahwa Dia Maha Melihat dan
mendengar, maka secara otomatis tebersit dalam benak kita kalau Allah itu punya
mata dan telinga. Demikian pula ketika Ia berkata, menggulung langit dengan tangan
kanannya, berkata-kata dan bersemayam di atas singgasana. Memahami hal
tersebut, lantas langsung saja kita membayangkan Allah memiliki tangan, mulut
dan sosok yang duduk di atas kursi.
Padahal kita semua tahu bahwa itu salah, karena pelajaran tauhid yang
sangat mendasar dan diketahui oleh umat Islam seluruhnya adalah, “Laisa
kamitslihi Syai’un” yang dalam
ilmu sifat dua puluh disebut “Mukhalafatuhu lil hawadits”. Maknanya, bahwa tidak ada satupun di jagat ini yang menyerupai
Allah swt.
Maka, tulis Agus Mustofa dalam salah satu bukunya, untuk mengurangi
efek mis-persepsi itu kita lantas mengatakan begini: Dia melihat dengan
penglihatan yang bukan seperti penglihatan kita, Dia mendengar dengan
pendengaran yang bukan seperti pendengaran kita, Dia menggunakan tangan yang
bukan seperti tangan kita, Dia duduk di atas kursi yang bukan seperti kursi
kita, dan seterusnya.
Beliau melanjutkan: Tetapi, tetap saja persepsi dibenak kita tidak
beranjak jauh dari persepsi semula. Kenapa ? Karena kita hanya menambahkan kata
‘bukan’ didepan kata tangan. Maka yang terbayang ya tetap saja tangan. Atau,
kata ‘bukan’ didepan kata kursi, ya tetap saja yang terbayang adalah ‘kursi’,
meskipun dengan bentuk yang lain.
Memang begitulah Allah berucap dalam sebagian firmannya. Kalau tidak
seperti itu ya tidak akan ada gunanya firman itu bagi manusia. Apa gunanya
menulis surat dalam bahasa Inggris jika penerima surat tersebut adalah suku
sasak pedalaman yang tidak pernah mengenal bahasa tersebut ? Boro-boro kenal
bahasa inggris, wong huruf A besar saja masih dikira tangga rumah
berpalang satu. Maka, Allah yang Maha Pintar dalam menstransfer pesannya, yakni
dengan menggunakan bahasa manusia, agar mudah diserap dan dipahami oleh kita,
khususnya bangsa arab pada masa Nabi.
Kedua, Segolongan ulama memahami dan menyatakan bahwa Kursi Allah adalah
sebuah bintang yang meliputi seluruh bintang-bintang, atau suatu ruang yang
mencakup seluruh realitas semesta ini, dimana seluruh planet, bintang-bintang
dan galaksi berada di dalamnya. Pendapat ini bisa ditelusuri –yang salah
satunya- dengan melihat riwayat dari Ibnu Atha’, ia berkata: مَا
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ فِى الكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَلَةٍ فِى عَرْضٍ (tidaklah terdapat langit dan bumi di dalam al-kursiy
melainkan bagaikan sebuah lingkaran di dalam lapangan luas).
Nah, simpel saja Ibnu Atha mengumpamakan bahwa langit dan segala
isinya berada dalam kursi-Nya. Memang, ilmu pengetahuan modern belum sampai
kepada tataran ini. Maka, kita tidak tahu pasti benar tidaknya apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Atha dan ulama lain yang senada dengannya.
Kaum empiris dalam berteori memang masih mondar-mandir dalam sekala
langit dan bumi. Itu pun masih ala kadarnya. Yang diperhitungkan masih
skala-skala lokal dalam sistem galaksi bimasakti. Mereka baru meneliti panjang
diameter bumi, matahari dan planet-planet lainnya. Bagaimana mungkin kursi-Nya
akan bisa terjamah oleh penelitian ilmiah (sains) ?, Bagaimana mungkin manusia
memahami kursi Allah yang besarnya meliputi langit dan bumi dengan pendekatan
sains ? kalau langit saja masih belum diketahui luas dan berapa diameternya.
Para peneliti masih berkicau, bahwa langit adalah sebuah ruangan yang super
luas dan sampai sekarang tidak ada yang tahu ujungnya.
Jangankan langit, isi black hole saja –yang hanya menjadi
salah satu anggota dari eksistensi alam semesta- tidak bisa dijelaskan oleh
para ilmuan. Kenapa ? karena seluruh hukum alam akan runtuh jika sudah
bersinggungan dengan black hole.
Dalam ilmu matematika tak ubahnya seperti angka ‘nol’, semua hukum matematika
tidak akan berlaku lagi jika sudah memasuki angka nol. Bilangannya memang
‘ada’, tetapi tidak ada isinya. Black hole memang eksis, tetapi semua
variabel menjadi inactive di dalamnya.
Lantas, mengapa sains begitu dangkalnya ? Tak ubahnya seperti anak
kecil yang tidak mampu mencapai apa yang dicapai oleh orang dewasa. Ya memang, karena
sains dalam proses pembuktiannya akan mengalami kesulitan ketika obyek yang
diamati dalam keadaan ekstrim. Sains hanya akan berputar-putar pada hipotesa
yang sulit membuktian empirisnya. Baik karena waktu kejadian yang diamati
terlalu lama ke masa depan maupun mengerucut ke masa lalu, atau lokasinya
terlalu jauh, dan atau obyek yang dikaji terlalu besar atau terlalu kecil.
Itulah sains, Ia adalah produk manusia yang sangat terbatas, atau
bahkan tidak ada apa-apanya dibanding Ilmu Allah. Kalaupun mau coba ditakar,
keseluruhan dari ilmu yang manusia ketahui totalnya hanya 1 % saja dari
total100%. Atau bahkan lebih kurang dari itu. Inilah yang ditegaskan Allah swt
dalam firman-Nya berikut:
وَلَوْ
أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن
بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan seandainya
pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah . Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27)
Kalau begitu halnya, maka tidak akan –kalau enggan mengatakan
mustahil- untuk manusia bisa mengobservasi Kursi Allah. Itupun jika benar bahwa
kursi itu adalah suatu makhluk yang super besar yang bukan merupakan sifat atau
kiasan semata. Kalaupun benar, maka tidak ada perangkat yang bisa dipakai
manusia untuk menyingkap hakikatnya, alias cuma Allah saja yang tahu sampai
kapanpun.
Ketiga, Kalangan lain
mencoba memahami kursi Allah dengan cara mengalihkan makna kursi dari makna
sebenarnya ke makna yang tidak sebenarnya (majaz). Ayat al-Qur’an itu sendiri,
jika ditinjau dari aspek pengertiannya –oleh para ulama- dibagi menjadi dua,
yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Pembagian ini didasarkan pada firman
Allah swt berikut:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al
Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat
, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat .
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal. (QS.
Ali-Imran [3]: 7)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah swt juga memaparkan tentang
eksistensi muhkamat dan mutasyabihat itu. Ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang
terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat
mutasyabihat adalah kebalikan dari ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang tidak
jelas maksudnya.
Jadi sah-sah saja jika ketidak jelasan kata Kursi yang disandingkan
dengan dhamir yang merujuk kepada Allah itu dikategorikan –oleh sebagian ulama-
sebagai bagian dari ayat mutasyabihat. Memerhatikan konteks kata kursi dalam
QS. Al-Baqarah 255 tersebut –kata mereka- dapat diberi arti majazi. Karena kalau tidak, bisa-bisa nanti banyak orang yang akan
terjebak dan pada ahirnya sesat dan salah kaprah dalam memahami kata ‘kursi
itu’. Akhirnya, mereka yang khawatir dengan hal tersebut menempuh suatu jalan
yang biasa disebut oleh para ahli dengan sebutan ‘TA’WIL.
Ta’wil itu sendiri dapat dipahami sebagai pengalihan pengertian
teks-teks mutasyabihat dari makna literalnya dan meletakkan maksudnya dalam
satu bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang
muhkamat yang memastikan kesucian Allah dari arah, tempat dan anggota tubuh
seperti makhluk-Nya.[2]
Namun, apa yang ditempuh oleh pembela paham ini tidak sepenuhnya
diterima dan dilegalkan oleh ulama yang lain. Dalam kumpulan kitab mereka,
ditemukan jelas ada yang setuju dan tidak setuju dengan cara ‘ta’wil’ ini.
Muhamad bin Shalih al-Utsaimin misalnya, ulama kontemporer asal Saudi Arabia
itu mengatakan, bahwa ta’wil merupakan distorsi dan tahrif terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Kaitannya dengan ayat mutasyabihat, kata beliau, ayat tersebut harus
tetap diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh
melakukan ta’wil apapun terhadapnya.
Panjang lebar sekiranya penulis paparkan mengenai ayat muhkamat dan
mutsyabihat. Karena tulisan ini tidak dikhususkan untuk itu, jika ingin tahu
lebih lanjut penulis sarankan pembaca untuk merujuk langsung pada turats -nya para ulama yang menyinggung tentang ayat-ayat tersebut.
Silahkan merujuk pada, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karangan al-Imam al-Hafidz Badruddin al-Zarkasy atau Irsyad
al-Fuhul oleh Asy-Syaukani.
Kita kembali pada topik diskusi !
Lantas, Apa saja pemaknaan mengenai Kursi Allah itu kaitannya
dengan pen-ta’wilannya ? Ibnu Abbas ra. Memahaminya sebagai ‘Ilmu Allah
meliputi langit dan bumi’. Sebagian yang lain bahwa Kursi Allah itu maksudnya
adalah ‘Kekuasaan Allah yang merajai seantero jagat raya’. Ada juga yang
mengartikannya sebagai ‘al-Qudrah’, kesanggupan dan keagungan-Nya sehingga
Allah dapat menahan langit dan bumi.
Keseluruhan dari ta’wilan ini bisa di-cross check langsung
dalam kitab-kitab tafsir para ulama, semisal Tafsir al-Munir karangan Wahbah az-Zuhaily, Ad-Dur al-Mantsur oleh Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim Ibnu Katsir, Al-Kashshaf
oleh Zamakhsyari dan lain-lain.
Dari ketiga point mengenai Kursi Allah yang penulis paparkan di
atas. Mana yang menurut anda paling benar ? Atau setidak tidaknya mana yang
harus kita pegang dan jadikan pedoman dalam beragama kaitannya dengan Kursi itu
?
Menurut hemat penulis, boleh-boleh saja anda berkeyakinan bahwa
Kursi-Nya adalah sebuah makhluk yang super besar yang tidak ada satupun dari
manusia yang mengetahui hakikatnya, dan tentunya disertai dengan keyakinan
bahwa Allah Yang Maha Besar itu tidak terkait dan sejajar dengan materi, ruang,
waktu dan energi. Allah meliputi itu semua.
Anda juga tidak salah dalam berkeyakinan jika anda berpegang kalau
Kursi Allah itu hanya merupakan kiasan dari Ilmu-Nya yang begitu luas,
Kekuasaan-Nya yang tanpa batas atau Keagungan-Nya yang tanpa tanding
sebagaimana pendapat para ulama yang ahli ta’wil itu. Sah-sah saja selama
pemahaman anda tersebut tidak mencederai keabsolutan Allah swt.
Asalkan, jangan sampai tebersit dibenak anda untuk meyakini kursi
Allah adalah tempat duduknya Allah di atas langit sana. Kursi Allah adalah sama
seperti kursi yang dibuat manusia, cuma bahan dan ukuran kursi-Nya yang
berbeda. Bahkan dalam sebuah riwayat yang masyhur mengenai kursi ini, dikatakan
bahwa kursi Allah itu adalah tempat kaki-Nya Allah. Pemahaman ini secara tidak
langsung akan mengkerdilkan Tuhan. Sebegitu kecilnya kah Allah swt sehingga
terwadahi oleh kursi, Arsy, langit atau apaun namanya. Na’udzubillah !.
Oh tidak, Allah itu Maha Segala-galanya. Allah itu tidak terbatas
kekuasaannya. Dan tidak ada satu kosa kata manusia pun yang dapat menggambarkan
zat-Nya secara utuh. Wallahu A’lam bishshawab !.
bagaimana tanggapan ust , ada sbagian ulama' yg melarang ta'wil ayat ? lebih2 ttg kursi Allah swt , dan apakah pamikiran ttg kursi Allah tsb bisa punya titik temu antara yg menakwil ayat dan tidak menakwilnya ,,mohon penjelasan usat ?
BalasHapusTakwilan yang sifatnya sahih dan tidak mendiskreditkan keabsolutan tuhan, itu boleh-boleh saja. Banyak ulama salaf maupun khalaf melakukan takwil yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat.
BalasHapusMengenai kata Alwan "dan apakah pamikiran ttg kursi Allah tsb bisa punya titik temu antara yg menakwil ayat dan tidak menakwilnya"
Tidak akan ditemukan titik persamaan jika satu orang menggunakan takwil sedangkan yang lain tidak. Kecuali jika, yang tidak menggunakan takwilan itu 'bener-bener paham' maksud 'laisa kamitslihi syaiun'. Dan kalupun ia paham, maka sejatinya itu juga menggunakan takwilan, yaitu takwilan ijmali. Bahasa lainnya adalah Tafwidh (menyerahkan maksud dan maknanya kepada Allah sembari berkeyakinan kalau Allah itu bener-bener 'mukhalafatuhu lilhawadits'.