Gambar: litigasi.co.id |
BAGAIMANA ATURAN MEMBAGI
GONO GINI ?
Setelah tujuh artikel yang penulis launching
menyangkut gono gini , maka tulisan kali ini adalah puncak pembahasan harta
yang kita namai gono gini ini. Pertama-tama penulis mengatakan bahwa, gono gini
alias harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan
perkawianan itu sudah terputus. Oleh karena itu, selama perceraian atau perkara
yang serupa dengan perceraian belum terjadi, gono gini tidak akan bisa dibagi.
Ya, karena memang begitulah aturannnya. Hubungan perkawinan itu dapat terputus
karena kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada
pasal 37 dikatakan: “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya. Sekiranya penjelasan pasal 37 undang-undang
no. 1 tahun 1974 tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 96 dan 97 KHI,
penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati
maupun cerai hidup sudah mendapatkan kepastian positif. Karena dalam cerai mati
pasal 96 ayat 1 menegaskan “separuh harta bersama menjadi pasangan yang hidup
lebih lama”. Status kematian salah satu pihak, baik suami maupun istri harus
jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang pembagian harta bersama menjadi
jelas.
Jika salah satu dari keduanya hilang maka harus ada
ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui Pengadilan Agama. Hal
ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 2, “pembagian harta bersama bagi seorang
suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar
putusan Pengadilan Agama”. Begitu juga dalam cerai hidup, pasal 97 KHI
menegaskan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Artinya, dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian perkawinan maka
pembagian harta bersamanya ditempuh berdasarkan ketentuan di dalamnya, yaitu
masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta bersama.
Pendapat dan penerapan yang demikian juga telah
merupakan yurisprudensi tetap dalam hukum adat. Sejak masa perang dunia kedua,
sudah dipertahankan ketetapan hukum yang memberi hak dan kedudukan yang sama
antara suami istri terhadap harta bersama apabila perkawinan mereka pecah.
Ambil contoh, putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1959 No.424K/STP/1959,
dalam putusan ini ditegaskan: “menurut yurisprudensi mahkamah agung dalam hal
terjadi perceraian barang goni-gini harus dibagi antara suami dan istri dengan
masing-masing mendapat separuh bagian”.[1]
Masalah penerapan pembagian harta bersama dalam
cerai hidup, tidak begitu menimbulkan persoalan, karena pembagian dapat
dilangsungkan secara tunai dan langsung antara suami istri, masing-masing
mendapat setengah bagian. Lain halnya dalam pembagian harta bersama dalam
keadaan cerai mati. Dalam masalah ini, bisa timbul berbagai masalah yang
memerlukan penerapan tersendiri.
1.
Cerai Mati Tanpa Anak
Dalam hal cerai mati tanpa anak yang dilahirkan
dalam perkawinan, penerapannya berdasrkan hukum adat dapat beberapa variasi.
Misalnya, suami meninggal dunia tanpa anak, sehingga yang tingal hanya janda.
Dalam kasus yang seperti ini ada yang berpendapat bahwa harta bawaan suami
maupun harta bersama jatuh menjadi warisan janda. Pendapat yang seperti ini
dapat dibaca dalam putusan
Mahkamah Agung tanggal
2 November 1960 No.302K/SIP/1960. Dalam putusan ini
terdapat uraian pertimbangan yang menjelaskan :
“Menurut
hukum adat diseluruh Indonesia, seorang janda perempuan merupakan ahli waris
terhadap barang asal barang suami, dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari
barang asal itu sebagian harus tetap ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup
secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah di
Indonesia disamping ketentuan itu mungkin dalam hal barang-barang warisan amat
banyak harganya, janda berhak atas bagian warisan seperti seorang anak
kandung”.[2]
Jika putusan di atas
diuraikan secara lanjut, terdapat beberapa penggarisan hukum yang berkenaan
dengan harta bersama. Pertama, dalam hal suami meninggal dunia tanpa keturunan,
janda akan menguasai dan menikmati harta bersama selama ia masih hidup atau
selama ia tidak kawin dengan lelaki lain, apabila harta bersama yang
ditinggalkan hanya sedikit jika dia kawin dengan laki-laki, maka harta bersama
dibagi dua. Setengah bagian untuk janda dan setengah bagian untuk ahli waris
mendiang suami. Terlepas dari putusan di atas, kita lebih setuju penerapan yang
lebih bersifat tuntas, yaitu segera menyelesaikan pembagian harta bersama
antara janda dengan ahli waris mendiang suami. Cara yang demikian terasa lebih
adil dan lebih sesuai dengan ajaran Islam yang menyuruh penyelesaian harta
peninggalan sesegera mungkin pada saat harta peninggalan terbuka untuk dibagi.[3]
Uraian di atas, sekalipun masalah harta bersama yang
hendak diterapkan dalam lingkungan peradilan bertitik tolak dan bersumber dari
‘urf atau hukum adat yang sudah berekembang di masyarakat dan praktek
peradilan, dalam hal tersebut peradilan agama harus mampu dan berani mengadakan
“modifikasi” ke arah yang lebih sesuai dengan maslahat dan jiwa hukum Islam.
Khusus menghadapi kasus harta bersama yang tidak dikaruniai anak, apabila
perkawinan pecah karena salah satu pihak meninggal dunia, maka harus segera
dilakukan pembagian antara pihak yang masih utuh dengan ahli waris yang
meninggal tanpa mempersoalkan pihak mana yang lebih dahulu meninggal. Misalnya,
istri yang dulu meninggal maka pembagiannya adalah setengah bagian menjadi
bagian duda (suami) dan yang setengah lagi jatuh menjadi bagian ahli waris
mendiang istri untuk dibagi waris menurut ketentuan fara’idl.
2.
Cerai Mati Dan Ada Anak
Kasus cerai mati dengan
meninggalkan keturunan, baik istri (janda) maupun anak-anak dapat menuntut
pembagian harta bersama. Hal ini dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung
tanggal 8 Agustus 1959 No.258/SIP/1959, “jadi apabila suami meninggal dunia
dengan meninggalkan janda keturunan (anak), menurut hukum baik anak-anak atau
seorang dari anak maupun janda, dapat menunut pembagian harta bersama”.[4]
Pada umumnya masyarakat merasa tabu untuk segera membagi harta bersama antara
janda atau duda dengan anak-anak mereka. Misalkan suami atau istri meninggal
dunia jarang masyarakat langsung membagi harta bersama antara ayah atau ibu
dengan anak-anak. Harta bersama tetap dijadikan utuh dibawah kekuasaan ayah
atau ibu. Padahal dari pengalaman dan pengamatan udah banyak contoh tragis
sebagai akibat kelakuan dalam pembagian harta bersama segera sesaat setalah
suami atau istri meninggal dunia. Kemalangan yang akan diderita anak-anak
dibelakang hari akibat dari kekakuan tersebut, bisa terjadi apabila si ibu atau
si ayah kawin lagi dengan laki-laki atau perempuan lain. Oleh karena itu, sudah
saatnya kita lebih bersifat prakmatis menghadapi kasus ini, jika Pengadilan
Agama menghadapi kasus yang seperti ini, sekalipun anak-anak yang ditinggalkan
masih kecil-kecil, seharusnya segera dilakukan pembagian. Tentukan
barang-barang yang menjadi bagian anak-anak, sekalipun pengawasan dan perwalian
harta berada di tangan ibu atau ayah mereka yang penting, pembagian harta
bersama harus dilakukan guna memberi kepastian dan jaminan bagi nak-anak dan
hak mereka atas bagian harta bersama peninggalan ibu atau ayah mereka.
3. Harta Bersama Dalam Poligami[5]
Kompilasi Hukum Islam mengatur harta gono gini dalam perkawinan
poligami . Pasal 94 ayat (1) menyebutkan :
“ Harta
bersama dari perkawinan seorang suami imempunyai istri lebih dari seorang masing masing terpisah dan berdirisendiri”
Berdasarkan ketentuan ini, harta gono gini dalam perkawinan
poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua dan
seterusnya. Ayat (2) pasal yang sama mengatur ketentuan tentang masa penentuan
kepemilikan harta gono gini dalam hal ini :
“
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri
lebih dari seorang sebagai tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat “
Ketentuan
harta gono gini dalam poligami juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal
65 ayat (1) menegaskan bahwa jika seorang suami berpoligami.
1.
Suami wajib memberi jaminan hidup
yang sama kepada semua istri dan anaknya
2.
Istri yang kedua dan seterusnya
tidak mempunyai hak atas harta gono gini yang telah ada sebelum perkawinan
dengan istri kedua dan seterusnya.
3.
Semua istri mempunyai hak yang sama
atas harta gono gini yang terjadi sejak perkawinan masing-masing.
Berdasarkan ketentuan di atas, istri pertama dari suami yang berpoligami
mempunyai hak atas harta gono gini yang dimilikinya bersama dengan suaminya.
Istri kedua dan seterusnya hanya berhak atas harta gono gininya bersama dengan
suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Namun, istri yang kedua dan
seterusnya tidak berhak terhadap harta gono gini istri yang pertama.
Pada prinsipnya , ketentuan tentang
harta gono gini dalam perkawinan poligami, adalah untuk menentukan hukum yang
adil bagi kaum perempuan. Dalam praktiknya, perkawinan
poligami banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya.
Padahal Islam mengajarkan agar para suami jangan menelantarkan kehidupan istri
dan anak-anaknya karena mereka adalah bagian dari tanggung jawabnya yang harus
dipenuhi segala kebutuhannya. Tamat !
[1] Abdul Manann, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta: kencana, 2006), hal. 129
[2] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,
hal. 280
[3] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,
hal. 281
[4] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,
hal. 282
[5] Etty Rochaeti, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan
Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif”Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28, dengan perubahan
seperlunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan