RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (8): BAGAIMANA ATURAN MEMBAGI GONO GINI ?

Gambar: litigasi.co.id
BAGAIMANA ATURAN MEMBAGI GONO GINI ?
Setelah tujuh artikel yang penulis launching menyangkut gono gini , maka tulisan kali ini adalah puncak pembahasan harta yang kita namai gono gini ini. Pertama-tama penulis mengatakan bahwa, gono gini alias harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawianan itu sudah terputus. Oleh karena itu, selama perceraian atau perkara yang serupa dengan perceraian belum terjadi, gono gini tidak akan bisa dibagi. Ya, karena memang begitulah aturannnya. Hubungan perkawinan itu dapat terputus karena kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan.
           Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 37 dikatakan: “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Sekiranya penjelasan pasal 37 undang-undang no. 1 tahun 1974 tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 96 dan 97 KHI, penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati maupun cerai hidup sudah mendapatkan kepastian positif. Karena dalam cerai mati pasal 96 ayat 1 menegaskan “separuh harta bersama menjadi pasangan yang hidup lebih lama”. Status kematian salah satu pihak, baik suami maupun istri harus jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang pembagian harta bersama menjadi jelas.

Jika salah satu dari keduanya hilang maka harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 2, “pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”. Begitu juga dalam cerai hidup, pasal 97 KHI menegaskan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Artinya, dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian perkawinan maka pembagian harta bersamanya ditempuh berdasarkan ketentuan di dalamnya, yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta bersama.

Pendapat dan penerapan yang demikian juga telah merupakan yurisprudensi tetap dalam hukum adat. Sejak masa perang dunia kedua, sudah dipertahankan ketetapan hukum yang memberi hak dan kedudukan yang sama antara suami istri terhadap harta bersama apabila perkawinan mereka pecah. Ambil contoh, putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1959 No.424K/STP/1959, dalam putusan ini ditegaskan: “menurut yurisprudensi mahkamah agung dalam hal terjadi perceraian barang goni-gini harus dibagi antara suami dan istri dengan masing-masing mendapat separuh bagian”.[1]

Masalah penerapan pembagian harta bersama dalam cerai hidup, tidak begitu menimbulkan persoalan, karena pembagian dapat dilangsungkan secara tunai dan langsung antara suami istri, masing-masing mendapat setengah bagian. Lain halnya dalam pembagian harta bersama dalam keadaan cerai mati. Dalam masalah ini, bisa timbul berbagai masalah yang memerlukan penerapan tersendiri.

1.  Cerai Mati Tanpa Anak

Dalam hal cerai mati tanpa anak yang dilahirkan dalam perkawinan, penerapannya berdasrkan hukum adat dapat beberapa variasi. Misalnya, suami meninggal dunia tanpa anak, sehingga yang tingal hanya janda. Dalam kasus yang seperti ini ada yang berpendapat bahwa harta bawaan suami maupun harta bersama jatuh menjadi warisan janda. Pendapat yang seperti ini dapat dibaca  dalam  putusan  Mahkamah  Agung  tanggal  2  November  1960 No.302K/SIP/1960. Dalam putusan ini terdapat uraian pertimbangan yang menjelaskan :

“Menurut hukum adat diseluruh Indonesia, seorang janda perempuan merupakan ahli waris terhadap barang asal barang suami, dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah di Indonesia disamping ketentuan itu mungkin dalam hal barang-barang warisan amat banyak harganya, janda berhak atas bagian warisan seperti seorang anak kandung”.[2]

Jika putusan di atas diuraikan secara lanjut, terdapat beberapa penggarisan hukum yang berkenaan dengan harta bersama. Pertama, dalam hal suami meninggal dunia tanpa keturunan, janda akan menguasai dan menikmati harta bersama selama ia masih hidup atau selama ia tidak kawin dengan lelaki lain, apabila harta bersama yang ditinggalkan hanya sedikit jika dia kawin dengan laki-laki, maka harta bersama dibagi dua. Setengah bagian untuk janda dan setengah bagian untuk ahli waris mendiang suami. Terlepas dari putusan di atas, kita lebih setuju penerapan yang lebih bersifat tuntas, yaitu segera menyelesaikan pembagian harta bersama antara janda dengan ahli waris mendiang suami. Cara yang demikian terasa lebih adil dan lebih sesuai dengan ajaran Islam yang menyuruh penyelesaian harta peninggalan sesegera mungkin pada saat harta peninggalan terbuka untuk dibagi.[3]

Uraian di atas, sekalipun masalah harta bersama yang hendak diterapkan dalam lingkungan peradilan bertitik tolak dan bersumber dari ‘urf atau hukum adat yang sudah berekembang di masyarakat dan praktek peradilan, dalam hal tersebut peradilan agama harus mampu dan berani mengadakan “modifikasi” ke arah yang lebih sesuai dengan maslahat dan jiwa hukum Islam. Khusus menghadapi kasus harta bersama yang tidak dikaruniai anak, apabila perkawinan pecah karena salah satu pihak meninggal dunia, maka harus segera dilakukan pembagian antara pihak yang masih utuh dengan ahli waris yang meninggal tanpa mempersoalkan pihak mana yang lebih dahulu meninggal. Misalnya, istri yang dulu meninggal maka pembagiannya adalah setengah bagian menjadi bagian duda (suami) dan yang setengah lagi jatuh menjadi bagian ahli waris mendiang istri untuk dibagi waris menurut ketentuan fara’idl.


2.  Cerai Mati Dan Ada Anak

Kasus cerai mati dengan meninggalkan keturunan, baik istri (janda) maupun anak-anak dapat menuntut pembagian harta bersama. Hal ini dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 No.258/SIP/1959, “jadi apabila suami meninggal dunia dengan meninggalkan janda keturunan (anak), menurut hukum baik anak-anak atau seorang dari anak maupun janda, dapat menunut pembagian harta bersama”.[4] Pada umumnya masyarakat merasa tabu untuk segera membagi harta bersama antara janda atau duda dengan anak-anak mereka. Misalkan suami atau istri meninggal dunia jarang masyarakat langsung membagi harta bersama antara ayah atau ibu dengan anak-anak. Harta bersama tetap dijadikan utuh dibawah kekuasaan ayah atau ibu. Padahal dari pengalaman dan pengamatan udah banyak contoh tragis sebagai akibat kelakuan dalam pembagian harta bersama segera sesaat setalah suami atau istri meninggal dunia. Kemalangan yang akan diderita anak-anak dibelakang hari akibat dari kekakuan tersebut, bisa terjadi apabila si ibu atau si ayah kawin lagi dengan laki-laki atau perempuan lain. Oleh karena itu, sudah saatnya kita lebih bersifat prakmatis menghadapi kasus ini, jika Pengadilan Agama menghadapi kasus yang seperti ini, sekalipun anak-anak yang ditinggalkan masih kecil-kecil, seharusnya segera dilakukan pembagian. Tentukan barang-barang yang menjadi bagian anak-anak, sekalipun pengawasan dan perwalian harta berada di tangan ibu atau ayah mereka yang penting, pembagian harta bersama harus dilakukan guna memberi kepastian dan jaminan bagi nak-anak dan hak mereka atas bagian harta bersama peninggalan ibu atau ayah mereka.

3. Harta Bersama Dalam Poligami[5]
Kompilasi Hukum Islam mengatur harta gono gini dalam perkawinan poligami . Pasal 94 ayat (1) menyebutkan :

“ Harta bersama dari perkawinan seorang suami imempunyai istri lebih dari seorang masing masing terpisah dan berdirisendiri”
Berdasarkan ketentuan ini, harta gono gini dalam perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua dan seterusnya. Ayat (2) pasal yang sama mengatur ketentuan tentang masa penentuan kepemilikan harta gono gini dalam hal ini :

“ Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagai tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat “

Ketentuan harta gono gini dalam poligami juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 65 ayat (1) menegaskan bahwa jika seorang suami berpoligami.

1.      Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya
2.      Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta gono gini yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan seterusnya.
3.      Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono gini yang terjadi sejak perkawinan masing-masing.
Berdasarkan ketentuan di atas, istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas harta gono gini yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya hanya berhak atas harta gono gininya bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Namun, istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta gono gini istri yang pertama.
Pada prinsipnya , ketentuan tentang harta gono gini dalam perkawinan poligami, adalah untuk menentukan hukum yang adil bagi kaum perempuan. Dalam praktiknya, perkawinan poligami banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya. Padahal Islam mengajarkan agar para suami jangan menelantarkan kehidupan istri dan anak-anaknya karena mereka adalah bagian dari tanggung jawabnya yang harus dipenuhi segala kebutuhannya. Tamat !



[1] Abdul Manann, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2006), hal. 129
[2] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, hal. 280
[3] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, hal. 281
[4] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, hal. 282
[5] Etty Rochaeti, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum PositifJurnal Wawasan Hukum, Vol. 28, dengan perubahan seperlunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi