Dalam
entri perdana tulisan ini, penulis akan coba memaparkan tentang
Basmalah dengan kacamata Ilmu Nahwu. Tulisan ini penulis sarikan dari
berbagai sumber yang tidak penulis sebutkan di sini. Insyaallah penulis
akan tuangkan pada tulisan-tulisan berikutnya.
Let's start with Qaul Ulama’:
يَنْبَغِى لِكُلِّ شَارِعٍ
فِى فَنٍّ مِنَ الْفُنُوْنِ اَنْ يَتَكَلَّمَ عَلى الْبَسْمَلَةِ بِطَرْفٍ مِمَّا
يُنَاسِبُهَا ليحصل اَرْبَعَ قَوَاعِدَ اَلاوَّلُ وَفَاءُ الْحَقِّ الْفَنِّ وَالثَّانِى
وَفَاءُ الْحَقِّ الْبَسْمَلَةِ وَالثَّالِثُ لِاَنْ لَا يَعُوْدَ قُصُوْرًا اَوْ
تَقْصِيْرًا وَالرَّابِعُ لِاَنْ يَعُوْدَ الْبَرْكَة الْبَسْمَلَةَ اِلى فَنِّ الْمَشْرُوْعِ
فِيْهِ
“Alangkah baiknya sebelum kita membahas
suatu materi atau suatu ilmu, baik itu ilmu fiqih, ushul fiqh, sharef,
balaghah, tauhid, hadits dan ilmu-ilmu yang lain, dianjurkan terlebih dahulu
untuk membahas basmalah dengan pendekatan ilmu yang bersangkutan, alasannya
agar mendapat empat faidah, yaitu: Memenuhi hak pan (jenis ilmu) yang akan
dikaji, memenuhi haknya basmalah, agar tidak termasuk orang yang sembarangan
(menyepelekan ilmu yang dikaji), dan supaya mendapat kebaikan basmalah pada
ilmu yang bersangkutan.”
كُلُّ
اَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَاُ فِيْهِ
بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ اَقْطَعَ اَوْ اَجْزَمَ اَوْ اَبْتَرَ
Setiap perkara
sesuatu yang tidak dimulai dengan mengucap basmalah, maka ia terputus.
Hal yang senada
juga dikatakan oleh Syaikh Sulaiman Jamaluddin Rahimahullah:
مَنْ شَرَعَ فِى فَنٍّ لَايَتَكَلَّمُ عَلى الْبَسْمَلَةِ فَهُوَ
عَبثٌ وَمَنْ تَرَكَهَا فَهُوَ تَقْصِيْرٌ
“Barang siapa belajar suatu ilmu tanpa mengupas bismillah terlebih
dahulu maka dialah orang yang bercanda (tidak serius) dan barang siapa yang
meninggalkan bahasan basmalah maka dialah orang yang sembarangan.”
Dan perlu juga diketahui bahwa basmalah ini
juga disebut Ibtida’ Haqiqi, yaitu:
مَا تَقَدَّمَ اَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَلَمْ يُسْبِقَهُ شَيْءٌ
(Sesuatu yang
mendahului maksud dan tidak terdahului oleh sesuatu apapun-lainnya- seperti
basmalah ini contohnya).
Selain Ibtida’ Haqiqi , ada juga yang disebut Ibtida’ Majazy yaitu:
مَا
تَقَدَّمَ اَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَاَنْ يُسْبِقَهُ شَيْءٌ
(Sesuatu yang berada -mendahului- maksud walaupun terdahului
sesuatu yang lain, seperti bacaan atau tulisan hamdalah setelah basmalah)
***
Selanjutnya, sesuai dengan judul artikel ini, maka bahasan basmalah kali ini akan penulis paparkan dengan memakai pendekatan ilmu Nahwu, yaitu dengan cara meneliti dan mengamati ta’alluqnya. Adapun ta’alluq (hubungan) ilmu Nahwu dengan basmalah adaalah sebagai berikut:
a)
Ba-nya
kalimah basmalah
I’rabnya
ba dalam kalimah basmalah adalah mabni kasrah tidak mabni sukun alasannya agar
tidak ibtidau bissakin, alasan mabni karena ba termasuk huruf sedangkan setiap
huruf berhak untuk mabni: وَكُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَاءِ
Menurut
kajian Nahwu, ba pada kalimah basmalah bisa menjadi tiga kategori yaitu:
1. Ba huruf jar zaidah,
yaitu: هُوَ مَا لاَ يَدُلُّ عَلَى مَعْنَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ اِلَى مُتَعَلّقٍ
(Huruf jar yang tidak memiliki arti sendiri dan juga tidak
membutuhkan muta’allaq yang berhubungan dengannya). Jika ba disini dimaksudkan huruf jar
ba- zaidah maka i’rabnya adalah:
الباء حرف جر زائد والاسم مبتدء مرفوع بالابتداء وعلامة رفعه ضمة
مقدرة على اخره منع من ظهورها باشتغال محل بحركة حرف جر زائد وخبره محذوف وتقديره
مبدوء به او ابدء به بديعة قوية بحسن نية والاخلاص
2. Ba huruf jar
asliyyah, yaitu: هُوَ مَا
يَدُلُّ عَلَى مَعْنَاهُ وَيَحْتَاجُ اِلَى مُتَعَلِّقٍ (Huruf
jar yang memiliki arti sendiri dan juga membutuhkan muta’allaq yang
bersangkutan dengannya). Jika dalam kalimah basmalah dimaksudkan ba huruf jar ashliyyah maka
pasti ada muta’allaq yang dibuang, jika di tampakkah kira-kira seperti ini:
اسم الذات الجامعة على جميع الصفة الألوهية المنعم بجلائل النعم
المنعم بدقائقها أألف هذا الكتاب المسمى بالفية مثلا حال كون مستعينا ومتباركا
ليحصل البركة بذكر اسم من اسماء الله عز وجل
Maka i’rabnya adalah:
الباء حرف جر اصلي متعلق بمحذوف , والمتعلق اما اسم واما فعل وكل
منهما اما خص واما عام وكل منهما اما مقدم واما مؤخر
Maksudnya, ba huruf jar asliyah
mempunyai ta’alluq ke lafadzh yang dibuang. Ta’alluqnya itu bisa berupa isim
dan juga fiil. Dari isim dan fiil tersebut bisa khosh dan juga ‘aam. Dari khosh
dan ‘aam itu bisa didahulukan dan bisa diakhirkan. Insyaallah akan dijelaskan
nanti.
3. Ba huruf jar
qasamiyyah (media untuk bersumpah), ba kategori ini wajib membutuhkan
jawab qasamnya, misalkan: بسم الله الرحمن الرحيم لَأُأَلِّفُ
Adapun makna
ba yang terkandung pada lafadzh basmalah adalah sebagai ba isti’anah atau ba mushohabah. Kita tinggal memilih karena
keduanya juga boleh, tapi yang paling tepat adalah ba dengan makna isti’anah
sebagaimana dijelaskan dalam kitab alfiyah khudhary.
b)
Lafadzh Ismullahi (اسم الله)
Susunan lafadzh Ismu (اسم) terhadap
lafadzh Allah adalah susunan tarkib Idhafy, arti tarkib idhafy adalah suatu
kalimah yang terdiri dari mudhaf dan mudhafun ilaih. Ismu (اسم) adalah mudhaf
dan lafadzh Allah adalah mudhfun ilaih, definisi atau ta’rif dari tarkib idhafy
adalah:
نِسْبَةٌ
تَقْيِيْدِيَّةٌ تُقْتَضُ انْجِرَارُ ثَانِهِمَا اَبَدًا yaitu nisbat atau hubungan kayid dimana
kalimah keduanya (mudhaf) minta untuk dijarkan selamanya. Sebab ada keterangan: وَحَقُّ الْمُضَافِ اِلَيْهِ اَنْ يَكُوْنَ مَجْرُوْرًا بالاول (Haknya
mudhaf ilaih adalah dijarkan oleh mudhaf) dalam arti mudhaf harus selamanya menjarkan mudhaf
ilaih.
Idhafat lafadzh اِسْمٌ terhadap lafadzh الله itu bisa empat jalan
yaitu:
·
اِضَافَةُ اسْتِغْرَاقِ جَمِيْعِ الْاَفْرَادِ (mengumpulkan
secara keseluruhan).
Taqdirannya:
اَبْتَدِاُ بِسْمٍ
مِنْ كُلِّ اَسْمَاءِ اللهِ (Saya
memulai –kitab ini- dengan menyebut semua asma Allah)
Idhafat ini bisa saja kita gunakan
dalam mengartikan basmalah, namun sebetulnya lafadzh Allah telah cukup unuk
mengumpulkan semua asma’ dan sifat-Nya. Kalaupun tidak memakai idhafat
Istighraq, maka makna Istighraq telah dihasilkan oleh lafdzhul jalallah
tersebut. Bila di ucapkan akan seperti ini: اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ (بسم الله الْجَامِعِ لِكَمَالَاتِهِ) (Saya
memulai dengan menyebut asma’ Allah yang dimana lafdzhul jalalah ini
mengumpulkan seluruh sifat kesempurnaan-Nya)
Mari kita bandingkan dengan makna Idhafat Istighraq !
Ketika Idhafat Istighraq kita satukan dengan makna lafdzhul
jalalah, maka terkesan ada pengulangan dengan faidah sama (ini hanya pendapat penulis) dan bagaimanapun Idhafat Istighraq tetap bisa dipakai.
·
اِضَافَةُ بَعْضِ الْاَفْرَادِ (mengumpulkan sebagiannya saja)
Taqdirannya:
اَبْتَدِاُ بِسْمِ
اللهِ اى مِنْ بَعْضِ اَسْمَائِهِ (Saya memulai dengan menyebut sebagian asma’ Allah swt)
Idhafat
jenis ini tetap bisa digunakan.
·
اِضَافَةٌ لِلْعَهْدِ الذِّهْنِى الْمُعَيَّنِ (Kalau
yang dimaksud adalah nama yang sudah ditentukan)
Seperti
menentukan satu nama dari nama-nama Allah. Kalau diucapkan:
اَبْتَدِاُ
بِسْمِ اللهِ اى بِسْمٍ مُعَيَّنٍ فِى الذِّهْنِى وَهُوَ اللهُ (Saya memulai dengan menyebut satu nama Allah yang telah ditentukan
dalam hati saya). Jika
yang terbersit dalam hati itu “al-Aziz” umpamanya, maka sama seperti: “Saya mulai dengan menyebut nama Dzat yang Agung yaitu Allah.”
·
اِضَافَةٌ لِلْبَيَانِ اى لِلْبَيَانِ الْجِنْسِ فِى ضِمْنِ الْاَفْرَادِ
بِقِطْعِ النَّظْرِ عَنِ الْكُلِّيَّةِ وَالْجُزْئِيَّةِ (dengan tujuan memperjelas) . Idhafat jenis
ini bertujuan memperjelas afrad (salah satu nama) tanpa melihat
keseluruhan atau sebagian, yaitu kita langsung menentukan bahwa nama Allah lah
yang kita sebut dalam pengucapan basmalah ini. Taqdirannya: اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ (Saya memulai dengan menyebut nama yaitu Allah)
Ø Kata Ismu (اسم) yang ada dalam basmalah mempunyai dua
makna, yaitu:
1. Kata yang
menyebutkan tentang suatu nama sebagai kata tunjuk. Jika diterjemahkan maka
artinya: Menyebut nama si anu (sebutkan namanya disini) misalnya “Nama Allah,
Muhammad dan lain-lain.”
2. Mufrad mudhaf
(mudhaf tunggal), maknanya kata Ismu (اسم) disini
mengandung seluruh asmaul husna, lebih jelasnya silahkan lihat penjelasan
berikut:
الاسم adalah pecahan dari kata اَلْسَمُو yang artinya “tinggi, di atas”. Maka disebut
Ismun (اسم) karena
pemiliknya berada pada kedudukan yang tinggi. Maksudnya, Allah swt. Memiliki
sifat-sifat yang agung sebelum maupun sesudah diciptakannya makhluk dan ketika
musnahnya semua makhluk, nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya tidak akan
berkurang sedikitpun.
Silang pendapat kedudukan mudhaf pada
Ismun (اسم)
Kenapa kata Ismun (اسم) didudukkan
sebagai mudhaf padahal afadzh Allah itu isim ? Ingat bahwa nama seseorang, atau
nama sesuatu dalam Ilmu Nahwu di golongkan sebagai Isim. Kok bisa kata “nama” ( اِسْمٌ , Ismun artinya nama) dijadikan sandaran dari
sebuah “nama” juga (yaitu nama Allah), karena kata Allah termasuk isim.
Jawabannya ada tiga pendapat:
a. اِسْمٌ disini maksudnya tasmiyah (menyebut nama, mengucapkan nama, penamaan)
b. اِسْمٌ
kedudukannya bukan sebagai mudhaf tetapi mudhafnya makhduf, kandungannya: بِاسْمِ مُسَمَّى اللهِ
c. اِسْمٌ kedudukannya bukan sebagai mudhaf tetapi
sebagai ziyadah (tambahan), sebab اِسْمٌ asalnya بِاللهِ (sumpah
demi Allah swt), kemudian
ditambahkan kata اِسْمٌ
supaya:
o
Pendapat Syaikh Qutrub: Berfungsi sebagai pengagungan
dan penyucian tatkala menyebut nama Allah swt.
o
Pendapat Syaikh Akhfasyi: Mengubah fungsi sumpah
kepada fungsi penyucian.
Ø Asal kata lafadzh
Allah (الله)
ada beberapa pendapat:
1. إلاه seperti wazan فِعَالٌ
2. لا kemudian dimasukkan atau diletakkan huruf
“al” yang berfungsi sebagai
pengagungan. Kedua pendapat ini berasal dari Imam Sibawaih.
pengagungan. Kedua pendapat ini berasal dari Imam Sibawaih.
3. أَلَالَاهُ
الله Lafadzh adalah nama Allah yang
paling Agung danselain-Nya tidak berhak menyandang dan memiliki nama ini. Allah
swt. Berfirman: هل تعلم
له سميا (Apakah
kamu mengetahui ada seseorang yang namanya sama dengan dia ?) QS. Maryam: 65.
Maka kata الله menurut Ibnu Abbas Radliyallahu’anhu: Yang memiliki uluhiyyah dan hak untuk diibadahi atas semua
makhluknya.
c)
Muta’allaq Lafadzh Bismillah (بسم الله)
Lafadzh بسم الله الرحمن الرحيم itu termasuk tarkib naqish (kurang), karena
hanya terdiri dari tarkib idhafy yaitu بسم الله dan tarkib tausify yaitu الرحمن الرحيم . Tarkib naqish dalam bahasa Indonesia berarti
susunan kalimatnya belum sempurna, oleh karena susunan basmalah itu belum
sempurna maka untuk menyempurnakannya harus mempunyai muta’allaq. Adapun
muta’allaq untuk menyempurnakan susunan basmalah itu bisa dengan fiil, bisa
juga dengan syibhul fiil atau yang serupa dengan fiil. Sebagaimana disebutkan
dalam syair:
وَعَلِّقِ الظَّرْفَ
وَمَا ضَهَاهُ بِالْفِعْلِ اَوْ مَا
يَسْتَوِي مَعْنَاهُ
Muta’allaq basmalah menurut ulama Kufah harus dengan fiil dengan
argumen:
اَلاَصْلُ فِى الْعَمَلِ اَنْ يَكُوْنَ فِعْلاً (asal pokok suatu pekerjaan atau amal itu adalah fiil). Sedangkan ulama Bashrah berpendapat
bahwa muta’allaq lafadzh basmalah itu harus dengan isim, mereka juga
mengeluarkan argumen: اَلاَصْلُ
فِى الْكَلَامِ اَنْ يَكُوْنَ اِسْمًا (asal pokok dalam pembicaraan adalah isim).
Jadi untuk kita boleh memilih mana saja, tapi yang lebih mu’tamad (kuat)
dalam masalah muta’allaq basmalah ini yaitu menurut Qaul Kufah sebab menurut keterangan:
لِاَنَّ الْفِعْلَ يُفِيْدُ تَجَدُّدًا وَلِاَنَّ الْاِسْمَ يُفِيْدُ
دَوَامًا
(Sesungguhnya
fiil itu mengandung faidah tajdid –pemahaman yang baru didapat oleh pendengar-
sedangkan isim berfaidah tetap)
Alhasil, Muta’allaq basmalah dengan
menggunakan fiil dan syibhul fiil, baik yang khosh (bersifat khusus) ataupun
‘aam (bersifat umum) yang masing-masing ada tujuh jalan, yaitu:
Muta’allaq Khosh Yang didahulukan:
§ Fi’il khosh,
taqdirannya:
أُأَلِّفُ بسم الله الرحمن الرحيم
§ Mashdarnya fi’il,
taqdirannya:
أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Isim fa’il yang
keluar dari fiilnya, taqdirannya:
اَنَا مُؤَلِّفٌ بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari fi’ilnya fa’il, taqdirannya:
أُأَلِّفُ مُسْتَعِينًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari fa’ilnya mashdar, taqdirannya:
أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari isim fa’il, taqdirannya:
اَنَا مُؤَلِّفٌ مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Jumlah ismiyah
yang keluar dari fi’il, taqdirannya:
تَأْلِيْفِى حَامِلٌ بسم الله الرحمن الرحيم
Muta’allaq ‘Aam Yang didahulukan:
§ Fi’il ‘aam,
taqdirannya: أَبْتَدِءُ
بسم الله الرحمن الرحيم
§ Mashdarnya
fi’il, taqdirannya:
اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً بسم الله الرحمن الرحيم
§ Isim fa’il yang
keluar dari fiilnya, taqdirannya:
اَنَا مُبْتَدِءٌ بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari fi’ilnya fa’il, taqdirannya:
أَبْتَدِءُ مُسْتَعِينًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari fa’ilnya mashdar, taqdirannya:
اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Hal yang keluar
dari isim fa’il, taqdirannya:
اَنَا مُبْتَدِءٌ مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§ Jumlah ismiyah
yang keluar dari fi’il, taqdirannya:
إِبْتِدَائِي حَامِلٌ بسم الله الرحمن الرحيم
Muta’allaq
basmalah di atas adalah muta’allaqq muqaddam (muta’allaq
terletak sebelum kalimat basmalah). Dalilnya tidak lain adalah al-Qur’an dalam hal ini Surah
al-‘Alaq ayat 1: اِقْرَاْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ .
Adapun faidah dari muta’allaq muqaddam ini yaitu: لِرِعْيَةِ الْمَقَامِ الْعَمَلِ الَّذِى هُوَ الْمُقَدَّمُ فِى
الْاَصْلِ (menjaga tempat amal yang pada dasarnya muta’allaq basmalah adalah
didahulukan).
Bisa juga
muta’allaq itu dita’khir (muta’allaq diletakkan setelah kalimat basmalah).
Faidahnya adalah: لِلْاِهْتِمَالِ
karena ada keterangan: ذِكْرُ الْمَعْمُوْلِ قَبْلَ عَامِلِهِ يُفِيْدُ الْاِهْتِمَالِ (penyebutan ma’mul sebelum amil adalah menunjukkan betapa
pentingnya permasalahan) seperti contoh dalam al-Qur’an: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
Lalu kenapa lafadzh أُأَلِّفُ disebut dengan “muta’allaq fi’il khosh” ?
Jawabannya: لِمُنَاسَبَةٍ لِمَا
بُدِاَ بِالْبَسْمَلَةِ (karena
sesuai dengan sesuatu yang diawali dengan basamalah). Kemudian, apa sebabnya fi’il khosh
lebih didahulukan dari pada fi’il ‘aam ? karena: لِرِعَايَةِ حَقِّ خُصُوْصِيَّةِ الْمَقَامِ (melangsungkan
kebiasaan dimana fi’il khosh lebih khusus untuk dijadikan tempat muta’allaq)
***
Jumlah
muta’allaq yang ditaqdim sama dengan jumlah muta’allaq yang dita’khir yaitu ada
tujuh, cuman bedanya cara meletakkannya harus diakhir (setelah kalimat basmalah). Lengkapnya seperti di bawah ini:
Muta’allaq basmalah muakhor yang bersifat khosh:
|
Muta’allaq basmalah muakhor yang bersifat ‘aam:
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أَبْتَدِءُ
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُؤَلِّفٌ
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُبْتَدِءٌ
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ مُسْتَعِينًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أَبْتَدِءُ مُسْتَعِينًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا
مُتَبَارِكًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً
مُتَبَارِكًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُؤَلِّفٌ مُتَبَارِكًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُبْتَدِءٌ مُتَبَارِكًا
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم تَأْلِيْفِى حَامِلٌ
|
·
بسم الله الرحمن الرحيم إِبْتِدَائِي حَامِلٌ
|
d)
Lafadzh ar-Rahman dan ar-Rahim
Kedua lafadzh ini –sebagaimana kata Ibnu
Katsir- berasal dari kata رَحْمَةٌ (rahmat). Kedua isim
tersebut (اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) pecahan dari الرَّحْمَةُ untuk mubalaghah, dan ar-Rahman lebih tinggi mubalaghahnya
daripada ar-Rahim, dimana ar-Rahman adalah rahmat yang diberikan kepada semua
makhluk-Nya sedangkan ar-Rahim adalah rahmat yang hanya khusus untuk orang
mukmin semata. Lafadzh رَحْمنُ berasal dari رَحْمَةٌ dengan wazan فَعْلَانُ dan رَحِيْمٌ dengan wazan فَعِيْلٌ
Isim الرَّحِيْمُ juga memiliki pecahan lain yaitu: الرَّاحِيْمُ (dengan
alif setelah huruf ra’) akan tetapi kata الرَّحِيْمُ lebih kuat maknanya dibandingkan dengan الرَّاحِيْمُ karena kata الرَّحِيْمُ mengandung makna pujian yang rahmat-Nya abadi
terus melekat pada diri-Nya. Sedangkan kata الرَّاحِيْمُ mengandung makna rahmat yang temporer.
ال (Al) ma’rifat pada lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ berfungsi sebagai “lilgholbah” (unggul, keunggulan, tanpa tanding). Artinya sifat rahman-rahim-Nya tidak
terdapat pada selain Allah sebagaimana nama-Nya juga tidak boleh diberikan
kepada selain-Nya.
Sifat rahmat
Allah diulang dua kali dengan sighah mubalaghah bertingkat. Pengulangan
penyebutan sifat berfungsi sebagai pengagungan yang disifati yaitu Allah swt.
Atau sebagai penekanan agar lebih mengena dan terasa di dalam hati.
***
Lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ dalam i’rabnya menjadi na’at haqiqi bagi lafadzh Allah. Bentuk na’at seperti ini bisa di qotho’ dan juga bisa di itba’ karena alasan man’utnya yaitu lafadzh “Allah” bersifat mu’ayyan (tertentu). Maksud “Mu’ayyan” disini adalah mempunyai maushuf yang sudah jelas meski tidak disebutkan sebagian atau semua sifatnya. Dengan kata lain, ketika man’ut tidak bisa jelas kecuali dengan shifat, maka wajib adanya shifat, tapi ketika maushuf sudah jelas walau tanpa ada shifat, maka jika shifat ada, lafadz shifat tersebut boleh dipisahkan (qoth’u) dari maushufnya. Sebagaimana Syaikh Ibnu Malik berkomentar:
واقطع او اتبع إن يكن معينا
بدونها او بعضها اقطع معلنا
Oleh sebab
itu ketika ada shifat setelah lafdzhul jalalllah maka lafadzh shifat tersebut
boleh diputuskan dari maushufnya. Jadi lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ disini bisa dijadikan shifat juga bisa
diputuskan dari maushufnya. Ketika diputuskan maka ia mempunyai mahal sendiri.
Rincian dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Boleh itba’, yaitu: اِتْبَاعُ حَرْكَةِ الصِّفَةِ اِلَى مَوصُوْفِهَا (mengikutkan harkat shifat kepada maushufnya)
2. Boleh
Qotho’, yaitu: قَطْعُ حَرْكَةِ الصِّفَةِ اِلَى مَوْصُوْفِهَا (memutuskan harkat shifat kepada maushufnya).
Kemudian dalam praktiknya bisa dua bentuk, yaitu:
Kemudian dalam praktiknya bisa dua bentuk, yaitu:
a. Shifatnya dibaca
nashab seperti: باسم
الله الرحمنَ الرحيمَ jadi maf’ul bih dari fi’il dan fa’il
yang terbuang اَمْدَحُ
الرحمنَ
b. Shifatnya dibaca
rofa’: باسم الله الرحمنُ
الرحيمُ jadi khabar dari mubtada’ yang
terbuang هو الرحمنُ
Alasannya
boleh qotho’ karena lafadzh ini dapat memberikan faidah kepada madah (memuji kepada Allah) karena menurut qaidah:
Lantas, dalam al-Qur’an mengapa tidak di qotho’kan karena اِتْبَاعٌ لِرَسْمِ الْقُرْاَنِ yaitu mengikuti kepada tulisan al-Qur’an.
لِاَنَّ الْمَنْعُوْتَ اِذَا كَانَ الْمَقْصُوْدُ بِهِ الْمَدْحَ
فَالْاُوْلَى قَطْعُهَا
(Sesungguhnya
shifat yang dimaksudkan untuk memuji kepada maushufnya maka yang lebih utama di
qotho’kan).
Lantas, dalam al-Qur’an mengapa tidak di qotho’kan karena اِتْبَاعٌ لِرَسْمِ الْقُرْاَنِ yaitu mengikuti kepada tulisan al-Qur’an.
Adapun
kelengkapan cara membaca lafadzh ar-Rahman dan ar-Rahim ini ada sembilan macam
cara baca yaitu seperti tertera dalam syair berikut:
وَاَوْجَحُ الرَّحْمَنِ وَالرَّحِيْمِ تَكُوْنُ تِسْعَةً لَدَى التَّقْسِيْمِ
Menurut
para ahli Nahwu, lafadzh الرَّحْمَنِ وَالرَّحِيْمِ bisa dibaca menjadi sembilan macam cara baca,
yaitu:
جَرُّهُمَا الثَّابِتُ فِى الْكِتَابِ وَسِتَّةٌ تَسُوْغُ فِى الْاِعْرَابِ
(1) Men-jar-kan keduanya (Sebagai na’at dari lafadzh Jalallah)
yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ sesuai yang termaktub dalam
al-Qur’an, Kemudian enam cara baca dibolehkan berdasarkan i’rab, yaitu:
اَىْ جَرُّ اَوَّلٍ وَنَصْبُ مَا تَلاَ وَرَفْعُهُ كَذَا اَوِانْصِبْ اَوَّلاَ
(1) Men-jar-kan yang pertama
(sebagai na’at dari lafadzh
Jalallah) dan
menashabkan lafadzh yang kedua (sebagai maf’ul
bih dari fi’il yang terbuang, taqdirannya اَمْدَحُ الرَّحِيْمَ ) yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمَ , (2) Men-jar-kan yang pertama
(Sebagai na’at dari lafadzh Jalallah) dan merafa’kan yang kedua (sebagai khabar
dari mubtada’ yang terbuang, taqdirannya هُوَ الرَّحِيْمُ ) yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمُ , (3) Menashabkan lafadzh yang
pertama (sebagai maf’ul bih dari fi’il yang terbuang, taqdirannya اَمْدَحُ الرَّحْمَنَ ) dan merafa’kan lafadzh yang
kedua (sebagai khabar dari mubtada yang terbuang, taqdirannya هُوَ الرَّحِيْمُ ) yaitu اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمُ .
مَعْ رَفْعٍ تَالَ ثُمَّ عَكْسِهِ اَتَى رَفْعُهُمَا نَصْبُهُمَا قَدْ ثَبَتَا
(4) Merafa’kan yang pertama (sebagai mubtada’) dan
menashabkan yang kedua (sebagai maf’ul bih) yaitu اَلرَّحْمَنُ الرَّحِيْمَ , (5) Merafa’kan keduanya (sebagai khabar dari
mubtada yang dibuang) yaitu اَلرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ , (6) Menashabkan keduanya (sebagai maf’ul bih
dari fi’il yang terbuang) yaitu اَلرَّحْمَنَ
الرَّحِيْمَ .
وَجَرُّ ثَانٍ مَعَ رَفْعٍ اَوَّلٍ اَوْنَصْبِهِ امْنَعْنَهُ فَلْتَدَعَ لِى
(Adapun) bacaan yang dilarang
untuk diterapkan adalah: (1) Men-jar-kan lafadzh yang kedua dan merafa’kan lafadzh yang
pertama (yaitu اَلرَّحْمَنُ
الرَّحِيْمِ , ini
tidak boleh diterapkan karena itba’ setelah Qotho’), (2) Men-jar-kan lafadzh
yang kedua dan menashabkan lafadzh yang pertama (yaitu اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمِ , ini juga tidak boleh karena
itba’ setelah Qotho’).
Wallahu’alam
bi Shawab !
alhamdulillah ust,, smoga tambah berkah...
BalasHapusamin,,, itung itung ngsi blog. tulisan ketika kelas 3 Mua'allimin dulu. jadi wajar klo blum matching
BalasHapus