RADIO DEWI ANJANI

NAHWU BASMALAH



NAHWU BASMALAH
Oleh: Wildan Kurnia
 
        Dalam entri perdana tulisan ini, penulis akan coba memaparkan tentang Basmalah dengan kacamata Ilmu Nahwu. Tulisan ini penulis sarikan dari berbagai sumber yang tidak penulis sebutkan di sini. Insyaallah penulis akan tuangkan pada tulisan-tulisan berikutnya.

          Let's start with  Qaul Ulama’:

يَنْبَغِى لِكُلِّ شَارِعٍ فِى فَنٍّ مِنَ الْفُنُوْنِ اَنْ يَتَكَلَّمَ عَلى الْبَسْمَلَةِ بِطَرْفٍ مِمَّا يُنَاسِبُهَا ليحصل اَرْبَعَ قَوَاعِدَ اَلاوَّلُ وَفَاءُ الْحَقِّ الْفَنِّ وَالثَّانِى وَفَاءُ الْحَقِّ الْبَسْمَلَةِ وَالثَّالِثُ لِاَنْ لَا يَعُوْدَ قُصُوْرًا اَوْ تَقْصِيْرًا وَالرَّابِعُ لِاَنْ يَعُوْدَ الْبَرْكَة الْبَسْمَلَةَ اِلى فَنِّ الْمَشْرُوْعِ فِيْهِ
        “Alangkah baiknya sebelum kita membahas suatu materi atau suatu ilmu, baik itu ilmu fiqih, ushul fiqh, sharef, balaghah, tauhid, hadits dan ilmu-ilmu yang lain, dianjurkan terlebih dahulu untuk membahas basmalah dengan pendekatan ilmu yang bersangkutan, alasannya agar mendapat empat faidah, yaitu: Memenuhi hak pan (jenis ilmu) yang akan dikaji, memenuhi haknya basmalah, agar tidak termasuk orang yang sembarangan (menyepelekan ilmu yang dikaji), dan supaya mendapat kebaikan basmalah pada ilmu yang bersangkutan.”
Sebagaimana sabda Nabi saw:
كُلُّ اَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَاُ فِيْهِ  بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ اَقْطَعَ اَوْ اَجْزَمَ اَوْ اَبْتَرَ
Setiap perkara sesuatu yang tidak dimulai dengan mengucap basmalah, maka ia terputus.
        Hal yang senada juga dikatakan oleh Syaikh Sulaiman Jamaluddin Rahimahullah:

مَنْ شَرَعَ فِى فَنٍّ لَايَتَكَلَّمُ عَلى الْبَسْمَلَةِ فَهُوَ عَبثٌ وَمَنْ تَرَكَهَا فَهُوَ تَقْصِيْرٌ
        “Barang siapa belajar suatu ilmu tanpa mengupas bismillah terlebih dahulu maka dialah orang yang bercanda (tidak serius) dan barang siapa yang meninggalkan bahasan basmalah maka dialah orang yang sembarangan.”
       Dan perlu juga diketahui bahwa basmalah ini juga disebut Ibtida’ Haqiqi, yaitu:
       مَا تَقَدَّمَ اَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَلَمْ يُسْبِقَهُ شَيْءٌ    
(Sesuatu yang mendahului maksud dan tidak terdahului oleh sesuatu apapun-lainnya- seperti basmalah ini contohnya). 

         Selain Ibtida’ Haqiqi , ada juga yang disebut Ibtida’ Majazy yaitu:

  مَا تَقَدَّمَ اَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَاَنْ يُسْبِقَهُ شَيْءٌ    
(Sesuatu yang berada -mendahului- maksud walaupun terdahului sesuatu yang lain, seperti bacaan atau tulisan hamdalah setelah basmalah)

***

         Selanjutnya, sesuai dengan judul artikel ini, maka bahasan basmalah kali ini akan penulis paparkan dengan memakai pendekatan ilmu Nahwu, yaitu dengan cara meneliti dan mengamati ta’alluqnya. Adapun ta’alluq (hubungan) ilmu Nahwu dengan basmalah adaalah sebagai berikut:

a)      Ba-nya kalimah basmalah
I’rabnya ba dalam kalimah basmalah adalah mabni kasrah tidak mabni sukun alasannya agar tidak ibtidau bissakin, alasan mabni karena ba termasuk huruf sedangkan setiap huruf berhak untuk mabni: وَكُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَاءِ

Menurut kajian Nahwu, ba pada kalimah basmalah bisa menjadi tiga kategori yaitu:

1.      Ba huruf jar zaidah, yaitu: هُوَ مَا لاَ يَدُلُّ عَلَى مَعْنَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ اِلَى مُتَعَلّقٍ   (Huruf jar yang tidak memiliki arti sendiri dan juga tidak membutuhkan muta’allaq yang berhubungan dengannya). Jika ba disini dimaksudkan huruf jar ba- zaidah maka i’rabnya adalah:
الباء حرف جر زائد والاسم مبتدء مرفوع بالابتداء وعلامة رفعه ضمة مقدرة على اخره منع من ظهورها باشتغال محل بحركة حرف جر زائد وخبره محذوف وتقديره مبدوء به او ابدء به بديعة قوية بحسن نية والاخلاص
2.      Ba huruf jar asliyyah, yaitu: هُوَ مَا يَدُلُّ عَلَى مَعْنَاهُ وَيَحْتَاجُ اِلَى مُتَعَلِّقٍ  (Huruf jar yang memiliki arti sendiri dan juga membutuhkan muta’allaq yang bersangkutan dengannya). Jika dalam kalimah basmalah dimaksudkan ba huruf jar ashliyyah maka pasti ada muta’allaq yang dibuang, jika di tampakkah kira-kira seperti ini:

اسم الذات الجامعة على جميع الصفة الألوهية المنعم بجلائل النعم المنعم بدقائقها أألف هذا الكتاب المسمى بالفية مثلا حال كون مستعينا ومتباركا ليحصل البركة بذكر اسم من اسماء الله عز وجل

Maka i’rabnya adalah:
الباء حرف جر اصلي متعلق بمحذوف , والمتعلق اما اسم واما فعل وكل منهما اما خص واما عام وكل منهما اما مقدم واما مؤخر
Maksudnya, ba huruf jar asliyah mempunyai ta’alluq ke lafadzh yang dibuang. Ta’alluqnya itu bisa berupa isim dan juga fiil. Dari isim dan fiil tersebut bisa khosh dan juga ‘aam. Dari khosh dan ‘aam itu bisa didahulukan dan bisa diakhirkan. Insyaallah akan dijelaskan nanti.

3.      Ba huruf jar qasamiyyah (media untuk bersumpah), ba kategori ini wajib membutuhkan jawab qasamnya, misalkan: بسم الله الرحمن الرحيم لَأُأَلِّفُ
          Adapun makna ba yang terkandung pada lafadzh basmalah adalah sebagai ba isti’anah atau ba mushohabah. Kita tinggal memilih karena keduanya juga boleh, tapi yang paling tepat adalah ba dengan makna isti’anah sebagaimana dijelaskan dalam kitab alfiyah khudhary.

b)     Lafadzh Ismullahi  (اسم الله)
 
        Susunan lafadzh Ismu (اسم) terhadap lafadzh Allah adalah susunan tarkib Idhafy, arti tarkib idhafy adalah suatu kalimah yang terdiri dari mudhaf dan mudhafun ilaih. Ismu (اسم) adalah mudhaf dan lafadzh Allah adalah mudhfun ilaih, definisi atau ta’rif dari tarkib idhafy adalah:
نِسْبَةٌ تَقْيِيْدِيَّةٌ تُقْتَضُ انْجِرَارُ ثَانِهِمَا اَبَدًا   yaitu nisbat atau hubungan kayid dimana kalimah keduanya (mudhaf) minta untuk dijarkan selamanya. Sebab ada keterangan: وَحَقُّ الْمُضَافِ اِلَيْهِ اَنْ يَكُوْنَ مَجْرُوْرًا بالاول   (Haknya mudhaf ilaih adalah dijarkan oleh mudhaf) dalam arti mudhaf harus selamanya menjarkan mudhaf ilaih.

Idhafat lafadzh اِسْمٌ   terhadap lafadzh الله   itu bisa empat jalan yaitu:
·         اِضَافَةُ اسْتِغْرَاقِ جَمِيْعِ الْاَفْرَادِ   (mengumpulkan secara keseluruhan).
Taqdirannya: اَبْتَدِاُ بِسْمٍ مِنْ كُلِّ اَسْمَاءِ اللهِ  (Saya memulai –kitab ini- dengan menyebut semua asma Allah)

        Idhafat ini bisa saja kita gunakan dalam mengartikan basmalah, namun sebetulnya lafadzh Allah telah cukup unuk mengumpulkan semua asma’ dan sifat-Nya. Kalaupun tidak memakai idhafat Istighraq, maka makna Istighraq telah dihasilkan oleh lafdzhul jalallah tersebut. Bila di ucapkan akan seperti ini: اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ (بسم الله الْجَامِعِ لِكَمَالَاتِهِ)   (Saya memulai dengan menyebut asma’ Allah yang dimana lafdzhul jalalah ini mengumpulkan seluruh sifat kesempurnaan-Nya)
Mari kita bandingkan dengan makna Idhafat Istighraq !

Ketika Idhafat Istighraq kita satukan dengan makna lafdzhul jalalah, maka terkesan ada pengulangan dengan faidah sama (ini hanya pendapat penulis) dan bagaimanapun Idhafat Istighraq tetap bisa dipakai.
·         اِضَافَةُ بَعْضِ الْاَفْرَادِ  (mengumpulkan sebagiannya saja)
Taqdirannya: اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ اى مِنْ بَعْضِ اَسْمَائِهِ   (Saya memulai dengan menyebut sebagian asma’ Allah swt)
Idhafat jenis ini tetap bisa digunakan.

·         اِضَافَةٌ لِلْعَهْدِ الذِّهْنِى الْمُعَيَّنِ   (Kalau yang dimaksud adalah nama yang sudah ditentukan)

Seperti menentukan satu nama dari nama-nama Allah. Kalau diucapkan:

اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ اى بِسْمٍ مُعَيَّنٍ فِى الذِّهْنِى وَهُوَ اللهُ   (Saya memulai dengan menyebut satu nama Allah yang telah ditentukan dalam hati saya). Jika yang terbersit dalam hati itu “al-Aziz” umpamanya, maka sama seperti: “Saya mulai dengan menyebut nama Dzat yang Agung yaitu Allah.”

·         اِضَافَةٌ لِلْبَيَانِ اى لِلْبَيَانِ الْجِنْسِ فِى ضِمْنِ الْاَفْرَادِ بِقِطْعِ النَّظْرِ عَنِ الْكُلِّيَّةِ وَالْجُزْئِيَّةِ   (dengan tujuan memperjelas) . Idhafat jenis ini bertujuan memperjelas afrad (salah satu nama) tanpa melihat keseluruhan atau sebagian, yaitu kita langsung menentukan bahwa nama Allah lah yang kita sebut dalam pengucapan basmalah ini. Taqdirannya: اَبْتَدِاُ بِسْمِ اللهِ   (Saya memulai dengan menyebut nama yaitu Allah)

Ø  Kata Ismu (اسم) yang ada dalam basmalah mempunyai dua makna, yaitu:

1.      Kata yang menyebutkan tentang suatu nama sebagai kata tunjuk. Jika diterjemahkan maka artinya: Menyebut nama si anu (sebutkan namanya disini) misalnya “Nama Allah, Muhammad dan lain-lain.”

2.      Mufrad mudhaf (mudhaf tunggal), maknanya kata Ismu (اسم) disini mengandung seluruh asmaul husna, lebih jelasnya silahkan lihat penjelasan berikut:
الاسم   adalah pecahan dari kata اَلْسَمُو  yang artinya “tinggi, di atas”. Maka disebut Ismun (اسم) karena pemiliknya berada pada kedudukan yang tinggi. Maksudnya, Allah swt. Memiliki sifat-sifat yang agung sebelum maupun sesudah diciptakannya makhluk dan ketika musnahnya semua makhluk, nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya tidak akan berkurang sedikitpun.

Silang pendapat kedudukan mudhaf pada Ismun (اسم)

        Kenapa kata Ismun (اسم) didudukkan sebagai mudhaf padahal afadzh Allah itu isim ? Ingat bahwa nama seseorang, atau nama sesuatu dalam Ilmu Nahwu di golongkan sebagai Isim. Kok bisa kata  “nama” ( اِسْمٌ   , Ismun artinya nama) dijadikan sandaran dari sebuah “nama” juga (yaitu nama Allah), karena kata Allah termasuk isim.
Jawabannya ada tiga pendapat:
a.      اِسْمٌ  disini maksudnya tasmiyah (menyebut nama, mengucapkan nama, penamaan)
b.      اِسْمٌ kedudukannya bukan sebagai mudhaf tetapi mudhafnya makhduf, kandungannya: بِاسْمِ مُسَمَّى اللهِ
c.       اِسْمٌ  kedudukannya bukan sebagai mudhaf tetapi sebagai ziyadah (tambahan), sebab اِسْمٌ asalnya بِاللهِ  (sumpah demi Allah swt), kemudian ditambahkan kata اِسْمٌ supaya:

o   Pendapat Syaikh Qutrub: Berfungsi sebagai pengagungan dan penyucian tatkala menyebut nama Allah swt.
o   Pendapat Syaikh Akhfasyi: Mengubah fungsi sumpah kepada fungsi penyucian.

Ø  Asal kata lafadzh Allah (الله)  ada beberapa pendapat:
1.      إلاه   seperti wazan فِعَالٌ
2.    لا   kemudian dimasukkan atau diletakkan huruf “al” yang berfungsi sebagai 
         pengagungan. Kedua pendapat ini berasal dari Imam Sibawaih.
3.     أَلَالَاهُ   
        الله Lafadzh  adalah nama Allah yang paling Agung danselain-Nya tidak berhak menyandang dan memiliki nama ini. Allah swt. Berfirman: هل تعلم له سميا   (Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang namanya sama dengan dia ?) QS. Maryam: 65.
        Maka kata الله menurut Ibnu Abbas Radliyallahu’anhu: Yang memiliki uluhiyyah dan hak untuk diibadahi atas semua makhluknya.
c)      Muta’allaq Lafadzh Bismillah (بسم الله)
        Lafadzh بسم الله الرحمن الرحيم   itu termasuk tarkib naqish (kurang), karena hanya terdiri dari tarkib idhafy yaitu بسم الله   dan tarkib tausify yaitu الرحمن الرحيم  . Tarkib naqish dalam bahasa Indonesia berarti susunan kalimatnya belum sempurna, oleh karena susunan basmalah itu belum sempurna maka untuk menyempurnakannya harus mempunyai muta’allaq. Adapun muta’allaq untuk menyempurnakan susunan basmalah itu bisa dengan fiil, bisa juga dengan syibhul fiil atau yang serupa dengan fiil. Sebagaimana disebutkan dalam syair:

وَعَلِّقِ الظَّرْفَ وَمَا ضَهَاهُ     بِالْفِعْلِ اَوْ مَا يَسْتَوِي مَعْنَاهُ 
  
     Muta’allaq basmalah menurut ulama Kufah harus dengan fiil dengan argumen:
اَلاَصْلُ فِى الْعَمَلِ اَنْ يَكُوْنَ فِعْلاً   (asal pokok suatu pekerjaan atau amal itu adalah fiil). Sedangkan ulama Bashrah berpendapat bahwa muta’allaq lafadzh basmalah itu harus dengan isim, mereka juga mengeluarkan argumen: اَلاَصْلُ فِى الْكَلَامِ اَنْ يَكُوْنَ اِسْمًا   (asal pokok dalam pembicaraan adalah isim).
    Jadi untuk kita boleh memilih mana saja, tapi yang lebih mu’tamad (kuat) dalam masalah muta’allaq basmalah ini yaitu menurut Qaul Kufah sebab menurut keterangan: 

لِاَنَّ الْفِعْلَ يُفِيْدُ تَجَدُّدًا وَلِاَنَّ الْاِسْمَ يُفِيْدُ دَوَامًا
(Sesungguhnya fiil itu mengandung faidah tajdid –pemahaman yang baru didapat oleh pendengar- sedangkan isim berfaidah tetap)
Alhasil, Muta’allaq basmalah dengan menggunakan fiil dan syibhul fiil, baik yang khosh (bersifat khusus) ataupun ‘aam (bersifat umum)  yang masing-masing ada tujuh jalan, yaitu:

Muta’allaq Khosh Yang didahulukan:
§  Fi’il khosh, taqdirannya:
 أُأَلِّفُ بسم الله الرحمن الرحيم
§  Mashdarnya fi’il, taqdirannya:
 أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Isim fa’il yang keluar dari fiilnya, taqdirannya:
 اَنَا مُؤَلِّفٌ بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari fi’ilnya fa’il, taqdirannya:
 أُأَلِّفُ مُسْتَعِينًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari fa’ilnya mashdar, taqdirannya:
 أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari isim fa’il, taqdirannya:
 اَنَا مُؤَلِّفٌ مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Jumlah ismiyah yang keluar dari fi’il, taqdirannya:
 تَأْلِيْفِى حَامِلٌ بسم الله الرحمن الرحيم

Muta’allaq ‘Aam Yang didahulukan:
§  Fi’il ‘aam, taqdirannya: أَبْتَدِءُ بسم الله الرحمن الرحيم
§  Mashdarnya fi’il, taqdirannya:
 اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً بسم الله الرحمن الرحيم
§  Isim fa’il yang keluar dari fiilnya, taqdirannya:
 اَنَا مُبْتَدِءٌ بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari fi’ilnya fa’il, taqdirannya:
 أَبْتَدِءُ مُسْتَعِينًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari fa’ilnya mashdar, taqdirannya:
 اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Hal yang keluar dari isim fa’il, taqdirannya:
 اَنَا مُبْتَدِءٌ مُتَبَارِكًا بسم الله الرحمن الرحيم
§  Jumlah ismiyah yang keluar dari fi’il, taqdirannya:
 إِبْتِدَائِي حَامِلٌ بسم الله الرحمن الرحيم
 
        Muta’allaq basmalah di atas adalah muta’allaqq muqaddam (muta’allaq terletak sebelum kalimat basmalah). Dalilnya tidak lain adalah al-Qur’an dalam hal ini Surah al-‘Alaq ayat 1: اِقْرَاْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ  . Adapun faidah dari muta’allaq muqaddam ini yaitu: لِرِعْيَةِ الْمَقَامِ الْعَمَلِ الَّذِى هُوَ الْمُقَدَّمُ فِى الْاَصْلِ   (menjaga tempat amal yang pada dasarnya muta’allaq basmalah adalah didahulukan).

        Bisa juga muta’allaq itu dita’khir (muta’allaq diletakkan setelah kalimat basmalah). Faidahnya adalah: لِلْاِهْتِمَالِ   karena ada keterangan: ذِكْرُ الْمَعْمُوْلِ قَبْلَ عَامِلِهِ يُفِيْدُ الْاِهْتِمَالِ   (penyebutan ma’mul sebelum amil adalah menunjukkan betapa pentingnya permasalahan) seperti contoh dalam al-Qur’an: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ  

        Lalu kenapa lafadzh أُأَلِّفُ  disebut dengan “muta’allaq fi’il khosh” ? Jawabannya: لِمُنَاسَبَةٍ لِمَا بُدِاَ بِالْبَسْمَلَةِ   (karena sesuai dengan sesuatu yang diawali dengan basamalah). Kemudian, apa sebabnya fi’il khosh lebih didahulukan dari pada fi’il ‘aam ? karena: لِرِعَايَةِ حَقِّ خُصُوْصِيَّةِ الْمَقَامِ   (melangsungkan kebiasaan dimana fi’il khosh lebih khusus untuk dijadikan tempat muta’allaq)
***
        Jumlah muta’allaq yang ditaqdim sama dengan jumlah muta’allaq yang dita’khir yaitu ada tujuh, cuman bedanya cara meletakkannya harus diakhir (setelah kalimat basmalah). Lengkapnya seperti di bawah ini:

Muta’allaq basmalah muakhor yang bersifat khosh:

Muta’allaq basmalah muakhor yang bersifat ‘aam:
·         بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ

·         بسم الله الرحمن الرحيم أَبْتَدِءُ
·         بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا

·         بسم الله الرحمن الرحيم اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً
·         بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُؤَلِّفٌ

·         بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُبْتَدِءٌ
·         بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ مُسْتَعِينًا

·         بسم الله الرحمن الرحيم أَبْتَدِءُ مُسْتَعِينًا
·         بسم الله الرحمن الرحيم أُأَلِّفُ تَأْلِيْفًا مُتَبَارِكًا

·         بسم الله الرحمن الرحيم اَبْتَدِءُ اِبْتِدَاءً مُتَبَارِكًا
·         بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُؤَلِّفٌ مُتَبَارِكًا

·         بسم الله الرحمن الرحيم اَنَا مُبْتَدِءٌ مُتَبَارِكًا
·         بسم الله الرحمن الرحيم تَأْلِيْفِى حَامِلٌ  

·         بسم الله الرحمن الرحيم إِبْتِدَائِي حَامِلٌ

d)     Lafadzh ar-Rahman dan ar-Rahim
         Kedua lafadzh ini –sebagaimana kata Ibnu Katsir- berasal dari kata رَحْمَةٌ   (rahmat). Kedua isim tersebut (اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ)   pecahan dari الرَّحْمَةُ  untuk mubalaghah, dan ar-Rahman lebih tinggi mubalaghahnya daripada ar-Rahim, dimana ar-Rahman adalah rahmat yang diberikan kepada semua makhluk-Nya sedangkan ar-Rahim adalah rahmat yang hanya khusus untuk orang mukmin semata. Lafadzh رَحْمنُ   berasal dari رَحْمَةٌ dengan wazan فَعْلَانُ   dan رَحِيْمٌ   dengan wazan فَعِيْلٌ
        Isim الرَّحِيْمُ   juga memiliki pecahan lain yaitu: الرَّاحِيْمُ  (dengan alif setelah huruf ra’) akan tetapi  kata الرَّحِيْمُ  lebih kuat maknanya dibandingkan dengan الرَّاحِيْمُ  karena kata الرَّحِيْمُ  mengandung makna pujian yang rahmat-Nya abadi terus melekat pada diri-Nya. Sedangkan kata الرَّاحِيْمُ  mengandung makna rahmat yang temporer. 
        ال   (Al) ma’rifat pada lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ   berfungsi sebagai “lilgholbah” (unggul, keunggulan, tanpa tanding). Artinya sifat rahman-rahim-Nya tidak terdapat pada selain Allah sebagaimana nama-Nya juga tidak boleh diberikan kepada selain-Nya.
         Sifat rahmat Allah diulang dua kali dengan sighah mubalaghah bertingkat. Pengulangan penyebutan sifat berfungsi sebagai pengagungan yang disifati yaitu Allah swt. Atau sebagai penekanan agar lebih mengena dan terasa di dalam hati.
***

         Lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ   dalam i’rabnya menjadi na’at haqiqi bagi lafadzh Allah. Bentuk na’at seperti ini bisa di qotho’ dan juga bisa di itba’ karena alasan man’utnya yaitu lafadzh “Allah” bersifat mu’ayyan (tertentu). Maksud “Mu’ayyan” disini adalah mempunyai maushuf yang sudah jelas meski tidak disebutkan sebagian atau semua sifatnya. Dengan kata lain, ketika man’ut tidak bisa jelas kecuali dengan shifat, maka wajib adanya shifat, tapi ketika maushuf sudah jelas walau tanpa ada shifat, maka jika shifat ada, lafadz shifat tersebut boleh dipisahkan (qoth’u) dari maushufnya. Sebagaimana Syaikh Ibnu Malik berkomentar:
واقطع او اتبع إن يكن معينا     بدونها او بعضها اقطع معلنا
          Oleh sebab itu ketika ada shifat setelah lafdzhul jalalllah maka lafadzh shifat tersebut boleh diputuskan dari maushufnya. Jadi lafadzh الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ    disini bisa dijadikan shifat juga bisa diputuskan dari maushufnya. Ketika diputuskan maka ia mempunyai mahal sendiri. Rincian dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Boleh itba’, yaitu: اِتْبَاعُ حَرْكَةِ الصِّفَةِ اِلَى مَوصُوْفِهَا   (mengikutkan harkat shifat kepada maushufnya)

2.     Boleh Qotho’, yaitu: قَطْعُ حَرْكَةِ الصِّفَةِ اِلَى مَوْصُوْفِهَا   (memutuskan harkat shifat kepada maushufnya).

                   Kemudian dalam praktiknya bisa dua bentuk, yaitu:

a.      Shifatnya dibaca nashab seperti: باسم الله الرحمنَ الرحيمَ  jadi maf’ul bih dari fi’il dan fa’il yang terbuang اَمْدَحُ الرحمنَ

b.      Shifatnya dibaca rofa’: باسم الله الرحمنُ الرحيمُ  jadi khabar dari mubtada’ yang terbuang هو الرحمنُ

Alasannya boleh qotho’ karena lafadzh ini dapat memberikan faidah kepada madah (memuji kepada Allah) karena menurut qaidah:

 لِاَنَّ الْمَنْعُوْتَ اِذَا كَانَ الْمَقْصُوْدُ بِهِ الْمَدْحَ فَالْاُوْلَى قَطْعُهَا    
(Sesungguhnya shifat yang dimaksudkan untuk memuji kepada maushufnya maka yang lebih utama di qotho’kan). 

Lantas, dalam al-Qur’an mengapa tidak di qotho’kan karena اِتْبَاعٌ لِرَسْمِ الْقُرْاَنِ   yaitu mengikuti kepada tulisan al-Qur’an.
          Adapun kelengkapan cara membaca lafadzh ar-Rahman dan ar-Rahim ini ada sembilan macam cara baca yaitu seperti tertera dalam syair berikut:

وَاَوْجَحُ الرَّحْمَنِ وَالرَّحِيْمِ     تَكُوْنُ تِسْعَةً لَدَى التَّقْسِيْمِ
Menurut para ahli Nahwu, lafadzh  الرَّحْمَنِ وَالرَّحِيْمِ bisa dibaca menjadi sembilan macam cara baca, yaitu:
جَرُّهُمَا الثَّابِتُ فِى الْكِتَابِ    وَسِتَّةٌ تَسُوْغُ فِى الْاِعْرَابِ
(1)   Men-jar-kan keduanya (Sebagai na’at dari lafadzh Jalallah) yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ   sesuai yang termaktub dalam al-Qur’an, Kemudian enam cara baca dibolehkan berdasarkan i’rab, yaitu:
اَىْ جَرُّ اَوَّلٍ وَنَصْبُ مَا تَلاَ     وَرَفْعُهُ كَذَا اَوِانْصِبْ اَوَّلاَ
(1)   Men-jar-kan   yang   pertama  (sebagai  na’at  dari  lafadzh  Jalallah)  dan
 menashabkan lafadzh yang kedua (sebagai maf’ul bih dari fi’il yang terbuang, taqdirannya اَمْدَحُ الرَّحِيْمَ   ) yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمَ   , (2) Men-jar-kan yang pertama (Sebagai na’at dari lafadzh Jalallah) dan merafa’kan yang kedua (sebagai khabar dari mubtada’ yang terbuang, taqdirannya هُوَ الرَّحِيْمُ  ) yaitu اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمُ   , (3) Menashabkan lafadzh yang pertama (sebagai maf’ul bih dari fi’il yang terbuang, taqdirannya اَمْدَحُ الرَّحْمَنَ   ) dan merafa’kan lafadzh yang kedua (sebagai khabar dari mubtada yang terbuang, taqdirannya هُوَ الرَّحِيْمُ  ) yaitu اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمُ  .
مَعْ رَفْعٍ تَالَ ثُمَّ عَكْسِهِ اَتَى     رَفْعُهُمَا  نَصْبُهُمَا قَدْ ثَبَتَا
(4) Merafa’kan yang pertama (sebagai mubtada’) dan menashabkan yang kedua (sebagai maf’ul bih) yaitu اَلرَّحْمَنُ الرَّحِيْمَ  , (5) Merafa’kan keduanya (sebagai khabar dari mubtada yang dibuang) yaitu اَلرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ  , (6) Menashabkan keduanya (sebagai maf’ul bih dari fi’il yang terbuang) yaitu اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمَ  .
وَجَرُّ ثَانٍ مَعَ رَفْعٍ اَوَّلٍ      اَوْنَصْبِهِ امْنَعْنَهُ فَلْتَدَعَ لِى
(Adapun) bacaan yang dilarang untuk diterapkan adalah: (1) Men-jar-kan lafadzh yang kedua dan merafa’kan lafadzh yang pertama (yaitu اَلرَّحْمَنُ الرَّحِيْمِ  , ini tidak boleh diterapkan karena itba’ setelah Qotho’), (2) Men-jar-kan lafadzh yang kedua dan menashabkan lafadzh yang pertama (yaitu اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمِ  , ini juga tidak boleh karena itba’ setelah Qotho’).
Wallahu’alam bi Shawab !

2 komentar:

  1. alhamdulillah ust,, smoga tambah berkah...

    BalasHapus
  2. amin,,, itung itung ngsi blog. tulisan ketika kelas 3 Mua'allimin dulu. jadi wajar klo blum matching

    BalasHapus

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi