RADIO DEWI ANJANI

SELAYANG PANDANG KELUARGA "SAMARA"

Gambar: https://islamituindahcom.wordpress.com
SELAYANG PANDANG KELUARGA "SAMARA"

Allah telah menetapkan bumi ini harus senantiasa terpelihara dengan baik atau biasa dikenal dengan “makmur”. Proses pemakmuran tidak akan bisa berjalan tanpa kehadiran makhluk yang dianggap layak untuk menjalankan tugas pemakmuran tersebut.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipandang layak dan mampu untuk menjalankan tugas tersebut, oleh karenanya manusia disebut khalifah. Jika pemakmuran bumi merupakan sesuatu yang niscaya, maka keberadaan manusia secara berkelanjutan juga sesuatu yang niscaya pula. Sebagai konsekuensinya, manusia harus memiliki keturunan. Dalam hal ini, di samping untuk melaksanakan tugas yang berkelanjutan tersebut, juga agar ciptaan Allah yang secara eksplisit dinyatakan untuk manusia, tidak menjadi sia-sia.
Di sinilah pernikahan di dalam Islam memiliki relevansinya, sebab ia merupakan sarana yang dibenarkan dan terhormat untuk memperoleh keturunan demi memelihara keberadaan manusia secara berkelanjutan di muka bumi ini. Namun begitu, betapa sangat sederhananya jika perkawinan hanya untuk memperoleh keturunan yang berkelanjutan, sebab dalam tataran ini manusia belum bisa dibedakan dengan binatang. Di samping itu, tujuan tersebut juga belum bisa memenuhi kebutuhan manusia dari sisi rohaniahnya. Oleh karena itu, pernikahan bagi manusia haruslah bukan sekedar regenerasi umat manusia secara berkelanjutan, apalagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, namun harus ada tujuan yang lebih asasi sesuai dengan kebutuhan rohaninya[1]
Dalam hal ini, Islam menetapkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sakīnah, yang dilandasi atas mawaddah dan rahmah. Karena itu, untuk memulai bahasan tulisan ini penulis akan memaparkan definisi yang merupakan kata kunci pembahasan dalam materi, yaitu: Keluarga, Sakinah, Mawaddah dan Rahmah.

1.      Definisi Keluarga
Jika kita membuka lembaran-lembaran pemikiran para pakar, maka banyak dan beraneka ragam definisi tentang keluarga yang akan kita temukan. Namun, dalam tulisan ini penulis hanya akan memuat beberapa pengertian saja, sebagai acuan untuk memahami isi makalah ini dengan lebih holistik.

            a)      Duvall dan Logan ( 1986 )
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.

b)      Bailon dan Maglaya ( 1978 ) :
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.

c)      Departemen Kesehatan RI ( 1988 ) :
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

d)     Narwoko dan Suyanto, (2004) :
Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat mana pun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu”[2]

e)      Menurut BKKBN (1999)
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spritual dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.[3]

             f)       Fitzpatrick (2004)[4]

Pakar yang satu ini memberikan pengertian keluarga dengan cara meninjaunya berdasarkan tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu. 

1.      Pengertian Keluarga secara Struktural: Keluarga didefenisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota dari keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Defenisi ini memfokuskan pada siapa saja yang menjadi bagian dari sebuah keluarga. Dari perspektif ini didapatkan pengertian tentang keluarga sebaga asal-usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).

2.      Pengertian Keluarga secara Fungsional: Defenisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga, Keluarga didefenisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, juga pemenuhan peran-peran tertentu.

3.      Pengertian Keluarga secara Transaksional: Defenisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. Keluarga didefenisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah: 

Ø  Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
Ø  Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial : suami, istri, anak, kakak dan adik.
Ø  Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.
Ø  Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

Keluarga merupakan keharusan yang diwajibkan oleh Agama, salah satunya tertera pada Kitab Suci Al Qur’an: 

1.      Firman Allah dalam Surat At-Tahrim [66] Ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

2. Firman Allah dalam Surat Al-Furqon : Ayat 74
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

Selain itu, Keluarga juga seperti diamahkan oleh Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga:
Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

2.      Definisi Sakinah
Kata sakīnah ditemukan di dalam Al-Qur'an sebanyak enam kali di samping bentuk lain yang seakar dengannya. Secara keseluruhan, semuanya berjumlah 69 (enam puluh sembilan). Kata sakīnah yang berasal dari sakana-yaskunu, pada mulanya berarti sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak (subūtusy-syai' ba‘dat-taharruk).[5] Kata ini merupakan antonim dari idthirāb (kegoncangan), dan tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya terjadi gejolak, apa pun latar belakangnya. Rumah dikatakan maskan[6] karena ia merupakan tempat untuk istirahat setelah beraktifitas. Begitu juga waktu malam, dinyatakan oleh Al-Quran dengan sakan,[7] karena ia digunakan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk mencari rezeki di siang harinya.
Pada mulanya, kata sukūn digunakan untuk menunjukkan arti ketenangan yang bersifat jasmaniah, sementara sukūn yang berarti ketenangan dan kesenangan yang bersifat rohaniah adalah majāz isti‘ārah.[8] Atau dengan kata lain, sakīnah yang dipahami sebagai ketenangan jiwa atau bersifat rohani justru bukan arti yang sebenarnya. Meskipun begitu, karakter dasar dari kata sakīnah, yakni tenang setelah bergerak atau bergejolak, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah adalah sama. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan sakana-yaskunu-sakīnah yang bersifat rohaniah adalah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفاً فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَت دَّعَوَا اللّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً لَّنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Al-A’Raaf [7]: 189
Ayat ini menginformasikan bahwa keberadaan seseorang sebagai pasangannya bertujuan untuk memperoleh ketenangan. “Ketenangan” dalam hal ini tentu saja berbeda dengan ketenangan yang dialami seseorang ketika ia sudah berada di dalam rumah setelah seharian mencari rezeki. Oleh karena itu, ketenangan sebagai tujuan dari keberadaan orang lain sebagai pasangannya adalah bersifat rohaniah atau biasa disebut dengan ketenangan jiwa. Artinya, secara fitrah laki-laki akan merasa tenang jiwanya dengan kehadiran seorang pendamping di sisinya, yakni istri. Begitu juga perempuan, ia akan merasa tenang dengan kehadiran laki-laki sebagai pendamping atau suaminya. Kondisi batin yang mereka rasakan tersebut, setelah masing-masing mengalami kegoncangan atau kegelisahan ketika masih sendiri.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
هُوَالَّذِى أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِى قُلُوبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمٰنًا مَعَ إِيْمٰنِهِمْ
Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). (QS. al-Fath[48]: 4)
Ayat di atas berkenaan dengan kondisi batin kaum Mukminin yang senantiasa dilanda rasa takut dan gelisah akibat perilaku kaum kafir Mekah dalam perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian Rasulullah memberi kabar gembira bahwa mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah. Berita inilah yang dianggap sebagai sakīnah yang menjadikan batin/jiwanya tenang dan bahkan semakin memperkuat imannya.[9]
Pada firman-Nya yang lain juga disebutkan:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu(menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah[9]: 103)
Melalui ayat ini, Rasulullah diminta untuk mendoakan mereka yang membayar zakat, sebab doa beliau akan menenangkan hati mereka. Kata sakan di sini diambil dari kata sukūn, menurut Ibnu ‘Asyūr, berarti hilangnya rasa takut sehingga jiwanya menjadi tenang. Artinya, bahwa doa Rasulullah tersebut akan mendatangkan kebaikan bagi para muzakkī (pembayar zakat), yakni terhindar dari rasa takut sehingga jiwanya tenang dan tenteram.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata sakīnah dengan semua kata jadiannya, menunjukkan arti ketenangan dan ketenteraman, baik fisik/jasmani maupun rohani/jiwa. Khusus yang berbentuk sakīnah, semuanya menunjukkan arti ketenangan atau ketenteraman batin/jiwa. Yang pasti kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenteraman dan ketenangan setelah sebelumnya mengalami kegoncangan atau kegelisahan, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah.

3.      Definisi Mawaddah
Kata mawaddah ditemukan sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Secara keseluruhan dengan kata-kata yang seakar dengannya, semuanya berjumlah 25 (dua puluh lima). Kata mawaddah berasal dari wadda-yawaddu yang berarti mencintai sesuatu dan berharap untuk bisa terwujud (mahabbatusy-syai' watamannī kaunihi).[10] Sementara menurut al-Asfahānī kata mawaddah bisa dipahami dalam beberapa pengertian:
Pertama, berarti cinta (mahabbah) sekaligus keinginan untuk memiliki (tamannī kaunihi). Antara dua kata ini saling terkait, yakni disebabkan adanya keinginan yang kuat akhirnya melahirkan cinta; atau karena didorong rasa cinta yang kuat akhirnya melahirkan keinginan untuk mewujudkan sesuatu yang dicintainya. Hal ini bisa dilihat pada firman Allah:
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS.Ar-Rūm[30]: 21)
Mawaddah sebagai salah satu yang menghiasi perkawinan bukan sekedar cinta, sebagaimana kecintaan orang tua kepada anak-anaknya. Sebab, rasa cinta di sini akan mendorong pemiliknya untuk mewujudkan cintanya sehingga menyatu.
Inilah yang tergambar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah perkawinan. Ketika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, maka ia ingin sekali untuk mewujudkan cintanya tersebut dengan memilikinya (menikahinya). Begitu sebaliknya, ketika seorang perempuan mencintai seorang laki-laki, maka ia sangat menginginkan terwujud cintanya itu dengan menjadi istrinya. Dari sinilah, sementara ulama ada yang mengartikan mawaddah dengan mujāma‘ah (bersenggama).[11]
Kedua, berarti kasih sayang. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah:
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah (Muhammad): "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (QS. asy-Syūrā[42]: 23)

Kata mawaddah di sini hanya semata-mata mencintai dan menyayangi, layaknya dalam hubungan kekerabatan, berbeda dengan cintanya suami dan istri. Dalam hal ini, bentuk cinta dan kasih sayang dengan senantiasa menjaga hubungan kekerabatan agar tidak putus.[12] Sebagaimana dalam riwayat aţh-Țhabrānī dari Ibnu ‘Abbās, yang dikutip oleh Ibnu Katsīr: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka,
قَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَاأَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا أَنْ تَوَدُّوْنِي فِى نَفْسِي لِقَرَابَتِي مِنْكُمْ وَتَحْفَظُوا الْقَرَابَةَ بَيْنِى وَبَيْنَكُمْ (رواه الطبراني)
“Aku tidak meminta upah kepada kalian kecuali agar kalian tetap menyayangiku karena adanya hubungan kekerabatan, dan agar kalian senantiasa memelihara hubungan kekerabatan antara aku dan kalian.” (Riwayat ath-Thabrānī).
Sebagaimana Allah juga disifati dengan al-Wadūd, yakni Maha Mencintai hamba yang mencintai-Nya. Dalam istilah lain, cinta Allah diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh sebagai bukti kecintaannya kepada-Nya. Dalam firman-Allah disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak(Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka). (QS. Maryam[19]: 96)
Ketiga, berarti ingin, sebagaimana dalam beberapa firman Allah:
وَدَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu. Padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya. (QS. Āli ‘Imrān[3]: 69)

رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ
Orang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan,sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang Muslim. (QS. al-Hijr[15]: 2)

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ وَاللّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah [02]: 96)
Rangkaian ayat di atas menunjukkan bahwa kata wadda-yawaddu berarti ingin atau menginginkan, dan kecenderungan bentuk ini adalah buruk. Sementara kata mawaddah dalam bentuknya yang asli, juga mengandung pengertian-pengertian di atas yakni; cinta plus, cinta dan ingin, masing-masing dilihat dari konteks kalimatnya.

4.      Definisi Rahmah
Kata rahmah baik sendiri maupun dirangkai dengan kata ganti (dhamīr), seperti rahmatī dan rahmatuka, ditemukan di dalam Al-Quran sebanyak 114. Secara keseluruhan dengan kata-kata lain yang seakar dengannya, semuanya berjumlah 339.
 Kata rahmah berasal dari rahima-yarhamu yang berarti kasih sayang (riqqah), yakni sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan kepada siapa yang dikasihi. Menurut al-Asyfahānī, kata rahmah mengandung dua arti, kasih sayang (riqqah) dan budi baik/murah hati (ih}sān).[13] Kata rahmah yang berarti kasih sayang (riqqah) adalah dianugerahkan oleh Allah kepada setiap manusia. Artinya, dengan rahmat Allah tersebut manusia akan mudah tersentuh hatinya jika melihat pihak lain yang lemah atau merasa iba atas penderitaan orang lain.
Bahkan, sebagai wujud kasih sayangnya, seseorang berani berkorban dan bersabar untuk menanggung rasa sakit. Hal ini dapat dilihat pada kasus seorang ibu yang baru saja melahirkan, dimana secara demonstratif ia akan mencium bayinya, padahal sebelumnya ia berada dalam kondisi yang penuh kepayahan dan sakit yang teramat sangat. Demikian ini, karena banyak juga dijumpai kenyataan berbalik, yakni seorang ibu begitu tega membunuh anaknya yang baru saja dilahirkan, karena khawatir diketahui orang lain sebab bayi tersebut adalah hasil hubungan gelap. Ada juga yang meninggalkan bayinya begitu saja di pinggir jalan dengan harapan ada orang lain yang mau mengambilnya. Hal ini, didorong oleh rasa takut yang berlebihan untuk tidak bisa memberinya makan atau takut miskin, dan sebagainya. Apa pun faktor yang melatarbelakanginya, yang jelas si ibu itu telah kehilangan rahmat-Nya, sehingga ia terdorong melakukan perbuatan tercela dan tidak mau berkorban untuk anaknya.
Di samping itu, pernyataan “sifat kasih sayang telah ditancapkan pada diri manusia” seharusnya menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kebaikan; kasih sayang, perhatian, juga budi baik, bukanlah terlahir dari sifatnya sendiri, juga bukan karena kemurahan hatinya; namun, sebagai realisasi dari sebagian kecil rahmat Allah yang ditancapkan ke dalam lubuk hatinya. Seperti yang bisa dipahami pada hadis:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ (رواه البخاري)
Barang siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi (HR. al-Bukhārī(
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ (رواه البخاري ومسلم)
Siapa yang tidak menyayangi orang lain, ia tidak disayang Allah (HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Jarīr bin ‘Abdullāh)
Dari kedua hadis di atas dapat dipahami bahwa rasa belas kasih yang ditancapkan dalam diri seseorang akan hilang jika ia tidak menyayangi kepada sesamanya secara tulus. Rasulullah juga tidak mau mengakui orang yang tidak menyayangi kepada yang kecil sebagai bagian dari umatnya. [14]
Sementara kata rahmah yang berarti ihsān (budi baik/murah hati) adalah khusus milik Allah. Artinya, hanya Allah-lah yang boleh menyatakan atau mengklaim sebagai Yang Memiliki budi baik. Atau dengan kata lain, kebaikan, perhatian, kasih sayang, apa pun bentuknya, yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, adalah karena kemurahan Allah, sehingga Dia disifati sebagai Sang Maha Pemurah atau ar-Rahmān. Oleh karenanya, sifat ar-Rahmān hanya boleh disandang oleh Allah semata, karena kata tersebut mengisyaratkan kesempurnaan.[15]Melalui sifat ar-Rahmān inilah, setiap makhluk hidup berhak memperoleh kemurahan anugerah-Nya. Dengan sifat ar-Rahmān juga, Allah tidak pernah mempertimbangkan ketaatan atau ketidaktaatan seseorang dalam memberi rezeki.
Rahmat Allah juga ada yang terlahir dari sifat ar-Rahīm-Nya. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyatakan bahwa curahan Rahīm Allah ini hanya diberikan kepada hamba-Nya yang memenuhi kriteria, yang diistilahkan oleh Al-Qur'an dengan “mukmin” (al-Ahzāb[33]: 43)[16], sehingga ada yang mengatakan bahwa Allah adalah ar-Rahmān di dunia dan ar-Rahīm ketika di akhirat. Demikian itu, karena kemurahan Allah dapat dinikmati oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, sedangkan di akhirat rahmat Allah hanya khusus bagi orang beriman.[17] Penjelasan ini diperkuat oleh firman Allah:
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
Dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki, Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (QS.al-A‘rāf[07]: 156)
Sedangkan menurut al-Fairuz Abadī, bahwa rahmat mencakup arti kasih sayang (riqqah), pemaaf (magfirah), dan kelembutan hati (ta‘aththuf).[18]
Dari penjelasan di atas dapat digambarkan sekaligus dibedakan sebagai berikut, sakīnah merupakan kondisi fisik atau batin yang merasa tenang dan tenteram, sedangkan mawaddah terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
1) Cinta plus, yakni hasrat cinta yang sangat kuat sehingga terdorong untuk saling menyatu dan memiliki, seperti suami-istri, 
2) Kasih sayang, seperti dalam hubungan kekerabatan, dan 
3) Menginginkan sesuatu. Namun, “ingin” dalam hal ini konotasinya adalah negatif, barangkali hampir mirip dengan hasud. Sementara rahmah adalah anugerah yang diberikan oleh Allah yang memungkinkan seseorang dapat berbuat kebaikan bahkan yang terbaik untuk pihak lain, yang dibuktikan melalui pengorbanan yang tulus.


[1] http://kajiantematik.blogspot.co.id/2013/11/sakinah-mawaddah-dan-rahmah-dalam.html


[2] http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/pengertian-keluarga-definisi-menurut-para-ahli.html


[3] http://ebooks-kings.com/pdf/pengertian-konsep-keluarga-ikkfemaipbacid-9928.html


[4] http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/pengertian-keluarga-definisi-menurut-para-ahli.html


[5] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt fī Gharībil-Qur'ān, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid al-Kailanī, (Beirut: Dārul-Ma‘rifah, t.th),

    pada term sakana, h. 236.


[6] Lihat antara lain, Surah Saba'/34: 15, at-Taubah/9: 24


[7] Lihat Surah al-An‘ām/6: 96


[8] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wat-Tanwīr, (t.t: t.p, t.th), jilid XIII, h. 3234


[9] Ibid., hal. 4058


[10] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, pada term wadada, hal. 516.


[11] Ar-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (t.t: t.p, t.th), jilid XXV, hal. 97


[12] Muhammad ‘Alī ash-Shabūnī, Mukhtashar Tafsīr Ibnu Katsīr, (Mesir: Dārur-Rasyād, t.th) jilid III, hal.275.


[13] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, dalam term rahima, hal. 191.


[14] http://kajiantematik.blogspot.co.id/2013/11/sakinah-mawaddah-dan-rahmah-dalam.html


[15] Penambahan alif dan nūn menunjukkan kesempurnaan, (lihat, az- Zarkasyi, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur'ān).


هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً25

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ahzab[33]: 43)


[17] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, Op.Cit., hal. 192.


[18] Majduddīn Muhammad bin Ya‘qūb al-Fairuz Abadī, al-Qāmūs al- Muhīth (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), jilid IV, h. 117.

Penulis: Wildan Kurnia, QH., SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi