Gambar: https://islamituindahcom.wordpress.com |
SELAYANG PANDANG KELUARGA "SAMARA"
Allah telah
menetapkan bumi ini harus senantiasa terpelihara dengan baik atau biasa dikenal
dengan “makmur”. Proses pemakmuran tidak akan bisa berjalan tanpa kehadiran
makhluk yang dianggap layak untuk menjalankan tugas pemakmuran tersebut.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipandang layak dan mampu untuk
menjalankan tugas tersebut, oleh karenanya manusia disebut khalifah. Jika
pemakmuran bumi merupakan sesuatu yang niscaya, maka keberadaan manusia secara
berkelanjutan juga sesuatu yang niscaya pula. Sebagai konsekuensinya, manusia
harus memiliki keturunan. Dalam hal ini, di samping untuk melaksanakan tugas
yang berkelanjutan tersebut, juga agar ciptaan Allah yang secara eksplisit
dinyatakan untuk manusia, tidak menjadi sia-sia.
Di sinilah
pernikahan di dalam Islam memiliki relevansinya, sebab ia merupakan sarana yang
dibenarkan dan terhormat untuk memperoleh keturunan demi memelihara keberadaan
manusia secara berkelanjutan di muka bumi ini. Namun begitu, betapa sangat
sederhananya jika perkawinan hanya untuk memperoleh keturunan yang
berkelanjutan, sebab dalam tataran ini manusia belum bisa dibedakan dengan
binatang. Di samping itu, tujuan tersebut juga belum bisa memenuhi kebutuhan
manusia dari sisi rohaniahnya. Oleh karena itu, pernikahan bagi manusia
haruslah bukan sekedar regenerasi umat manusia secara berkelanjutan, apalagi
sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, namun harus ada tujuan yang lebih
asasi sesuai dengan kebutuhan rohaninya[1]
Dalam hal
ini, Islam menetapkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
sakīnah, yang dilandasi atas mawaddah dan rahmah. Karena itu, untuk memulai
bahasan tulisan ini penulis akan memaparkan definisi yang merupakan kata kunci
pembahasan dalam materi, yaitu: Keluarga, Sakinah, Mawaddah dan Rahmah.
1. Definisi
Keluarga
Jika kita membuka lembaran-lembaran pemikiran para pakar, maka
banyak dan beraneka ragam definisi tentang keluarga yang akan kita temukan.
Namun, dalam tulisan ini penulis hanya akan memuat beberapa pengertian saja,
sebagai acuan untuk memahami isi makalah ini dengan lebih holistik.
a) Duvall dan
Logan ( 1986 )
Keluarga adalah sekumpulan orang
dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik,
mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
b) Bailon dan
Maglaya ( 1978 ) :
Keluarga adalah dua atau lebih
individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah,
perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain,
mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
c) Departemen
Kesehatan RI ( 1988 ) :
Keluarga merupakan unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.
d) Narwoko dan
Suyanto, (2004) :
Keluarga adalah lembaga sosial dasar
dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat
mana pun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan
menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu”[2]
e) Menurut
BKKBN (1999)
Keluarga adalah dua orang atau lebih
yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
hidup spritual dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan
yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta
lingkungannya.[3]
f) Fitzpatrick
(2004)[4]
Pakar yang satu ini memberikan
pengertian keluarga dengan cara meninjaunya berdasarkan tiga sudut pandang yang
berbeda, yaitu.
1.
Pengertian Keluarga secara
Struktural: Keluarga didefenisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran
anggota dari keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Defenisi
ini memfokuskan pada siapa saja yang menjadi bagian dari sebuah keluarga. Dari
perspektif ini didapatkan pengertian tentang keluarga sebaga asal-usul
(families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of
procreation), dan keluarga batih (extended family).
2.
Pengertian Keluarga secara
Fungsional: Defenisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh
keluarga, Keluarga didefenisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas
dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi
perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, juga pemenuhan
peran-peran tertentu.
3.
Pengertian Keluarga secara
Transaksional: Defenisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan
fungsinya. Keluarga didefenisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman
melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga
(family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita
masa depan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik keluarga adalah:
Ø Terdiri dari
dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau
adopsi.
Ø Anggota
keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial :
suami, istri, anak, kakak dan adik.
Ø Anggota
keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan
satu sama lain.
Ø Mempunyai
tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik,
psikologis, dan sosial anggota.
Keluarga merupakan keharusan yang
diwajibkan oleh Agama, salah satunya tertera pada Kitab Suci Al Qur’an:
1.
Firman Allah dalam Surat At-Tahrim [66] Ayat 6:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
2. Firman Allah dalam Surat Al-Furqon
: Ayat 74
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan
orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Selain itu, Keluarga juga seperti
diamahkan oleh Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga:
Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa
Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat
timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
2. Definisi Sakinah
Kata sakīnah
ditemukan di dalam Al-Qur'an sebanyak enam kali di samping bentuk lain yang
seakar dengannya. Secara keseluruhan, semuanya berjumlah 69 (enam puluh
sembilan). Kata sakīnah yang berasal dari sakana-yaskunu, pada mulanya
berarti sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak (subūtusy-syai'
ba‘dat-taharruk).[5] Kata
ini merupakan antonim dari idthirāb (kegoncangan), dan tidak digunakan kecuali
untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya terjadi
gejolak, apa pun latar belakangnya. Rumah dikatakan maskan[6]
karena ia merupakan tempat untuk istirahat setelah beraktifitas. Begitu juga
waktu malam, dinyatakan oleh Al-Quran dengan sakan,[7]
karena ia digunakan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk mencari rezeki di
siang harinya.
Pada
mulanya, kata sukūn digunakan untuk menunjukkan arti ketenangan yang bersifat
jasmaniah, sementara sukūn yang berarti ketenangan dan kesenangan yang bersifat
rohaniah adalah majāz isti‘ārah.[8]
Atau dengan kata lain, sakīnah yang dipahami sebagai ketenangan jiwa atau
bersifat rohani justru bukan arti yang sebenarnya. Meskipun begitu, karakter
dasar dari kata sakīnah, yakni tenang setelah bergerak atau bergejolak, baik
yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah adalah sama. Di antara ayat-ayat
Al-Quran yang menunjukkan sakana-yaskunu-sakīnah yang bersifat rohaniah adalah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا
حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفاً فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَت دَّعَوَا اللّهَ
رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً لَّنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan
(Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau
memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang
bersyukur". (QS. Al-A’Raaf
[7]: 189
Ayat ini
menginformasikan bahwa keberadaan seseorang sebagai pasangannya bertujuan untuk
memperoleh ketenangan. “Ketenangan” dalam hal ini tentu saja berbeda dengan
ketenangan yang dialami seseorang ketika ia sudah berada di dalam rumah setelah
seharian mencari rezeki. Oleh karena itu, ketenangan sebagai tujuan dari
keberadaan orang lain sebagai pasangannya adalah bersifat rohaniah atau biasa
disebut dengan ketenangan jiwa. Artinya, secara fitrah laki-laki akan merasa
tenang jiwanya dengan kehadiran seorang pendamping di sisinya, yakni istri.
Begitu juga perempuan, ia akan merasa tenang dengan kehadiran laki-laki sebagai
pendamping atau suaminya. Kondisi batin yang mereka rasakan tersebut, setelah
masing-masing mengalami kegoncangan atau kegelisahan ketika masih sendiri.
Dalam ayat
yang lain Allah SWT berfirman:
هُوَالَّذِى
أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِى قُلُوبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمٰنًا
مَعَ إِيْمٰنِهِمْ
Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah
ada). (QS. al-Fath[48]: 4)
Ayat di atas
berkenaan dengan kondisi batin kaum Mukminin yang senantiasa dilanda rasa takut
dan gelisah akibat perilaku kaum kafir Mekah dalam perjanjian Hudaibiyah.
Kemudian Rasulullah memberi kabar gembira bahwa mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah. Berita inilah yang dianggap sebagai sakīnah yang menjadikan batin/jiwanya tenang dan bahkan semakin memperkuat imannya.[9]
Kemudian Rasulullah memberi kabar gembira bahwa mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah. Berita inilah yang dianggap sebagai sakīnah yang menjadikan batin/jiwanya tenang dan bahkan semakin memperkuat imannya.[9]
Pada
firman-Nya yang lain juga disebutkan:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ
سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan
dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu(menumbuhkan)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS.
At-Taubah[9]: 103)
Melalui ayat
ini, Rasulullah diminta untuk mendoakan mereka yang membayar zakat, sebab doa
beliau akan menenangkan hati mereka. Kata sakan di sini diambil dari kata
sukūn, menurut Ibnu ‘Asyūr, berarti hilangnya rasa takut sehingga jiwanya
menjadi tenang. Artinya, bahwa doa Rasulullah tersebut akan mendatangkan
kebaikan bagi para muzakkī (pembayar zakat), yakni terhindar dari rasa takut
sehingga jiwanya tenang dan tenteram.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata sakīnah dengan semua kata
jadiannya, menunjukkan arti ketenangan dan ketenteraman, baik fisik/jasmani
maupun rohani/jiwa. Khusus yang berbentuk sakīnah, semuanya menunjukkan arti
ketenangan atau ketenteraman batin/jiwa. Yang pasti kata ini tidak digunakan
kecuali untuk menggambarkan ketenteraman dan ketenangan setelah
sebelumnya mengalami kegoncangan atau kegelisahan, baik yang
bersifat rohaniah maupun jasmaniah.
3. Definisi Mawaddah
Kata
mawaddah ditemukan sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Secara keseluruhan
dengan kata-kata yang seakar dengannya, semuanya berjumlah 25 (dua puluh lima).
Kata mawaddah berasal dari wadda-yawaddu yang berarti mencintai sesuatu dan
berharap untuk bisa terwujud (mahabbatusy-syai' watamannī kaunihi).[10]
Sementara menurut al-Asfahānī kata mawaddah bisa dipahami dalam beberapa
pengertian:
Pertama,
berarti cinta (mahabbah) sekaligus keinginan untuk memiliki (tamannī
kaunihi). Antara dua kata ini saling terkait, yakni disebabkan adanya keinginan
yang kuat akhirnya melahirkan cinta; atau karena didorong rasa cinta yang kuat
akhirnya melahirkan keinginan untuk mewujudkan sesuatu yang dicintainya. Hal
ini bisa dilihat pada firman Allah:
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS.Ar-Rūm[30]: 21)
Mawaddah
sebagai salah satu yang menghiasi perkawinan bukan sekedar cinta, sebagaimana
kecintaan orang tua kepada anak-anaknya. Sebab, rasa cinta di sini akan
mendorong pemiliknya untuk mewujudkan cintanya sehingga menyatu.
Inilah yang tergambar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah perkawinan. Ketika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, maka ia ingin sekali untuk mewujudkan cintanya tersebut dengan memilikinya (menikahinya). Begitu sebaliknya, ketika seorang perempuan mencintai seorang laki-laki, maka ia sangat menginginkan terwujud cintanya itu dengan menjadi istrinya. Dari sinilah, sementara ulama ada yang mengartikan mawaddah dengan mujāma‘ah (bersenggama).[11]
Inilah yang tergambar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah perkawinan. Ketika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, maka ia ingin sekali untuk mewujudkan cintanya tersebut dengan memilikinya (menikahinya). Begitu sebaliknya, ketika seorang perempuan mencintai seorang laki-laki, maka ia sangat menginginkan terwujud cintanya itu dengan menjadi istrinya. Dari sinilah, sementara ulama ada yang mengartikan mawaddah dengan mujāma‘ah (bersenggama).[11]
Kedua,
berarti kasih sayang. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah:
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ
عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْراً إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً
نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah
menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh.
Katakanlah (Muhammad): "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas
seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang
mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (QS.
asy-Syūrā[42]: 23)
Kata
mawaddah di sini hanya semata-mata mencintai dan menyayangi, layaknya dalam
hubungan kekerabatan, berbeda dengan cintanya suami dan istri. Dalam hal ini,
bentuk cinta dan kasih sayang dengan senantiasa menjaga hubungan kekerabatan
agar tidak putus.[12]
Sebagaimana dalam riwayat aţh-Țhabrānī dari Ibnu ‘Abbās, yang dikutip oleh Ibnu
Katsīr: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
mereka,
قَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم: لَاأَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا أَنْ تَوَدُّوْنِي فِى
نَفْسِي لِقَرَابَتِي مِنْكُمْ وَتَحْفَظُوا الْقَرَابَةَ بَيْنِى وَبَيْنَكُمْ
(رواه الطبراني)
“Aku tidak
meminta upah kepada kalian kecuali agar kalian tetap menyayangiku karena adanya
hubungan kekerabatan, dan agar kalian senantiasa memelihara hubungan
kekerabatan antara aku dan kalian.” (Riwayat ath-Thabrānī).
Sebagaimana
Allah juga disifati dengan al-Wadūd, yakni Maha Mencintai hamba yang
mencintai-Nya. Dalam istilah lain, cinta Allah diberikan kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman dan beramal saleh sebagai bukti kecintaannya kepada-Nya. Dalam
firman-Allah disebutkan:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, kelak(Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang
(dalam hati mereka). (QS. Maryam[19]: 96)
Ketiga,
berarti ingin, sebagaimana dalam beberapa firman Allah:
وَدَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ
Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu. Padahal
mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka
tidak menyadarinya. (QS. Āli ‘Imrān[3]: 69)
رُّبَمَا يَوَدُّ
الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ
Orang kafir itu sering kali (nanti di akhirat)
menginginkan,sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang Muslim. (QS.
al-Hijr[15]: 2)
وَلَتَجِدَنَّهُمْ
أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ
لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَن
يُعَمَّرَ وَاللّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
Dan
sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan
(di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali
tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka
kerjakan. (QS. Al-Baqarah [02]:
96)
Rangkaian
ayat di atas menunjukkan bahwa kata wadda-yawaddu berarti ingin atau
menginginkan, dan kecenderungan bentuk ini adalah buruk. Sementara kata
mawaddah dalam bentuknya yang asli, juga mengandung pengertian-pengertian di
atas yakni; cinta plus, cinta dan ingin, masing-masing dilihat dari konteks
kalimatnya.
4. Definisi Rahmah
Kata rahmah
baik sendiri maupun dirangkai dengan kata ganti (dhamīr), seperti rahmatī dan
rahmatuka, ditemukan di dalam Al-Quran sebanyak 114. Secara keseluruhan dengan
kata-kata lain yang seakar dengannya, semuanya berjumlah 339.
Kata rahmah berasal dari rahima-yarhamu yang
berarti kasih sayang (riqqah), yakni sifat yang mendorong seseorang untuk
berbuat kebajikan kepada siapa yang dikasihi. Menurut al-Asyfahānī, kata rahmah
mengandung dua arti, kasih sayang (riqqah) dan budi baik/murah hati (ih}sān).[13]
Kata rahmah yang berarti kasih sayang (riqqah) adalah dianugerahkan oleh Allah
kepada setiap manusia. Artinya, dengan rahmat Allah tersebut manusia akan mudah
tersentuh hatinya jika melihat pihak lain yang lemah atau merasa iba atas
penderitaan orang lain.
Bahkan,
sebagai wujud kasih sayangnya, seseorang berani berkorban dan bersabar untuk
menanggung rasa sakit. Hal ini dapat dilihat pada kasus seorang ibu yang baru
saja melahirkan, dimana secara demonstratif ia akan mencium bayinya, padahal
sebelumnya ia berada dalam kondisi yang penuh kepayahan dan sakit yang teramat
sangat. Demikian ini, karena banyak juga dijumpai kenyataan berbalik, yakni
seorang ibu begitu tega membunuh anaknya yang baru saja dilahirkan, karena
khawatir diketahui orang lain sebab bayi tersebut adalah hasil hubungan gelap.
Ada juga yang meninggalkan bayinya begitu saja di pinggir jalan dengan harapan
ada orang lain yang mau mengambilnya. Hal ini, didorong oleh rasa takut yang
berlebihan untuk tidak bisa memberinya makan atau takut miskin, dan sebagainya.
Apa pun faktor yang melatarbelakanginya, yang jelas si ibu itu telah kehilangan
rahmat-Nya, sehingga ia terdorong melakukan perbuatan tercela dan tidak mau berkorban
untuk anaknya.
Di samping
itu, pernyataan “sifat kasih sayang telah ditancapkan pada diri manusia”
seharusnya menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kebaikan; kasih sayang,
perhatian, juga budi baik, bukanlah terlahir dari sifatnya sendiri, juga bukan
karena kemurahan hatinya; namun, sebagai realisasi dari sebagian kecil rahmat
Allah yang ditancapkan ke dalam lubuk hatinya. Seperti yang bisa dipahami pada
hadis:
مَنْ
لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ (رواه البخاري)
Barang siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi (HR.
al-Bukhārī(
مَنْ لَا
يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ (رواه البخاري ومسلم)
Siapa yang tidak menyayangi orang lain, ia tidak
disayang Allah (HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Jarīr bin ‘Abdullāh)
Dari kedua
hadis di atas dapat dipahami bahwa rasa belas kasih yang ditancapkan dalam diri
seseorang akan hilang jika ia tidak menyayangi kepada sesamanya secara tulus.
Rasulullah juga tidak mau mengakui orang yang tidak menyayangi kepada yang
kecil sebagai bagian dari umatnya. [14]
Sementara
kata rahmah yang berarti ihsān (budi baik/murah hati) adalah khusus milik
Allah. Artinya, hanya Allah-lah yang boleh menyatakan atau mengklaim sebagai
Yang Memiliki budi baik. Atau dengan kata lain, kebaikan, perhatian, kasih
sayang, apa pun bentuknya, yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, adalah
karena kemurahan Allah, sehingga Dia disifati sebagai Sang Maha Pemurah atau
ar-Rahmān. Oleh karenanya, sifat ar-Rahmān hanya boleh disandang oleh Allah
semata, karena kata tersebut mengisyaratkan kesempurnaan.[15]Melalui
sifat ar-Rahmān inilah, setiap makhluk hidup berhak memperoleh kemurahan
anugerah-Nya. Dengan sifat ar-Rahmān juga, Allah tidak pernah mempertimbangkan
ketaatan atau ketidaktaatan seseorang dalam memberi rezeki.
Rahmat Allah
juga ada yang terlahir dari sifat ar-Rahīm-Nya. Dalam hal ini, Al-Qur'an
menyatakan bahwa curahan Rahīm Allah ini hanya diberikan kepada hamba-Nya yang
memenuhi kriteria, yang diistilahkan oleh Al-Qur'an dengan “mukmin” (al-Ahzāb[33]:
43)[16],
sehingga ada yang mengatakan bahwa Allah adalah ar-Rahmān di dunia dan ar-Rahīm
ketika di akhirat. Demikian itu, karena kemurahan Allah dapat dinikmati oleh
siapa saja, baik mukmin maupun kafir, sedangkan di akhirat rahmat Allah hanya
khusus bagi orang beriman.[17]
Penjelasan ini diperkuat oleh firman Allah:
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَـذِهِ
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي
أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا
لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا
يُؤْمِنُونَ
Dan
tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami
kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan
Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki, Dan rahmat-Ku meliputi
segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang
bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami. (QS.al-A‘rāf[07]: 156)
Sedangkan
menurut al-Fairuz Abadī, bahwa rahmat mencakup arti kasih sayang (riqqah),
pemaaf (magfirah), dan kelembutan hati (ta‘aththuf).[18]
Dari
penjelasan di atas dapat digambarkan sekaligus dibedakan sebagai berikut,
sakīnah merupakan kondisi fisik atau batin yang merasa tenang dan tenteram,
sedangkan mawaddah terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
1) Cinta
plus, yakni hasrat cinta yang sangat kuat sehingga terdorong untuk saling
menyatu dan memiliki, seperti suami-istri,
2) Kasih
sayang, seperti dalam hubungan kekerabatan, dan
3) Menginginkan
sesuatu. Namun, “ingin” dalam hal ini konotasinya adalah negatif, barangkali
hampir mirip dengan hasud. Sementara rahmah adalah anugerah yang diberikan oleh
Allah yang memungkinkan seseorang dapat berbuat kebaikan bahkan yang terbaik
untuk pihak lain, yang dibuktikan melalui pengorbanan yang tulus.
[1]
http://kajiantematik.blogspot.co.id/2013/11/sakinah-mawaddah-dan-rahmah-dalam.html
[2]
http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/pengertian-keluarga-definisi-menurut-para-ahli.html
[3] http://ebooks-kings.com/pdf/pengertian-konsep-keluarga-ikkfemaipbacid-9928.html
[4] http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/pengertian-keluarga-definisi-menurut-para-ahli.html
[5] Al-Ashfahānī,
al-Mufradāt fī Gharībil-Qur'ān, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid al-Kailanī,
(Beirut: Dārul-Ma‘rifah, t.th),
pada term sakana, h. 236.
[6] Lihat antara lain, Surah Saba'/34: 15, at-Taubah/9: 24
[7] Lihat Surah al-An‘ām/6: 96
[8] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wat-Tanwīr, (t.t: t.p, t.th), jilid XIII, h. 3234
[9] Ibid., hal. 4058
[10] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, pada term wadada, hal. 516.
[11] Ar-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (t.t: t.p, t.th), jilid XXV, hal. 97
[12] Muhammad ‘Alī ash-Shabūnī, Mukhtashar Tafsīr Ibnu Katsīr, (Mesir: Dārur-Rasyād, t.th)
jilid III, hal.275.
[13] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, dalam
term rahima, hal. 191.
[14] http://kajiantematik.blogspot.co.id/2013/11/sakinah-mawaddah-dan-rahmah-dalam.html
[15] Penambahan
alif dan nūn menunjukkan kesempurnaan, (lihat, az- Zarkasyi, al-Burhān fī ‘Ulūm
al-Qur'ān).
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ
لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَحِيماً25
Dialah
yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu),
supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan
adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ahzab[33]:
43)
[17] Al-Ashfahānī,
al-Mufradāt, Op.Cit., hal. 192.
[18] Majduddīn Muhammad bin Ya‘qūb
al-Fairuz Abadī, al-Qāmūs al- Muhīth (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), jilid IV, h.
117.
Penulis: Wildan Kurnia, QH., SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan