Gambar: https://knowledgeisfreee.blogspot.com |
REFRENSI SEPUTAR HADHANAH
Hukum keluarga
(al-ahwal alsyokhsiyah) didefinisikan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf
sebagai hukum yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal
pembentukan keluarga.
Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami isteri dan
anggota keluarga. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, pengertian hukum keluarga (
al-ahwalal-syakhsiyah) adalah hukum tentang hubungan manusia dengan
keluarganya, yang dimulai dari perkawinan sampai berakhir pada pembagian
warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Secara umum cakupan
dari hukum keluarga berdasarkan definisi ini terdiri atas tiga aspek pokok,
yakni:
a.
Hukum Keluarga (usrah) yang dimulai dari
peminangan sampai perpisahan, baik karena ada yang wafat maupun karena
perceraian.
b.
Hukum kekayaan keluarga (amwal); yang
mencakup waris, wasiyat, wakaf dan sejenisnya yang berkaitan dengan penerimaan
dan atau pemberian, dan
c.
Hukum Perwalian terhadap anak yang belum
dewasa.
Sementara itu,
pengertian Hukum Keluarga menurut Subekti (menggunakan istilah Hukum
Kekeluargaan) adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan.
Berdasarkan
beberapa pendapat diatas, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan
antar anggota keluarga. Maksud keluarga dari pengertian di atas dibatasi pada
keluarga pokok (nuclear family), yakni-bapak, ibu dan anak/anak anak,
baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah tangga maupun setelah tejadi
perpisahan, baik perpisahan karena meninggal dunia (wafat) maupun karena
perceraian.
Adapun cakupan
bahasan Hukum Keluarga dalam kitab-kitab fikih dapat dijabarkan sebagai
berikut; Ibn Jaza al Maliki, seorang ulama dari mazhab Maliki memasukkan (i)
perkawinan dan perceraian, (ii) wakaf (alwaqfatau al-habs), (iii)
wasiat, dan (iv) fara’id (pembagian harta pusaka) dalam kelompok mu’amalah
dan masing-masing berdiri sendiri di antara 24 bahasan dalam bidang mu’amalah.
Ulama
Syafi’iyah menjadikan hukum keluarga menjadi bahasan tersendiri, dengan nama
bab munakahat. Bab ini menjadi bagian sendiri dari empat bagian. yakni:
a. lbadah, yakni hukum
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah;
b. Mu’amalah, yakni hukum
yang mengatur hubungan antar sesama manusia di bidang kebendaan dan
pengalihannya;
c. Munakahat, yakni hukum
yang mengatur hubungan antar anggota keluarga; dan
d. ‘Uqubah yakni hukum
yang mengatur tentang keselamatan dan jaminan jiwa dan harta benda,
urusan publik dan kenegaraan.
Mustafa Ahmad
al-Zarqa, seorang ulama kontemporer, setelah membedakan fikih menjadi dua
kelompok besar, (1) ‘ibadah, dan (2) mu’amalat, kemudian membagi
lebih rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya adalah hukum
keluarga (al-ahwal as-syakhsiyah). Ini berarti hukum keluarga menjadi
bagian tersendiri. Tujuh kelompok dimaksud adalah:
a. Ibadah, yaitu hukum
yang mengatur hubungan Allah dengan manusia seperti shalat dan puasa;
b. Hukum keluarga (al-ahwal al-shakhsiyah)
yaitu hukum perkawinan (nikah). Perceraian (talak, khuluk, dll), nasab,
nafkah, wasiat dan waris.
c. Mu’amalat, yaitu hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan hana
(al-amwal), hak, dan pengelolaan harta (al-tasharruf) dengan cara
transaksi (akad) dan lainnya;
d. Hukum kenegaraan (al-ahkam al-sultaniyah),
yaitu hukum yang mengatur hubungan pemimpin dengan rakyat, serta hak dan
kewajiban rakyat dan pemimpin;
e. ‘Uqubah, yaitu hukum
yang mengatur tentang pemberian sanksi bagi orang-orang yang melakukan
pelanggaran dan tindak pidana untuk merjaga ketertiban dan keamanan manusia
secara kolektif.
f. Hukum yang mengatur hubungan bilateral dan
multilateral (al-huquq al-dualiyah);
g. Fikih akhlaq (al-adab). yaitu hukum yang
mengatur keutamaan pergaulan dan hubungan manusia dengan manusia.
Abd al-Wahab
Kiallaf, pemikir kontemporer lain setelah membagi hukum dalam al-Qur’an menjadi
3 (tiga): (1) akidah, (2) akhlak, dan (3) mu’amalah, kemudian mengelompokkan
mu’amalah menladi dua kelompok besar: (1) ibadah, dan (2) mu’amalah. Secara
singkat al-ahwal al-Syakhsiyah didefinisikan ‘Abd al-Wahhab
Khallaf sebagai hukum yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari
awal pembentukan keluarga. Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami,
isteri dan anggota keluarga. Jumlah ayat al-Qur’an yang mengatur keluarg ada ±
70 ayat.
Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: memelihara,
mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang
belum muwayyiz. Hadhanah menurut bahasa, berarti meletakkan
sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan.[1]
Menurut Sayyid Sabiq Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak
yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari
siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani
dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya.
Sementara itu,
dalam kajian fiqih hadhanah yaitu memelihara seorang anak yang belum
mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang
diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari
sesuatu yang merusaknya.[2] Yang
dimaksud dengan perkataan mendidik disini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur
segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum
mumayyiz, maka istrinyalah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat
anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya. Dalam waktu itu si anak
hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain.
Meskipun si anak tinggal bersama ibunya, namun nafkahnya tetap wajib dipikul
oleh ayahnya.[3]
Hal ini juga dinyatakan oleh Moh. Rifa’i yang menjelaskan bahwa apabila antara
ayah dan ibu berpisah dan mempunyai anak, maka ibulah yang lebih berhak
memeliharanya (mendidiknya) sampai anak berumur tamyiz (7 tahun),
artinya bisa memilih orang tua yang diikuti.[4]
Dasar hukum
dalam Hadhanah yakni Firman Allah SWT. Q.S. At-Tahrim Ayat 06:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim :6)
Berdasarkan
pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka,
dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan
perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah, yang termasuk
anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
Mengasuh
anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti
menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah
merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan
pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam
kaitan ini terutama ibulah yang berkewajiban melakukan Hadhanah.
Seorang hadhin
atau hadhinah harus mempunyai kecakapan dan kecukupan atau syarat-syarat
yang harus terpenuhi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugurlah
kebolehan untuk mengasuh anak. Syarat-syarat yang harus terpenuhi adalah
sebagai berikut:
a.
Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh
menangani dan menyelenggarakan Hadhanah.
b.
Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya
kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan
kepada tuannya.
c.
Beragama islam, karena masalah ini untuk
kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak
mengizinkan terhadap orang kafir.
d.
Amanah.
e.
Belum menikah dengan laki- laki lain bagi
ibunya.
f.
Bermukim bersama anaknya, bila salah satu
diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
g.
Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz
tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h.
Mampu mendidik, jika penyakit berat atau
perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di
tangannya[5]
Mayorita ulama
sepakat bahwa syarat-syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa,
mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan bagian dari hadhanah. Sedangkan
masalah agama bagi Imam Syafi’i orang selain Islam tidak boleh. Sedangkan
mazdab lain bukan merupakan syarat hanya saja bagi Imam Hanafi kemurtadan
menjadikan gugur hak asuhan.
Seterusnya,
mazdab 4 berpendapat bahwa, apabila ibu si anak dicerai suaminya, lalu dia
kawin lagi dengan laki- laki, maka hak asuhanya gugur, tetapi hak asuhanya bagi
ibu tetap ada karena merupakan bukti kasih sayang kepada anaknya. Sedangkan
Imam Hanafi, Syafi’i, Imamiyyah dan Hambali: Apabila ibu si anak bercerai pula
dengan suaminya yang kedua, maka larangan hak asuhan si anak bisa dicabut
kembali. Dan hak itu dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki-laki
kedua itu. Adapun Imam Maliki: Hak tersebut tidak bisa kembali dengan adanya
perceraian itu.[6]
Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan
wajib tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena
perceraian maupun salah satunya meningal dunia, tidaklah menyebabkan putusnya
kewajiban terhadap anaknya, sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf.( QS. Al-Baqarah ayat[2] 233)
Ayat tersebut
dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban utuk memberikan nafkah kepada istri
dan anak-anaknya[7],
sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri,
rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya.
Para ulama
berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap hadhanah, apakah
yang berhak itu hadhin atau mahdhun (anak). Sebagimana pengikut
Mazhab Hanafi berpendapat hak Hadhanah itu merupakan hak anak. Sedangkan
menurut Syafi’i, Ahmad dan sebagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa
yang berhak terhadap hadhanah itu adalah hadhin.
Jumhur ulama
berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua
anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili hak hadhanah itu hak berserikat antara
ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi perceraian maka ibu lebih berhak untuk
mengasuh anak. Menurut Muhammad Baqir al-Habsi, sebab- sebab ibu lebih berhak
adalah, karena ibu Iebih memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan
keperluan anak dalam rsianya yang masih amat muda itu, dan juga lebih sabar dan
teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki waktu yang lebih lapang
untuk melaksanakan tugasnya tersebut dibanding seorang ayah yang memiliki
banyak kesibukan. Jika si ibu tidak cakap, maka hadhanah itu beralih
kepada kerabat yang lebih jauh. Akan tetapi, jika kerabat dari pihak ibu tidak
ada atau tidak memenuhi syarat sebagai hadhin (pengasuh), barulah
kesempatan itu jatuh kepada pihak ayah dengan skala prioritas pula.
Menurut Ulama
Al-hadwaiyah dan Ulama’ Hanafiyyah, tidak perlu disuruh memilih kata mereka:
ibu lebih utama terhadap anak itu hingga dia mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri. Apabila sudah mampu memenuhi diri sendiri maka ayah lebih berhak
atasnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya Imam Malik.[8]
Setelah dasar
hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk kecakapan atau
kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus Ada syarat-syarat tertentu,
yaitu:
a. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh
menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
b. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya
kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan
kepada tuannya.
c. Beragama Islam, karena masalah ini untuk
kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak
mengizinkan terhadap orang kafir.
d. Amanah.
e. Belum menikah dengan laki- laki lain bagi
ibunya.
f. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu
diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.[9]
g. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz
tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau
perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di
tangannya.[10]
Mayorita ulama
sepakat bahwa syarat- syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa, mampu
mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan bagian dari hadhanah. Sedangkan masalah Agama bagi Imam Syafi’i orang
selain Islam tidak boleh. Sedangkan mazdab lain bukan merupakan syarat hanya
saja bagi imam Hanafi kemurtadan menjadikan gugur hak asuhan.
Seterusnya
mazdab 4 berpendapat bahwa, apabila ibu si anak dicerai suaminya, lalu dia
kawin lagi dengan laki- laki, maka hak asuhanya gugur, tetapi hak asuhanya bagi
ibu tetap ada karena merupakan bukti kasih sayang kepada anaknya. Sedangkan
Imam Hanafi, Syafi’i, Imamiyyah dan Hambali: Apabila ibu si anak bercerai pula
dengan suaminya yang kedua, maka larangan hak asuhan si anak bisa dicabut
kembali. Dan hak itu dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki- laki
kedua itu. Adapun Imam Maliki: Hak tersebut tidak bisa kembali dengan adanya
perceraian itu.[11]
Syarat di atas
bukan bagian mutlak karena hal terbaik bagi anak itu faktor utama untuk
hadhanah seperti penyebutan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 109:
Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau melalaikan
atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang
yang berada di bawah perwaliannya.[12]
Hadhanah
merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga
meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak tetap
berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
a.
Hadhanah Pada Masa Perkawinan.
Berdasarkan
Undang–Undang Pernikahan No. 1 tahun 1974 pasal 45, 465, 47 menyebutkan bahwa :
Pasal 45:
1.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus
meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
1.
Anak wajib menghormati orang tua dan menaati
kehendak mereka dengan baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila
mereka memerlukan batuannya.
Pasal 47:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya,
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Berdasarkan
pada ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua
orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap
berkewajiban.[13]
Namun demikian, orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak
tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun
mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan.
Berdasarkan
pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian
dari kewajiban.[14]
Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang
pemeliharaan anak: Pasal 98 :
1.
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa 21, sepanjang tidak cacat fisik atau mental.
2.
Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai
segala perbuatan.
3.
PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat
terdekat yang mampu bila orangtuanya tidak mampu.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
1.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah;
2.
Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di
luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
b. Hadhanah Pada Masa Perceraian
Timbulnya
perceraian antara suami istri bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak
pengasuhan atas dirinya dari kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur
pada Undang –Undang Pernikahan No.1 tahun 1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya
perkawinan karena perceraian adalah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak
bilaman ada perselisihan mengenai pengasuhan anak bilamana ada perselisihan
mengenai pengasuhan anak-anak, pengadilan memberi keputusan;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatau kewajiban bagi bekas
istri.
Kompilasi Hukum
Islam pada pasal 105 kemudian mengatur lebih rinci mengenai permasalahan
perceraian dan kondisi anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:
1. Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang
ibu.
2. Ketika sudah mumayyiz disrahkan kepada
anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.
Sedangkan menurut fikih 5 Madzab, menyatakan
bahwa:[15]
1. Imam Hanafi menyatakan bahwa anak yang berusia
7 tahun untuk laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.
2. Imam Maliki menyakan bahwa Anak laki- laki
hingga baligh dan perempuan hingga menikah.
3. Imam Syafi’i menyatakan bahwa Tidak ada batasan
tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bisa menentukan atau berfikir hal yang
terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan
undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
4. Imam Hambali menyatakan bahwa Masa anak laki-
laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2
tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga
mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki-laki, untuk
kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.
Sedangkan dalam
KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
1. Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh
ibunya kecuali telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
a. Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari
ibu,
b. Ayah,
c. Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
d. Saudara- saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan,
e. Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis
samping dari ibu,
f. Wanita- wanita sedarah menurut garis samping
ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun tercukupi biayanya, maka
atas permintaan kerabat yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke
pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
4. Biaya hadhanah tangung jawab ayah
sekurang- kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus sendiri (21 tahun).
5. Apabila ada perselisihan Pengadilan Agama dapat
memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
6. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan
ayahnya pada penetapan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anak.[16]
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui, selama ia
masih menjadi istri dari ayah anak itu, atau selama masih dalam iddah.
Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau
nafkah masa iddah. Adapun sesudah habis masa iddanya maka ia berhak atas upah
itu seperti haknya kepada upah menyusui.
Seorang ayah
wajib membayar upah penyusuan dan Hadhanah. Ia juga wajib membayar
ongkos sewa rumah atau perlengkapannya sekiranya ibu tidak memiliki rumah
sendiri sebagai pengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu
rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya dan
ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah
khusus bagi anak kecil’ seperti: makan, minum, tempat tidur. Obat-obatan dan
keperluan pokok lain yang sangat diburuhkannyu. Tetapi, upah ini hanya wajib
dikeluarkannya saat ibu pengasuh mengasuh asuhannya. Dan upah ini menjadi utang
yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa dilepas dari tanggungan ini kalau
dilunasi atau dibebaskan.
Jika diantara
kerabat anak ada orang yang pandai mengasuhnya dan melakukannya dengan
sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali kalau dibayar, maka jika
ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah kepada ibunya tersebut dan
ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang mau mengasuhnya
dengan sukarela bahkan si anak harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya
lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunyu. Tetapi
kalau ayahnya tidak mampu ia boleh menyerahkan anak itu kepada kerabatnya yang
perempuan untuk mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuaa ini dari
kalangan kerabat si anak dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah
itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapun apabila anak itu sendiri memiliki harta
untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh
sukarelanya. Di samping untuk menjaga hartanya juga karena ada salah seorang
kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, si
anak sendiri juga tidak memiliki harta sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya
kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya
dengan sukarela, maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya. Sedangkan upah
bayarannya menjadi hutang yang wajib dibayar oleh ayah, dan bisa gugur kalau
telah dibayar atau dibebaskan.
Dalam memberikan hak asuh anak dibawah umur
kepada orang tua laki-laki (ayah), boleh-boleh saja asalkan sebelumnya sudah
melalui beberapa pertimbangan menyangkut kemaslahatan si anak.selain
menggunakan undang-undang sebagai dasar menjatuhkan putusan tersebut, hakim
memiliki pertimbangan lain melalui fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Pemberian hak asuh anak tersebut bukanlah
pemberian kekuasaan yang mengatur, memiliki dan mengendalikan sang anak. Tetapi
hak asuh anak yang dimakksud adalah hak untuk memlihara anak, medidik dan
merawat sang anak. Jadi bekas istri atau bekas suami diperbolehkan bertemu
anak-anak mereka karena masih memiliki hubungan keluarga.
Peraturan yang mengatur tenatang hak kuasa anak setelah terjadi
perceraian adalah pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi “ dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mummayiz
atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Dan pasal 156 huruf (a)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “ akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah anak yang belum mummayiz berhak mendapat hadlanah ibunya.”
Akan tetapi, pasal 105 huruf (a) dan pasal 156
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam tersebut tidaklah suatu keharusan yang mutlak
melainkan hanya hak, yang dibatasi oelh ketentuan pasala 156 huruf (c)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Apabila pemegang Hadlanah ternyata
tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya hadhanah
telah dicukupi, maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlanah.”
Kasus ini pernah ditemukan dan diputuskan
langsung oleh seorang hakim, sebagaimana tertera dalam Putusan Nomor :
0751/Pdt.G/2012/PA.Sm. (Semarang) dan Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta tahun
2004-2005. Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian hak asuh anak kepada ayah
melalui pertimbangan bahwa sang Ibu telah meninggalkan keluarganya dan
meninggalkan anak-anaknya serta berakhlak tidak baik dengan tinggal bersama
laki-laki lain tanpa hubungan perkawinan.
Sedangkan Majelis Hakim menyebutkan bahwa
ketika dipersidangan ibu terbukti berkahlak tidak baik, kufur atau keluar dari
Islam ( murtad ), maka hakim wajib memberikan hak hdalanah kepada ayah.
Pertimbangan lain yang dapat memberikan hak asuh anak dibawah umur
kepada ayah adalah jika ibu berbuat lalai dengan meninggalkan anak-anaknya, memiliki penyakit yang tidak memungkinkan si ibu untuk memenuhi hak anak (seperti sakit
jiwa, cacat, dan lain sebagainya), sering marah dan berkelakuan buruk (seperti
sering mabuk, Judi, menggunakan narkotika, dan lain sebagainya).
Dari beberapa pertimbangan hakim dalam memberikan hak asuh anak
dibawah umur kepada ayah, yang menjadikan alasan utama hakim mempertimbangkan
hak hadlanah kepada ayah adalah karena sang Ibu telah keluar dari Islam
(murtad). Karena ruang lingkup hadlanah juga meliputi pendidikan agamanya.
Sehingga jika ibunya kafir, maka memungkinkan anak tersebut akan terpengaruh
dengan ibunya.
[5] Musthafa Kamal
Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, ( Jogyakarta; Citra Karsa
Mandiri, 2002), h.304
[7] H. S. A. Al- Hamdani, Rsialah Nikah, ( Jakarta; Pustaka Amini,
2002), h. 321- 322
[8] Muhammafd Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III, ( Surabaya:
Al-Ikhlas, 1995), h. 819- 820
[10] Musthafa
Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, (Jogyakarta; Citra Karsa
Mandiri, 2002), h.304
[15] Nuryanto, Hadhanah dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam (artikel)
didownload pada tangga l 07-05-2017
[16] http://imamrusly.wordpress.com/2017/05/07/hadhanah-mengasuh-anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan