RADIO DEWI ANJANI

REFRENSI SEPUTAR HADHANAH

Gambar: https://knowledgeisfreee.blogspot.com
REFRENSI SEPUTAR HADHANAH


Hukum keluarga (al-ahwal alsyokhsiyah) didefinisikan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagai hukum yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga.
Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami isteri dan anggota keluarga. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, pengertian hukum keluarga ( al-ahwalal-syakhsiyah) adalah hukum tentang hubungan manusia dengan keluarganya, yang dimulai dari perkawinan sampai berakhir pada pembagian warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Secara umum cakupan dari hukum keluarga berdasarkan definisi ini terdiri atas tiga aspek pokok, yakni:

a.        Hukum Keluarga (usrah) yang dimulai dari peminangan sampai perpisahan, baik karena ada yang wafat maupun karena perceraian.
b.       Hukum kekayaan keluarga (amwal); yang mencakup waris, wasiyat, wakaf dan sejenisnya yang berkaitan dengan penerimaan dan atau pemberian, dan
c.        Hukum Perwalian terhadap anak yang belum dewasa.

Sementara itu, pengertian Hukum Keluarga menurut Subekti (menggunakan istilah Hukum Kekeluargaan) adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga. Maksud keluarga dari pengertian di atas dibatasi pada keluarga pokok (nuclear family), yakni-bapak, ibu dan anak/anak anak, baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah tangga maupun setelah tejadi perpisahan, baik perpisahan karena meninggal dunia (wafat) maupun karena perceraian.

Adapun cakupan bahasan Hukum Keluarga dalam kitab-kitab fikih dapat dijabarkan sebagai berikut; Ibn Jaza al Maliki, seorang ulama dari mazhab Maliki memasukkan (i) perkawinan dan perceraian, (ii) wakaf (alwaqfatau al-habs), (iii) wasiat, dan (iv) fara’id (pembagian harta pusaka) dalam kelompok mu’amalah dan masing-masing berdiri sendiri di antara 24 bahasan dalam bidang mu’amalah.

Ulama Syafi’iyah menjadikan hukum keluarga menjadi bahasan tersendiri, dengan nama bab munakahat. Bab ini menjadi bagian sendiri dari empat bagian. yakni:

a. lbadah, yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah;

b. Mu’amalah, yakni hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia di bidang kebendaan dan pengalihannya;

c. Munakahat, yakni hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga; dan

d. ‘Uqubah yakni hukum yang mengatur tentang keselamatan dan jaminan jiwa dan harta benda, urusan publik dan kenegaraan.

Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ulama kontemporer, setelah membedakan fikih menjadi dua kelompok besar, (1) ‘ibadah, dan (2) mu’amalat, kemudian membagi lebih rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya adalah hukum keluarga (al-ahwal as-syakhsiyah). Ini berarti hukum keluarga menjadi bagian tersendiri. Tujuh kelompok dimaksud adalah:

a. Ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan Allah dengan manusia seperti shalat dan puasa;
b. Hukum keluarga (al-ahwal al-shakhsiyah) yaitu hukum perkawinan (nikah). Perceraian (talak, khuluk, dll), nasab, nafkah, wasiat dan waris.
c. Mu’amalat, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan hana (al-amwal), hak, dan pengelolaan harta (al-tasharruf) dengan cara transaksi (akad) dan lainnya;
d. Hukum kenegaraan (al-ahkam al-sultaniyah), yaitu hukum yang mengatur hubungan pemimpin dengan rakyat, serta hak dan kewajiban rakyat dan pemimpin;
e. ‘Uqubah, yaitu hukum yang mengatur tentang pemberian sanksi bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran dan tindak pidana untuk merjaga ketertiban dan keamanan manusia secara kolektif.
f. Hukum yang mengatur hubungan bilateral dan multilateral (al-huquq al-dualiyah);
g. Fikih akhlaq (al-adab). yaitu hukum yang mengatur keutamaan pergaulan dan hubungan manusia dengan manusia.

Abd al-Wahab Kiallaf, pemikir kontemporer lain setelah membagi hukum dalam al-Qur’an menjadi 3 (tiga): (1) akidah, (2) akhlak, dan (3) mu’amalah, kemudian mengelompokkan mu’amalah menladi dua kelompok besar: (1) ibadah, dan (2) mu’amalah. Secara singkat al-ahwal al-Syakhsiyah didefinisikan ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagai hukum yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga. Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami, isteri dan anggota keluarga. Jumlah ayat al-Qur’an yang mengatur keluarg ada ± 70 ayat.

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang belum muwayyiz. Hadhanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan.[1]

Menurut Sayyid Sabiq Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Sementara itu, dalam kajian fiqih hadhanah yaitu memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang merusaknya.[2] Yang dimaksud dengan perkataan mendidik disini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz, maka istrinyalah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya. Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak tinggal bersama ibunya, namun nafkahnya tetap wajib dipikul oleh ayahnya.[3] Hal ini juga dinyatakan oleh Moh. Rifa’i yang menjelaskan bahwa apabila antara ayah dan ibu berpisah dan mempunyai anak, maka ibulah yang lebih berhak memeliharanya (mendidiknya) sampai anak berumur tamyiz (7 tahun), artinya bisa memilih orang tua yang diikuti.[4]

Dasar hukum dalam Hadhanah yakni Firman Allah SWT. Q.S. At-Tahrim Ayat 06:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim :6)
Berdasarkan pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah, yang termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini terutama ibulah yang berkewajiban melakukan Hadhanah.

Seorang hadhin atau hadhinah harus mempunyai kecakapan dan kecukupan atau syarat-syarat yang harus terpenuhi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugurlah kebolehan untuk mengasuh anak. Syarat-syarat yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut:

a.        Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan Hadhanah.
b.       Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya.
c.        Beragama islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.
d.       Amanah.
e.        Belum menikah dengan laki- laki lain bagi ibunya.
f.        Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
g.       Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h.       Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya[5]

Mayorita ulama sepakat bahwa syarat-syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan bagian dari hadhanah. Sedangkan masalah agama bagi Imam Syafi’i orang selain Islam tidak boleh. Sedangkan mazdab lain bukan merupakan syarat hanya saja bagi Imam Hanafi kemurtadan menjadikan gugur hak asuhan.
Seterusnya, mazdab 4 berpendapat bahwa, apabila ibu si anak dicerai suaminya, lalu dia kawin lagi dengan laki- laki, maka hak asuhanya gugur, tetapi hak asuhanya bagi ibu tetap ada karena merupakan bukti kasih sayang kepada anaknya. Sedangkan Imam Hanafi, Syafi’i, Imamiyyah dan Hambali: Apabila ibu si anak bercerai pula dengan suaminya yang kedua, maka larangan hak asuhan si anak bisa dicabut kembali. Dan hak itu dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki-laki kedua itu. Adapun Imam Maliki: Hak tersebut tidak bisa kembali dengan adanya perceraian itu.[6]

Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan wajib tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena perceraian maupun salah satunya meningal dunia, tidaklah menyebabkan putusnya kewajiban terhadap anaknya, sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.( QS. Al-Baqarah ayat[2] 233)
Ayat tersebut dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban utuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya[7], sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap hadhanah, apakah yang berhak itu hadhin atau mahdhun (anak). Sebagimana pengikut Mazhab Hanafi berpendapat hak Hadhanah itu merupakan hak anak. Sedangkan menurut Syafi’i, Ahmad dan sebagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak terhadap hadhanah itu adalah hadhin.

Jumhur ulama berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili hak hadhanah itu hak berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi perceraian maka ibu lebih berhak untuk mengasuh anak. Menurut Muhammad Baqir al-Habsi, sebab- sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu Iebih memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam rsianya yang masih amat muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki waktu yang lebih lapang untuk melaksanakan tugasnya tersebut dibanding seorang ayah yang memiliki banyak kesibukan. Jika si ibu tidak cakap, maka hadhanah itu beralih kepada kerabat yang lebih jauh. Akan tetapi, jika kerabat dari pihak ibu tidak ada atau tidak memenuhi syarat sebagai hadhin (pengasuh), barulah kesempatan itu jatuh kepada pihak ayah dengan skala prioritas pula.

Menurut Ulama Al-hadwaiyah dan Ulama’ Hanafiyyah, tidak perlu disuruh memilih kata mereka: ibu lebih utama terhadap anak itu hingga dia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Apabila sudah mampu memenuhi diri sendiri maka ayah lebih berhak atasnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya Imam Malik.[8]

Setelah dasar hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk kecakapan atau kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus Ada syarat-syarat tertentu, yaitu:

a. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
b. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya.
c. Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.
d. Amanah.
e. Belum menikah dengan laki- laki lain bagi ibunya.
f. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.[9]
g. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya.[10]

Mayorita ulama sepakat bahwa syarat- syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan bagian dari hadhanah. Sedangkan masalah Agama bagi Imam Syafi’i orang selain Islam tidak boleh. Sedangkan mazdab lain bukan merupakan syarat hanya saja bagi imam Hanafi kemurtadan menjadikan gugur hak asuhan.

Seterusnya mazdab 4 berpendapat bahwa, apabila ibu si anak dicerai suaminya, lalu dia kawin lagi dengan laki- laki, maka hak asuhanya gugur, tetapi hak asuhanya bagi ibu tetap ada karena merupakan bukti kasih sayang kepada anaknya. Sedangkan Imam Hanafi, Syafi’i, Imamiyyah dan Hambali: Apabila ibu si anak bercerai pula dengan suaminya yang kedua, maka larangan hak asuhan si anak bisa dicabut kembali. Dan hak itu dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki- laki kedua itu. Adapun Imam Maliki: Hak tersebut tidak bisa kembali dengan adanya perceraian itu.[11]

Syarat di atas bukan bagian mutlak karena hal terbaik bagi anak itu faktor utama untuk hadhanah seperti penyebutan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 109:

Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.[12]

Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.

a.       Hadhanah Pada Masa Perkawinan.

Berdasarkan Undang–Undang Pernikahan No. 1 tahun 1974 pasal 45, 465, 47 menyebutkan bahwa :

Pasal 45:
1.  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.

Pasal 46:
1.  Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.

Pasal 47:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Berdasarkan pada ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap berkewajiban.[13] Namun demikian, orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan.

Berdasarkan pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[14]

Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak: Pasal 98 :
1.       Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak cacat fisik atau mental.
2.       Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan.
3.       PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orangtuanya tidak mampu.

Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
1.       Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2.       Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;

b.   Hadhanah Pada Masa Perceraian

Timbulnya perceraian antara suami istri bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dari kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada Undang –Undang Pernikahan No.1 tahun 1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilaman ada perselisihan mengenai pengasuhan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, pengadilan memberi keputusan;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatau kewajiban bagi bekas istri.

Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105 kemudian mengatur lebih rinci mengenai permasalahan perceraian dan kondisi anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:

1. Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang ibu.
2.  Ketika sudah mumayyiz disrahkan kepada anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.

Sedangkan menurut fikih 5 Madzab, menyatakan bahwa:[15]

1. Imam Hanafi menyatakan bahwa anak yang berusia 7 tahun untuk laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.
2. Imam Maliki menyakan bahwa Anak laki- laki hingga baligh dan perempuan hingga menikah.
3. Imam Syafi’i menyatakan bahwa Tidak ada batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bisa menentukan atau berfikir hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
4. Imam Hambali menyatakan bahwa Masa anak laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki-laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.

Sedangkan dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
1. Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
a. Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,
b. Ayah,
c. Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
d. Saudara- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
e. Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
f. Wanita- wanita sedarah menurut garis samping ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
4. Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus sendiri (21 tahun).
5. Apabila ada perselisihan Pengadilan Agama dapat memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
6. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anak.[16]

Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak itu, atau selama masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Adapun sesudah habis masa iddanya maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upah menyusui.

Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan Hadhanah. Ia juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya sekiranya ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai pengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil’ seperti: makan, minum, tempat tidur. Obat-obatan dan keperluan pokok lain yang sangat diburuhkannyu. Tetapi, upah ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh mengasuh asuhannya. Dan upah ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa dilepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebaskan.

Jika diantara kerabat anak ada orang yang pandai mengasuhnya dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali kalau dibayar, maka jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang mau mengasuhnya dengan sukarela bahkan si anak harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunyu. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu ia boleh menyerahkan anak itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuaa ini dari kalangan kerabat si anak dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapun apabila anak itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh sukarelanya. Di samping untuk menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, si anak sendiri juga tidak memiliki harta sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan sukarela, maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya. Sedangkan upah bayarannya menjadi hutang yang wajib dibayar oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah dibayar atau dibebaskan.

Dalam memberikan hak asuh anak dibawah umur kepada orang tua laki-laki (ayah), boleh-boleh saja asalkan sebelumnya sudah melalui beberapa pertimbangan menyangkut kemaslahatan si anak.selain menggunakan undang-undang sebagai dasar menjatuhkan putusan tersebut, hakim memiliki pertimbangan lain melalui fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Pemberian hak asuh anak tersebut bukanlah pemberian kekuasaan yang mengatur, memiliki dan mengendalikan sang anak. Tetapi hak asuh anak yang dimakksud adalah hak untuk memlihara anak, medidik dan merawat sang anak. Jadi bekas istri atau bekas suami diperbolehkan bertemu anak-anak mereka karena masih memiliki hubungan keluarga.
Peraturan yang mengatur tenatang hak kuasa anak setelah terjadi perceraian adalah pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Dan pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “ akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mummayiz berhak mendapat hadlanah ibunya.”
Akan tetapi, pasal 105 huruf (a) dan pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam tersebut tidaklah suatu keharusan yang mutlak melainkan hanya hak, yang dibatasi oelh ketentuan pasala 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Apabila pemegang Hadlanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya hadhanah telah dicukupi, maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlanah.”
Kasus ini pernah ditemukan dan diputuskan langsung oleh seorang hakim, sebagaimana tertera dalam Putusan Nomor : 0751/Pdt.G/2012/PA.Sm. (Semarang) dan Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta tahun 2004-2005. Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian hak asuh anak kepada ayah melalui pertimbangan bahwa sang Ibu telah meninggalkan keluarganya dan meninggalkan anak-anaknya serta berakhlak tidak baik dengan tinggal bersama laki-laki lain tanpa hubungan perkawinan.
Sedangkan Majelis Hakim menyebutkan bahwa ketika dipersidangan ibu terbukti berkahlak tidak baik, kufur atau keluar dari Islam ( murtad ), maka hakim wajib memberikan hak hdalanah kepada ayah.
Pertimbangan lain yang dapat memberikan hak asuh anak dibawah umur kepada ayah adalah jika ibu berbuat lalai dengan meninggalkan anak-anaknya, memiliki penyakit yang tidak memungkinkan si ibu untuk memenuhi hak anak (seperti sakit jiwa, cacat, dan lain sebagainya), sering marah dan berkelakuan buruk (seperti sering mabuk, Judi, menggunakan narkotika, dan lain sebagainya).
Dari beberapa pertimbangan hakim dalam memberikan hak asuh anak dibawah umur kepada ayah, yang menjadikan alasan utama hakim mempertimbangkan hak hadlanah kepada ayah adalah karena sang Ibu telah keluar dari Islam (murtad). Karena ruang lingkup hadlanah juga meliputi pendidikan agamanya. Sehingga jika ibunya kafir, maka memungkinkan anak tersebut akan terpengaruh dengan ibunya.


[1] M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawalipers, 2010), h.215
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 67
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 426
[4] Moh. Rifa’Idkk, Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), h. 350
[5] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, ( Jogyakarta; Citra Karsa Mandiri, 2002), h.304
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih 5 Mazdab, (Jakarta; Lentera, 2002), h.416- 417
[7] H. S. A. Al- Hamdani, Rsialah Nikah, ( Jakarta; Pustaka Amini, 2002), h. 321- 322
[8] Muhammafd Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 819- 820
[9] Ibnu Qasim, Tausyih Ala Ibnu Qasim, ( Surabaya; Al- Hidayah, TT), h. 234- 235
[10] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, (Jogyakarta; Citra Karsa Mandiri, 2002), h.304
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih 5 Mazdab, (Jakarta; Lentera, 2002), h. 416- 417.
[12] KHI, pasal 109

[13] Rahmad hakim, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung; Pustaka Setia, 2000), h. 242- 243
[14] Abdul Rahmad Ghazaly, Fikih Munakahat, (Bogor; Kencana, 2003), h.189- 190
[15] Nuryanto, Hadhanah dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam (artikel) didownload pada tangga l 07-05-2017
[16] http://imamrusly.wordpress.com/2017/05/07/hadhanah-mengasuh-anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi