RADIO DEWI ANJANI

KONSEP KELUARGA DALAM ISLAM


KONSEP KELUARGA DALAM ISLAM

Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.[1]
Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan keluarga, perhatian yang sepadan dengan perhatiannya terhadap kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Terkait hal ini, bisa ditemukan dalam puluhan ayat al-Qur’an dan ratusan hadis Nabi Muhammad SAW, petunjuk-petunjuk yang sangat jelas menyangkut hakikat tersebut. Allah SWT menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap insan dan hendaknya darinya dapat ditarik pelajaran berharga.[2]Terkait hal ini al-Qur’an menegaskan dalam ayat ayat berikut ini:

وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An-Nahl[16]: 72)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum[30]: 21)
Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, sebaliknya pribadi yang rusak akan melahirkankeluarga yang rusak. Demikian juga seterusnya, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang baik. Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah sebagai mandataris-Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya itu ia dapat mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik. Dengan kata lain, ia harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu pula melestarikan alam ini. Karena alam yang diciptakan Allah ini bukanlah alam yang siap pakai, tetapi ia harus diolah dan dibangun oleh manusia menjadi suatu alam yang baik. Adanya anggapan alam ini sebagai suatu tempat yang siap pakai, merupakan suatu kekeliruan. Anggapan yang menyesatkan ini bertentangan dengan tugas manusia di bumi sebagai mandataris-Nya. Justru itu amat wajar Islam mengutamakan pembinaan terhadap individu dan keluarga.[3]
Keluarga adalah “umat kecil” yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Keluarga adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan kasihsayang, ghirah (kecemburuan positif) dan sebagainya.
Kebahagiaan akan muncul dalam rumah tangga jika didasari ketakwaan, hubungan yang dibangun berdasarkan percakapan dan saling memahami, urusan yang dijalankan dengan bermusyawarah antara suami, istri, dan anak-anak. Semua anggota keluarga merasa nyaman karena pemecahan masalah dengan mengedepankan perasaan dan akal yang terbuka. Apabila terjadi perselisihan dalam hal apa saja, tempat kembalinya berdasarkan kesepakatan dan agama[4], karena syariat dalam hal ini bertindak sebagai pemisah.
Konsep keluarga dalam Islam cukup jelas, bahkan Islam sangat mengutamakan pembinaan individu dan keluarga. Hal ini wajar karena keluarga merupakan prasyarat baiknya suatu bangsa dan negara. Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baitî jannatî (rumah ku adalah surgaku).

Aplikasi Konsep Keluarga SAMAWA
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa perkawinan bukan sekedar pertemuan dua jenis kelamin untuk memperoleh keturunan, apalagi hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, harus ada tujuan yang lebih substantif dan bermakna, yakni terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rah}mah), seperti tertera dalam QS. Ar-Rum[30]: 21)
Ayat ini mengandung pelajaran penting bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berketurunan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Hanya saja, dalam tataran prosesnya, manusia berbeda dengan binatang. Ada aturan yang harus dipenuhi sebelumnya, yakni melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama. Melalui perkawinan yang sah itulah, manusia akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman,
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.[5] Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.[6]
Ayat di atas memang menggunakan dhamīr kum (kata ganti untuk laki-laki), akan tetapi ia juga ditujukan kepada kaum perempuan. Sebab, kata zauj bukan berarti suami, tetapi menunjukkan arti menyatunya dua hal, dalam hal ini, suami dan istri. Sehingga masing-masing disebut zauj bagi pasangannya, seorang perempuan akan disebut istri si fulan; begitu juga seorang laki-laki, disebut suami si fulanah.
Sakīnah sebagai tujuan perkawinan tidak diungkapkan dengan kata benda (isim), akan tetapi dengan bentuk kata kerja (taskunu/yaskunu), yang menunjukkan arti hudūs/ (kejadian baru) dan tajaddud (memperbaharui). Artinya, sakinah bukan sesuatu yang sudah jadi atau sekali jadi, namun ia harus diupayakan secara sungguh-sungguh (mujāhadah) dan terus menerus diperbaharui, sebab ia bersifat dinamis yang senantiasa timbul tenggelam. Atau dengan kata lain, sebuah perkawinan yang sakinah bukan berarti sebuah perkawinan yang tidak pernah ada masalah, sebab perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan, dan setenang-tenangnya lautan pasti ada ombak. Namun demikian, gambaran sederhana dari keluarga sakinah adalah jika masing-masing pihak dengan penuh kesungguhan berusaha mengatasi masalah yang timbul, dengan didasarkan pada keinginan yang kuat untuk menuju kepada terpenuhi ketenangan dan ketentraman jiwa tersebut, sebagaimana diisyaratkan oleh redaksi litaskunu ilā bukan litaskunu ‘inda.
Di samping itu, Al-Qur'an juga menyatakan bahwa sakīnah tersebut dimasukkan oleh Allah melalui kalbu. Artinya, kedua belah pihak, yakni suami dan istri, harus mempersiapkan kalbunya terlebih dahulu dengan kesabaran dan ketakwaan.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa persiapan kalbu harus melalui beberapa fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari sifat-sifat tercela (takhallī), dengan cara menyadari atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat, disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha menghindarinya. Disusul dengan perjuangan/mujāhadah untuk melawan sifat-sifat tercela tersebut dengan cara mengedepankan sifat-sifat terpuji (tahallī), seperti melawan kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan pengorbanan, sambil terus memohon pertolongan dari Allah subhānahū wa ta‘ālā.[7]
Pertemuan dua jenis kelamin yang dijalin melalui perkawinan akan melahirkan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian interaksi antara keduanya secara aktif inilah akan melahirkan rasa cinta (mawaddah). Term mawaddah, dalam konteks ayat ini, mengacu pada penjelasan sebelumnya, adalah mengandung dua makna sekaligus yaitu mah}abbah (cinta) dan tamannī kaunihi (keinginan untuk mewujudkan). Atau dengan kata lain, perasaan saling mencintai itulah yang mendorong masing-masing pihak untuk saling mendekat. Oleh karena itu, mawaddah bukanlah cinta biasa yang terkadang timbul tenggelam, bahkan pupus sama sekali. Mawaddah, meminjam istilah M. Quraish Shihab, adalah “cinta plus”. Sebab, ketika seseorang yang sudah dipenuhi perasaan mawaddah, maka cintanya akan sangat kukuh dan tidak mudah putus, sebab hatinya senantiasa lapang dan kosong dari kehendak buruk.[8]
Dari rasa cinta yang mendalam inilah, masing-masing pihak bertekad untuk melakukan yang terbaik dan berkorban untuk pasangannya. Di sinilah perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga yang sakīnah akan senantiasa diliputi dengan rahmah, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik kepada pihak lain.[9] Ada juga yang memahami rahmah adalah sesuatu yang menumbuhkan sifat kasihan dan simpati atas dasar kekerabatan dan kasih sayang. Pendapat yang lain menyatakan bahwa rahmah adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang melahirkan rida Allah.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perkawinan yang dirahmati, indikasinya adalah kedua belah pihak berusaha secara sungguh-sungguh mencintai dengan tulus terhadap pasangannya masing-masing, serta memperlakukan pasangannya dengan perlakuan yang baik, bahkan yang terbaik, serta keduanya berusaha melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan rida Allah.
Ada juga yang memahami rahmah di sini berarti anak, sebab dengan kehadiran anak kehidupan rumah tangga akan semakin dinamis, masing-masing pihak akan senantiasa terdorong untuk berbuat yang terbaik, terutama demi perkembangan anaknya. Namun begitu, kandungan makna rahmah tetap lebih tinggi dari sekedar anak. M. Quraish Shihab menggambarkan rahmah dalam kasus poligami, misalnya, bahwa rahmah akan mampu meredam keinginan seorang suami untuk berpoligami, ketika diketahui istrinya ternyata mandul atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya, meskipun dibolehkan. Dengan rahmah, ia akan berani berkorban demi cinta dan kasihnya kepada sang istri. Begitu juga bagi sang istri, ia sangat merasakan betapa pedihnya perasaan suaminya ketika keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, maka dengan rahmah ia berani berkorban untuk “mengizinkan” suaminya meraih dambaan dan keinginannya itu. Di sinilah cinta dan rahmat akan teruji.[10]
Hanya saja, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa mawaddah dan rahmah tidak begitu saja bisa diperoleh setelah terlaksananya perkawinan. Akan tetapi yang benar adalah melalui perkawinan seseorang akan memperoleh mawaddah dan rahmah sebagai landasan terciptanya keluarga yang sakīnah. Dengan demikian, masing-masing pihak, suami-istri, harus saling bantu-membantu, dan dukung-mendukung demi terpenuhinya mawaddah dan rahmah tersebut, sebagaimana yang bisa dipahami dari redaksi: wa ja‘ala bainakum mawaddah wa rahmah.
Menurut sementara pakar, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa ada beberapa tahapan yang biasanya dilalui oleh pasangan suami-istri, sebelum mencapai kehidupan keluarga sakīnah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, antara lain, yaitu:

Pertama: Tahap Bulan Madu
Pada tahap ini kedua pasangan benar-benar menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka sangat romantis, penuh cinta, dan senda gurau. Pada tahap ini, biasanya digambarkan bahwa masing-masing bersedia melalui kehidupan ini walau dalam kemiskinan dan kekurangan.

Kedua: Tahap Gejolak
Pada tahap ini, mulai timbul gejolak setelah berlalu masa bulan madu. Kejengkelan sudah mulai tumbuh di hati, apalagi keduanya sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya yang selama ini “sengaja” ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka sudah mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekedar romantisme, tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan masing-masing pihak biasanya merasa menyesal kenapa harus memilih dia sebagai pasangan hidupnya. Namun, dengan kesabaran dan toleransi akan menghantar mereka pada tahap ketiga.

Ketiga: Tahap Perundingan dan Negosiasi
Tahap ini lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Pada tahap ini juga, mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika mereka berhasil melewati tahap ini, maka akan membawa pada tahap berikutnya.

Keempat: Tahap Penyesuaian
Tahap ini masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, sekaligus kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangannya. Dalam tahap ini, masingmasing akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi cinta.

Kelima: Tahap Peningkatan Kualitas Kasih Sayang
Pada tahap ini, masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya yang didasarkan pada pengalaman bukan teori, bahwa hubungan suami istri memang sangat berbeda dengan segala bentuk hubungan sosial lainnya. Pada tahap ini, masing-masing pihak menjadi teman terbaik; dalam bercengkerama, berdiskusi, serta berbagai pengalaman. Masing-masing pihak juga berusaha untuk melakukan yang terbaik demi menyenangkan pasangannya.

Keenam: Tahap Kemantapan
Pada tahap ini masing-masing pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai realitas yang menetap, sehingga sehebat apa pun guncangan yang mendera mereka tidak akan bisa menggoyahkan rumah tangganya. Memang, riak-riak kecil masih akan tetap ada, namun riak-riak yang tidak akan menghanyutkan. Pada tahap inilah mereka merasakan cinta yang sejati
Tahapan-tahapan ini merupakan gambaran umum yang biasa dialami dalam hubungan suami-istri. Hal ini juga bersifat relatif sehingga tidak bisa dikalkulasi secara matematis, misalnya pada tahun ke berapa sebuah perkawinan akan mengalami tahapan pertama, kedua, dan seterusnya. Begitu juga urutan ini tidaklah bersifat permanen, tetapi merupakan hasil sebuah penelitian atau ijtihad. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya tahapan-tahapan lain selain di atas.
Implementasi Mu‘āsyarah bil-Ma‘rūf . Istilah ini dalam bentuknya yang asli, tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an. Akan tetapi, dalam bentuk yang lain ditemukan hanya sekali:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (QS. an-Nisā'[04]: 19)
Ayat ini turun sebagai respons dari tradisi buruk yang berkembang saat itu, dimana seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, menjadi hak walinya, baik untuk dinikahkan dengan orang lain maupun dinikahi sendiri.[11] Namun, secara umum ayat ini berkenaan dengan perintah mempergauli istri dengan baik dan tidak menyusahkannya.
Kata ‘āsyara dengan kata jadiannya seluruhnya ada 27 kali, sedangkan yang menunjukkan arti keluarga adalah term ‘asyīrah. Sementara perintah mu‘āsyarah, mengikuti pola mufā‘alah pada mulanya berarti musāhabah atau pertemanan/pergaulan.[12] Dari sinilah mu‘āsyarah dimaknai dengan mempergauli, bahkan pihak lain yang dipergauli tersebut ada hubungan perkawinan (istri), kekerabatan (saudara), atau orang lain tetapi sudah sangat kenal.[13] Sementara ma‘rūf disebutkan di dalam Al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang digunakan dalam beberapa konteks pembicaraan, antara lain:
  • Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan (al-Baqarah/2: 178)
  • Terkait dengan wasiat (al-Baqarah/2: 180)
  • Terkait dengan persoalan talak, nafkah, mahar, idah, dan pergaulan suami-istri (al-Baqarah/2: 228-234)
  • Terkait dengan dakwah (Āli ‘Imrān/3: 104 dan 110)
  • Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim(an-Nisā'/4: 6)
  • Terkait hubungan suami-istri (an-Nisā'/4: 19)
Term-term ma‘rūf yang disebutkan dalam beberapa konteks di atas, seluruhnya berarti kebaikan yang sudah dikenal baik oleh mereka yang tinggal di tempat tersebut. Menurut al-Asfahānī, term ma‘rūf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syarak.[14] Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma‘rūf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Argumentasinya adalah jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka dalam tataran praktisnya, antara daerah satu dengan lainnya pasti berbeda di sini Al-Quran membedakan term ma‘rūf dengan khair. Dengan demikian, menjadi sangat wajar jika mu‘āsyarah bil-ma‘rūf dalam tataran praktisnya antara daerah satu dengan lainnya juga berbeda.
Melihat redaksinya, perintah mempergauli tersebut ditujukan untuk para suami kepada istrinya, bukan sebaliknya. Bahkan perintah mu‘āsyarah bil-ma‘rūf tersebut ditujukan kepada istri yang dicintai maupun tidak. Sehingga at-Tabarī menyatakan, mu‘āsyarah bil-ma‘rūf pada prinsipnya adalah berakhlak yang baik kepadanya dan memperlakukannya sesuai dengan tuntunan agama dan apa yang berlaku di masyarakatnya, yakni dengan cara memberikan hak-haknya.[15] Di antara contoh mu‘āsyarah bil-ma‘rūf yang dilakukan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya adalah senantiasa mempergauli istrinya dengan sangat indah, selalu menampakkan wajah berseri-seri, bersenda gurau, sangat perhatian, memberi nafkah, dan mempercayakan seluas-luasnya tentang pengelolaan keuangan keluarga, bercanda dengan istri, mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan menyempatkan diri untuk mengajaknya sebelum tidur.
Namun, asy-Sya‘rāwī memiliki pandangan lain tentang ayat ini. Menurutnya, ayat ini ditujukan kepada suami yang sudah tidak lagi mencintai istrinya. Asy-Sya‘rāwī membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami-istri dengan sikap ma‘rūf yang diperintahkan. Mawaddah pasti disertai dengan cinta, sementara ma‘rūf tidak harus demikian. Argumentasinya adalah bahwa Allah menafikan mawaddah atau cinta kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya meskipun mereka adalah bapak, anak, dan saudara-saudara, seperti dalam firman-Nya:4
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya. (QS. al-Mujādalah[58]: 22)
Padahal menurut asy-Sya‘rāwī, di ayat lain Allah memerintahkan seorang anak untuk tetap bersikap ma‘rūf kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka memaksanya untuk tidak percaya atas keesaan Allah, seperti dalam firman-Nya:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqmān[31]: 15)
Kedua ayat di atas memberi indikasi yang cukup jelas bahwa ma‘rūf berbeda dengan cinta. Oleh karena itu, mawaddah atau cinta bukan sesuatu yang diperintahkan tetapi kondisi psikologis yang harus diupayakan, sementara mempergauli atau memperlakukan dengan baik adalah diperintahkan meskipun ia belum atau bahkan tidak berhasil menghiasi hubungan suami-istri tersebut dengan mawaddah. Dengan demikian, penjelasan asy-Sya‘rāwī di atas menjadi cukup penting untuk dipahami dalam konteks hubungan suami-istri agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan hanya disebabkan hilangnya rasa cinta. Rasa cinta boleh hilang, tetapi ia tetap diperintahkan untuk berlaku ma‘rūf.
Jika hilangnya cinta menjadi sebab perceraian, maka perkawinan tersebut sebenarnya bukan dilandasi atas cinta dan kasih, sebagaimana tergambar dalam term mawaddah, tetapi cinta yang lahir dari hawa nafsu. Ia menikahi istrinya bukan untuk membahagiakan istrinya sehingga, sebagai konsekuensi-nya, ia berani berkorban, tetapi ia menikah untuk dirinya sendiri, sehingga ia menuntut istrinya untuk berkorban demi dirinya. Tentu saja, hal ini bukanlah mu‘āsyarah bil- ma‘rūf. Di sisi lain, pameo yang menyatakan, “rumput tetangga adalah lebih hijau” memang bukanlah omong kosong, sebab puncak kepuasan seorang laki-laki terletak pada perempuan. Di sinilah seorang laki-laki mudah terjerat oleh godaan perempuan, jika hawa nafsunya tidak terkontrol serta tidak tercerahkan oleh nilai-nilai agama. Ia akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama atau terdorong untuk menuruti keinginan nafsunya atas nama agama tanpa mengindahkan kondisi psikologis pasangannya. 
Dalam kondisi demikian, seringkali hawa nafsu mengalahkan pertimbangan nurani dan akal sehatnya, pengetahuan agamanya pun menjadi tidak bermanfaat atau bahkan digunakan sebagai alat untuk memuaskan hawa nafsunya. Secara gamblang, dapat dilihat dalam kasus poligami yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, kekerasan dalam rumah tangga atas nama ketaatan, dan sebagainya. Dengan demikian, mu‘āsyarah bil-ma‘rūf bukan sekedar mempergauli istri dengan segala bentuk kebaikan yang bersifat fisik material, tetapi juga psikologis. Memang, bukan sesuatu yang sulit jika masih ada cinta di hatinya, namun akan terasa sangat sulit jika sudah tidak mencintai lagi -yang tentunya disebabkan oleh banyak faktor ditambah, di matanya istrinya seringkali menjengkelkan. Di sinilah Al-Qur'an menegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata .Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya (QS. an-Nisā' [4]: 19).
Dalam ayat ini, larangan untuk menyakiti istri dirangkai dengan perintah mu‘āsyarah bil-ma‘rūf , sebab mu‘āsyarah bil-ma‘rūf tidak mungkin terealisasi tanpa dibarengi peniadaan sikap menyakiti. Ayat ini juga bisa dipahami sebagai larangan untuk mempergauli istri dengan pergaulan yang buruk jika ditemukan hal-hal yang tidak disukai. Redaksi fa‘asā an takrahū menempati posisi sebagai jawaban dari redaksi fa in karihtumūhunna yang jawabnya dibuang karena sudah maklum. Sehingga dapat dipahami, “jika kamu tidak menyukainya (istri) lagi, (maka bersabarlah) dan jangan tergesa-gesa untuk menceraikannya.”Sebab tidak ada yang tahu, di balik ketidakcintaan itu justru ada kebaikan atau menjadi sebab munculnya kebaikan-kebaikan. Di sisi lain, kata ‘asa menunjukkan bahwa kebaikan yang dijanjikan tersebut adalah amat dekat.
Ayat ini telah mengajarkan sebuah hikmah yang besar, yakni jangan tergesa-gesa memvonis buruk terhadap setiap apa yang tidak disukai, sebab boleh jadi di balik itu terdapat kebaikan atau akan membawa dirinya untuk bisa memahami kebaikan ketika menemukan jalan buntu. Kesadaran akan hal ini yang memungkinkan suami senantiasa kuat dan sabar serta tidak egois dalam mempergauli istrinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ayat di atas juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa memikirkan dan mempertimbangkan secara mendalam setiap persoalan yang dihadapi dalam pergaulan suami istri, agar tidak teperdaya oleh faktor-faktor luar yang boleh jadi menawarkan kebaikan tetapi hanya bersifat sesaat.
Munculnya ketidaksenangan di sini bukan disebabkan oleh faktor luar, misalnya ingin berpoligami, perselingkuhan, dan sebagainya, namun semata-mata memang sudah tidak mencintai lagi sehingga hubungan keduanya terancam bubar.
Oleh karena itu, sikap sabar menjadi cukup penting dalam kondisi semacam ini, yakni di saat perasaan cinta sudah mulai pudar atau istri sudah mulai “menjengkelkan”. Ketika seorang suami tetap sabar dalam kondisi ini, dengan selalu ber-mu‘āsyarah bil-ma‘rūf terhadap istrinya, di mana hal itu disadari sebagai perintah Allah, maka pada saat itulah Allah menjadikan kebaikan baginya sebagai balasan dari kesabaran dan ketulusannya dalam melaksanakan perintah-Nya.


[1] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat), (Bandung Mizan, 1994), 253. 
[2] Ibid., hal. 253
[3] Sirajuddin Zar, Konsep Keluarga Dalam Agama Islam, dalam, http://www.academia.edu, diakses 25 Desember 2016.
[4] QS. An-Nisa (04): 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

[5] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wat-Tanwīr, jilid XIII, h, 3234
[6] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wat-Tanwīr, jilid XIII, 3234 dan ar-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, jilid 17, 4059.
[7] M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet ke-3, h. 82
[8] Ibid., hal. 88
[9] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wa at-Tanwīr, jilid. XIII,Op. Cit., hal 3234.
[10] M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur'an,Op. Cit., hal. 92
[11] Lihat ash-Shabūnī, Mukhtashar, jilid I, h. 368. Riwayat al-Bukhārī, Abū Dāwud, dan an-Nasā'ī
[12] Ibnu ‘Asyūr, at-Tahrīr wa at-Tanwīr, jilid IV, Op. Cit., hal. 917
[13] Al-Ashfahānī, al-Mufradāt, dalam term ‘asyara, Op. Cit., hal. 335.
[14] Ibid., hal. 331
[15] Lihat ath-Thabarī, Jāmi‘ al-Bayān, (t.t: t.p, t.th), jilid III, hal. 312.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi