KONSEP KELUARGA DALAM ISLAM
Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.[1]
Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islam memberikan perhatian
yang sangat besar terhadap pembinaan keluarga, perhatian yang sepadan dengan
perhatiannya terhadap kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara
keseluruhan. Terkait hal ini, bisa ditemukan dalam puluhan ayat al-Qur’an dan
ratusan hadis Nabi Muhammad SAW, petunjuk-petunjuk yang sangat jelas menyangkut
hakikat tersebut. Allah SWT menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan
pemikiran setiap insan dan hendaknya darinya dapat ditarik pelajaran berharga.[2]Terkait
hal ini al-Qur’an menegaskan dalam ayat ayat berikut ini:
وَاللّهُ
جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ
وَبِنِعْمَتِ اللّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" (QS. An-Nahl[16]: 72)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.
Ar-Rum[30]: 21)
Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah
kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi
dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, sebaliknya
pribadi yang rusak akan melahirkankeluarga yang rusak. Demikian juga
seterusnya, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang baik.
Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah sebagai mandataris-Nya. Manusia
ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah
digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya itu ia dapat mengeksploitasinya untuk
tujuan-tujuan yang baik. Dengan kata lain, ia harus mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya dan mampu pula melestarikan alam ini. Karena alam yang diciptakan
Allah ini bukanlah alam yang siap pakai, tetapi ia harus diolah dan dibangun
oleh manusia menjadi suatu alam yang baik. Adanya anggapan alam ini sebagai
suatu tempat yang siap pakai, merupakan suatu kekeliruan. Anggapan yang
menyesatkan ini bertentangan dengan tugas manusia di bumi sebagai
mandataris-Nya. Justru itu amat wajar Islam mengutamakan pembinaan terhadap
individu dan keluarga.[3]
Keluarga adalah “umat kecil” yang memiliki
pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan
kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Keluarga adalah sekolah tempat
putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia,
seperti kesetiaan, rahmat, dan kasihsayang, ghirah (kecemburuan positif)
dan sebagainya.
Kebahagiaan akan muncul dalam rumah tangga jika
didasari ketakwaan, hubungan yang dibangun berdasarkan percakapan dan saling
memahami, urusan yang dijalankan dengan bermusyawarah antara suami, istri, dan
anak-anak. Semua anggota keluarga merasa nyaman karena pemecahan masalah dengan
mengedepankan perasaan dan akal yang terbuka. Apabila terjadi perselisihan
dalam hal apa saja, tempat kembalinya berdasarkan kesepakatan dan agama[4],
karena syariat dalam hal ini bertindak sebagai pemisah.
Konsep keluarga dalam Islam cukup jelas, bahkan Islam sangat
mengutamakan pembinaan individu dan keluarga. Hal ini wajar karena keluarga
merupakan prasyarat baiknya suatu bangsa dan negara. Apabila semua keluarga
mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah akan memberikan hidayah
kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baitî jannatî (rumah ku
adalah surgaku).
Aplikasi Konsep
Keluarga SAMAWA
Sebagaimana
telah diketahui bersama bahwa perkawinan bukan sekedar pertemuan dua jenis
kelamin untuk memperoleh keturunan, apalagi hanya sekedar untuk menyalurkan
hasrat biologisnya. Namun, harus ada tujuan yang lebih substantif dan bermakna,
yakni terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh rasa kasih (mawaddah) dan
sayang (rah}mah), seperti tertera dalam QS. Ar-Rum[30]: 21)
Ayat ini
mengandung pelajaran penting bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk berketurunan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Hanya saja,
dalam tataran prosesnya, manusia berbeda dengan binatang. Ada aturan yang harus
dipenuhi sebelumnya, yakni melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama.
Melalui perkawinan yang sah itulah, manusia akan memperoleh ketenangan dan
ketenteraman,
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.[5] Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.[6]
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.[5] Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.[6]
Ayat di atas
memang menggunakan dhamīr kum (kata ganti untuk laki-laki), akan tetapi ia juga
ditujukan kepada kaum perempuan. Sebab, kata zauj bukan berarti suami, tetapi
menunjukkan arti menyatunya dua hal, dalam hal ini, suami dan istri. Sehingga
masing-masing disebut zauj bagi pasangannya, seorang perempuan akan disebut
istri si fulan; begitu juga seorang laki-laki, disebut suami si fulanah.
Sakīnah
sebagai tujuan perkawinan tidak diungkapkan dengan kata benda (isim), akan
tetapi dengan bentuk kata kerja (taskunu/yaskunu), yang menunjukkan arti hudūs/
(kejadian baru) dan tajaddud (memperbaharui). Artinya, sakinah bukan sesuatu
yang sudah jadi atau sekali jadi, namun ia harus diupayakan secara
sungguh-sungguh (mujāhadah) dan terus menerus diperbaharui, sebab ia bersifat
dinamis yang senantiasa timbul tenggelam. Atau dengan kata lain, sebuah perkawinan
yang sakinah bukan berarti sebuah perkawinan yang tidak pernah ada masalah,
sebab perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan, dan
setenang-tenangnya lautan pasti ada ombak. Namun demikian, gambaran sederhana
dari keluarga sakinah adalah jika masing-masing pihak dengan penuh kesungguhan
berusaha mengatasi masalah yang timbul, dengan didasarkan pada keinginan yang
kuat untuk menuju kepada terpenuhi ketenangan dan ketentraman jiwa tersebut,
sebagaimana diisyaratkan oleh redaksi litaskunu ilā bukan litaskunu ‘inda.
Di samping
itu, Al-Qur'an juga menyatakan bahwa sakīnah tersebut dimasukkan oleh Allah
melalui kalbu. Artinya, kedua belah pihak, yakni suami dan istri, harus
mempersiapkan kalbunya terlebih dahulu dengan kesabaran dan ketakwaan.
Dalam hal
ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa persiapan kalbu harus melalui beberapa
fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari sifat-sifat tercela (takhallī),
dengan cara menyadari atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat,
disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha menghindarinya.
Disusul dengan perjuangan/mujāhadah untuk melawan sifat-sifat tercela tersebut
dengan cara mengedepankan sifat-sifat terpuji (tahallī), seperti melawan
kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan
pengorbanan, sambil terus memohon pertolongan dari Allah subhānahū wa ta‘ālā.[7]
Pertemuan
dua jenis kelamin yang dijalin melalui perkawinan akan melahirkan kedamaian,
ketenangan, dan ketenteraman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian interaksi
antara keduanya secara aktif inilah akan melahirkan rasa cinta (mawaddah). Term
mawaddah, dalam konteks ayat ini, mengacu pada penjelasan sebelumnya, adalah
mengandung dua makna sekaligus yaitu mah}abbah (cinta) dan tamannī kaunihi (keinginan
untuk mewujudkan). Atau dengan kata lain, perasaan saling mencintai itulah yang
mendorong masing-masing pihak untuk saling mendekat. Oleh karena itu, mawaddah
bukanlah cinta biasa yang terkadang timbul tenggelam, bahkan pupus sama sekali.
Mawaddah, meminjam istilah M. Quraish Shihab, adalah “cinta plus”. Sebab,
ketika seseorang yang sudah dipenuhi perasaan mawaddah, maka cintanya akan
sangat kukuh dan tidak mudah putus, sebab hatinya senantiasa lapang dan kosong
dari kehendak buruk.[8]
Dari rasa
cinta yang mendalam inilah, masing-masing pihak bertekad untuk melakukan yang
terbaik dan berkorban untuk pasangannya. Di sinilah perkawinan yang bertujuan
membentuk keluarga yang sakīnah akan senantiasa diliputi dengan rahmah, yaitu
kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik kepada
pihak lain.[9] Ada
juga yang memahami rahmah adalah sesuatu yang menumbuhkan sifat kasihan dan
simpati atas dasar kekerabatan dan kasih sayang. Pendapat yang lain menyatakan
bahwa rahmah adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang
melahirkan rida Allah.
Dari
beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perkawinan yang
dirahmati, indikasinya adalah kedua belah pihak berusaha secara sungguh-sungguh
mencintai dengan tulus terhadap pasangannya masing-masing, serta memperlakukan
pasangannya dengan perlakuan yang baik, bahkan yang terbaik, serta keduanya
berusaha melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan rida Allah.
Ada juga
yang memahami rahmah di sini berarti anak, sebab dengan kehadiran
anak kehidupan rumah tangga akan semakin dinamis, masing-masing pihak akan
senantiasa terdorong untuk berbuat yang terbaik, terutama demi perkembangan
anaknya. Namun begitu, kandungan makna rahmah tetap lebih tinggi dari sekedar
anak. M. Quraish Shihab menggambarkan rahmah dalam kasus poligami, misalnya,
bahwa rahmah akan mampu meredam keinginan seorang suami untuk berpoligami,
ketika diketahui istrinya ternyata mandul atau tidak mampu memenuhi kebutuhan
seksualnya, meskipun dibolehkan. Dengan rahmah, ia akan berani berkorban demi
cinta dan kasihnya kepada sang istri. Begitu juga bagi sang istri, ia sangat
merasakan betapa pedihnya perasaan suaminya ketika keinginan dan kebutuhannya
tidak terpenuhi, maka dengan rahmah ia berani berkorban untuk “mengizinkan”
suaminya meraih dambaan dan keinginannya itu. Di sinilah cinta dan rahmat akan
teruji.[10]
Hanya saja,
yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa mawaddah dan rahmah tidak begitu
saja bisa diperoleh setelah terlaksananya perkawinan. Akan tetapi yang benar
adalah melalui perkawinan seseorang akan memperoleh mawaddah dan rahmah sebagai
landasan terciptanya keluarga yang sakīnah. Dengan demikian, masing-masing
pihak, suami-istri, harus saling bantu-membantu, dan dukung-mendukung demi
terpenuhinya mawaddah dan rahmah tersebut, sebagaimana yang bisa dipahami dari
redaksi: wa ja‘ala bainakum mawaddah wa rahmah.
Menurut
sementara pakar, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa ada beberapa
tahapan yang biasanya dilalui oleh pasangan suami-istri, sebelum mencapai
kehidupan keluarga sakīnah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, antara
lain, yaitu:
Pertama: Tahap Bulan Madu
Pada tahap
ini kedua pasangan benar-benar menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka
sangat romantis, penuh cinta, dan senda gurau. Pada tahap ini, biasanya
digambarkan bahwa masing-masing bersedia melalui kehidupan ini walau dalam
kemiskinan dan kekurangan.
Kedua: Tahap Gejolak
Pada tahap
ini, mulai timbul gejolak setelah berlalu masa bulan madu. Kejengkelan sudah
mulai tumbuh di hati, apalagi keduanya sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya
yang selama ini “sengaja” ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka
sudah mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekedar romantisme,
tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan
masing-masing pihak biasanya merasa menyesal kenapa harus memilih dia sebagai
pasangan hidupnya. Namun, dengan kesabaran dan toleransi akan menghantar mereka
pada tahap ketiga.
Ketiga: Tahap Perundingan dan Negosiasi
Tahap ini
lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Pada tahap ini
juga, mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika
mereka berhasil melewati tahap ini, maka akan membawa pada tahap berikutnya.
Keempat: Tahap Penyesuaian
Tahap ini
masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, sekaligus
kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangannya. Dalam tahap ini,
masingmasing akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan
kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi
cinta.
Kelima: Tahap Peningkatan Kualitas Kasih Sayang
Pada tahap
ini, masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya yang didasarkan pada
pengalaman bukan teori, bahwa hubungan suami istri memang sangat berbeda dengan
segala bentuk hubungan sosial lainnya. Pada tahap ini, masing-masing pihak
menjadi teman terbaik; dalam bercengkerama, berdiskusi, serta berbagai
pengalaman. Masing-masing pihak juga berusaha untuk melakukan yang terbaik demi
menyenangkan pasangannya.
Keenam: Tahap Kemantapan
Pada tahap
ini masing-masing pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai
realitas yang menetap, sehingga sehebat apa pun guncangan yang mendera mereka
tidak akan bisa menggoyahkan rumah tangganya. Memang, riak-riak kecil masih
akan tetap ada, namun riak-riak yang tidak akan menghanyutkan. Pada tahap
inilah mereka merasakan cinta yang sejati
Tahapan-tahapan
ini merupakan gambaran umum yang biasa dialami dalam hubungan suami-istri. Hal ini
juga bersifat relatif sehingga tidak bisa dikalkulasi secara matematis,
misalnya pada tahun ke berapa sebuah perkawinan akan mengalami tahapan pertama,
kedua, dan seterusnya. Begitu juga urutan ini tidaklah bersifat permanen,
tetapi merupakan hasil sebuah penelitian atau ijtihad. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan adanya tahapan-tahapan lain selain di atas.
Implementasi
Mu‘āsyarah bil-Ma‘rūf . Istilah ini dalam bentuknya yang asli, tidak ditemukan
di dalam Al-Qur'an. Akan tetapi, dalam bentuk yang lain ditemukan hanya sekali:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ
خَيْراً كَثِيراً
Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu
mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (QS.
an-Nisā'[04]: 19)
Ayat ini
turun sebagai respons dari tradisi buruk yang berkembang saat itu, dimana
seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, menjadi hak walinya, baik untuk
dinikahkan dengan orang lain maupun dinikahi sendiri.[11]
Namun, secara umum ayat ini berkenaan dengan perintah mempergauli istri dengan
baik dan tidak menyusahkannya.
Kata ‘āsyara
dengan kata jadiannya seluruhnya ada 27 kali, sedangkan yang menunjukkan arti
keluarga adalah term ‘asyīrah. Sementara perintah mu‘āsyarah, mengikuti pola
mufā‘alah pada mulanya berarti musāhabah atau pertemanan/pergaulan.[12]
Dari sinilah mu‘āsyarah dimaknai dengan mempergauli, bahkan pihak lain
yang dipergauli tersebut ada hubungan perkawinan (istri), kekerabatan
(saudara), atau orang lain tetapi sudah sangat kenal.[13]
Sementara ma‘rūf disebutkan di dalam Al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang digunakan
dalam beberapa konteks pembicaraan, antara lain:
- Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan (al-Baqarah/2: 178)
- Terkait dengan wasiat (al-Baqarah/2: 180)
- Terkait dengan persoalan talak, nafkah, mahar, idah, dan pergaulan suami-istri (al-Baqarah/2: 228-234)
- Terkait dengan dakwah (Āli ‘Imrān/3: 104 dan 110)
- Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim(an-Nisā'/4: 6)
- Terkait hubungan suami-istri (an-Nisā'/4: 19)
Term-term
ma‘rūf yang disebutkan dalam beberapa konteks di atas, seluruhnya berarti
kebaikan yang sudah dikenal baik oleh mereka yang tinggal di tempat tersebut.
Menurut al-Asfahānī, term ma‘rūf menyangkut segala bentuk perbuatan yang
dinilai baik oleh akal dan syarak.[14]
Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma‘rūf adalah kebaikan yang
bersifat lokal. Argumentasinya adalah jika akal dijadikan sebagai dasar
pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka dalam tataran praktisnya,
antara daerah satu dengan lainnya pasti berbeda di sini Al-Quran membedakan
term ma‘rūf dengan khair. Dengan demikian, menjadi sangat wajar jika mu‘āsyarah
bil-ma‘rūf dalam tataran praktisnya antara daerah satu dengan lainnya juga
berbeda.
Melihat
redaksinya, perintah mempergauli tersebut ditujukan untuk para suami kepada
istrinya, bukan sebaliknya. Bahkan perintah mu‘āsyarah bil-ma‘rūf tersebut
ditujukan kepada istri yang dicintai maupun tidak. Sehingga at-Tabarī
menyatakan, mu‘āsyarah bil-ma‘rūf pada prinsipnya adalah berakhlak yang baik
kepadanya dan memperlakukannya sesuai dengan tuntunan agama dan apa yang
berlaku di masyarakatnya, yakni dengan cara memberikan hak-haknya.[15]
Di antara contoh mu‘āsyarah bil-ma‘rūf yang dilakukan Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya adalah senantiasa
mempergauli istrinya dengan sangat indah, selalu menampakkan wajah
berseri-seri, bersenda gurau, sangat perhatian, memberi nafkah, dan
mempercayakan seluas-luasnya tentang pengelolaan keuangan keluarga, bercanda
dengan istri, mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan
menyempatkan diri untuk mengajaknya sebelum tidur.
Namun,
asy-Sya‘rāwī memiliki pandangan lain tentang ayat ini. Menurutnya, ayat ini
ditujukan kepada suami yang sudah tidak lagi mencintai istrinya. Asy-Sya‘rāwī
membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami-istri
dengan sikap ma‘rūf yang diperintahkan. Mawaddah pasti disertai dengan cinta,
sementara ma‘rūf tidak harus demikian. Argumentasinya adalah bahwa Allah
menafikan mawaddah atau cinta kepada orang-orang yang menentang Allah dan
RasulNya meskipun mereka adalah bapak, anak, dan saudara-saudara, seperti dalam
firman-Nya:4
لَا
تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya. (QS. al-Mujādalah[58]:
22)
Padahal
menurut asy-Sya‘rāwī, di ayat lain Allah memerintahkan seorang anak untuk tetap
bersikap ma‘rūf kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka memaksanya untuk
tidak percaya atas keesaan Allah, seperti dalam firman-Nya:
وَإِن
جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah
engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS.
Luqmān[31]: 15)
Kedua ayat
di atas memberi indikasi yang cukup jelas bahwa ma‘rūf berbeda dengan cinta.
Oleh karena itu, mawaddah atau cinta bukan sesuatu yang diperintahkan tetapi
kondisi psikologis yang harus diupayakan, sementara mempergauli atau
memperlakukan dengan baik adalah diperintahkan meskipun ia belum atau bahkan
tidak berhasil menghiasi hubungan suami-istri tersebut dengan mawaddah. Dengan
demikian, penjelasan asy-Sya‘rāwī di atas menjadi cukup penting untuk dipahami
dalam konteks hubungan suami-istri agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan
hanya disebabkan hilangnya rasa cinta. Rasa cinta boleh hilang, tetapi ia tetap diperintahkan untuk berlaku ma‘rūf.
Jika
hilangnya cinta menjadi sebab perceraian, maka perkawinan tersebut sebenarnya
bukan dilandasi atas cinta dan kasih, sebagaimana tergambar dalam term
mawaddah, tetapi cinta yang lahir dari hawa nafsu. Ia menikahi istrinya bukan untuk
membahagiakan istrinya sehingga, sebagai konsekuensi-nya, ia berani berkorban,
tetapi ia menikah untuk dirinya sendiri, sehingga ia menuntut istrinya untuk
berkorban demi dirinya. Tentu saja, hal ini bukanlah mu‘āsyarah bil- ma‘rūf. Di
sisi lain, pameo yang menyatakan, “rumput tetangga adalah lebih hijau” memang
bukanlah omong kosong, sebab puncak kepuasan seorang laki-laki terletak pada
perempuan. Di sinilah seorang laki-laki mudah terjerat oleh godaan perempuan,
jika hawa nafsunya tidak terkontrol serta tidak tercerahkan oleh nilai-nilai agama. Ia akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh
agama atau terdorong untuk menuruti keinginan nafsunya atas nama agama tanpa
mengindahkan kondisi psikologis pasangannya.
Dalam kondisi demikian, seringkali
hawa nafsu mengalahkan pertimbangan nurani dan akal sehatnya, pengetahuan
agamanya pun menjadi tidak bermanfaat atau bahkan digunakan sebagai alat untuk
memuaskan hawa nafsunya. Secara gamblang, dapat dilihat dalam kasus poligami
yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, kekerasan dalam rumah tangga atas
nama ketaatan, dan sebagainya. Dengan demikian, mu‘āsyarah bil-ma‘rūf bukan
sekedar mempergauli istri dengan segala bentuk kebaikan yang bersifat fisik
material, tetapi juga psikologis. Memang, bukan sesuatu yang sulit jika masih
ada cinta di hatinya, namun akan terasa sangat sulit jika sudah tidak mencintai
lagi -yang tentunya disebabkan oleh banyak faktor ditambah, di matanya istrinya
seringkali menjengkelkan. Di sinilah Al-Qur'an menegaskan:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata .Dan bergaullah
dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya (QS. an-Nisā' [4]: 19).
Dalam ayat
ini, larangan untuk menyakiti istri dirangkai dengan perintah mu‘āsyarah
bil-ma‘rūf , sebab mu‘āsyarah bil-ma‘rūf tidak mungkin terealisasi tanpa
dibarengi peniadaan sikap menyakiti. Ayat ini juga bisa dipahami sebagai
larangan untuk mempergauli istri dengan pergaulan yang buruk jika ditemukan
hal-hal yang tidak disukai. Redaksi fa‘asā an takrahū menempati posisi sebagai
jawaban dari redaksi fa in karihtumūhunna yang jawabnya dibuang karena sudah maklum. Sehingga dapat dipahami, “jika kamu tidak
menyukainya (istri) lagi, (maka bersabarlah) dan jangan tergesa-gesa untuk
menceraikannya.”Sebab tidak ada yang tahu, di balik ketidakcintaan itu justru
ada kebaikan atau menjadi sebab munculnya kebaikan-kebaikan. Di sisi lain, kata
‘asa menunjukkan bahwa kebaikan yang dijanjikan tersebut adalah amat dekat.
Ayat ini
telah mengajarkan sebuah hikmah yang besar, yakni jangan tergesa-gesa memvonis
buruk terhadap setiap apa yang tidak disukai, sebab boleh jadi di balik itu
terdapat kebaikan atau akan membawa dirinya untuk bisa memahami kebaikan ketika
menemukan jalan buntu. Kesadaran akan hal ini yang memungkinkan suami
senantiasa kuat dan sabar serta tidak egois dalam mempergauli istrinya dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Ayat di atas juga mengajarkan kepada kita
agar senantiasa memikirkan dan mempertimbangkan secara mendalam setiap
persoalan yang dihadapi dalam pergaulan suami istri, agar tidak teperdaya oleh
faktor-faktor luar yang boleh jadi menawarkan kebaikan tetapi hanya bersifat
sesaat.
Munculnya
ketidaksenangan di sini bukan disebabkan oleh faktor luar, misalnya ingin
berpoligami, perselingkuhan, dan sebagainya, namun semata-mata memang sudah
tidak mencintai lagi sehingga hubungan keduanya terancam bubar.
Oleh karena itu, sikap sabar menjadi cukup penting dalam kondisi semacam ini, yakni di saat perasaan cinta sudah mulai pudar atau istri sudah mulai “menjengkelkan”. Ketika seorang suami tetap sabar dalam kondisi ini, dengan selalu ber-mu‘āsyarah bil-ma‘rūf terhadap istrinya, di mana hal itu disadari sebagai perintah Allah, maka pada saat itulah Allah menjadikan kebaikan baginya sebagai balasan dari kesabaran dan ketulusannya dalam melaksanakan perintah-Nya.
Oleh karena itu, sikap sabar menjadi cukup penting dalam kondisi semacam ini, yakni di saat perasaan cinta sudah mulai pudar atau istri sudah mulai “menjengkelkan”. Ketika seorang suami tetap sabar dalam kondisi ini, dengan selalu ber-mu‘āsyarah bil-ma‘rūf terhadap istrinya, di mana hal itu disadari sebagai perintah Allah, maka pada saat itulah Allah menjadikan kebaikan baginya sebagai balasan dari kesabaran dan ketulusannya dalam melaksanakan perintah-Nya.
[1]
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat), (Bandung Mizan, 1994), 253.
[2] Ibid.,
hal. 253
[3] Sirajuddin Zar, Konsep Keluarga Dalam Agama Islam, dalam,
http://www.academia.edu, diakses 25 Desember 2016.
[4] QS. An-Nisa (04): 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
[6] Ibnu ‘Asyūr,
at-Tahrīr wat-Tanwīr, jilid XIII, 3234 dan ar-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, jilid 17,
4059.
[8] Ibid., hal. 88
[14]
Ibid., hal. 331
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan