‘Aisyah
Binti Abu Bakar
(Wafat
57 H)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka
lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah banyak
dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan
wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara
istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang
lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah.
Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah
bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril
membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana
diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong
sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah
istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman
Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang
munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin
Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang
lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku
Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama
yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak
mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman.
Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau
Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai
wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum
aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu
Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma,
berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa
jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang
kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang
melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus
menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik,
Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil
dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum
genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah
membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang
wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah.
Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku
melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan
membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’
Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,
‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar
kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka
dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat,
sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di
Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya
Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan
badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin.
Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya
Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta
kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan
penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya.
Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.”
Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga
hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan
bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi
wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan
maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman
tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada
istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy
itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah
uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap
istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam.
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan
dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu
disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan
Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang
lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta
pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah.”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa
ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar
berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan
Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan
besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin
saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya
hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu
kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan
di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata :
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah
pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang
lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah,
demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari
giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh
kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu,
Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada
hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan
keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika
beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau
berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga
kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda,
‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian,
kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR.
Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri
Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan
Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata,
”Demi
Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin
‘Aash, “Siapakah
manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya
lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits
muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti
Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan
seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan
Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati
Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah,
‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan
mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil
kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum.
Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya
Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab
berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang
dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan
Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah
sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar
jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena
itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu
berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada
istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga
wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena
Rasulullah wafat di pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori
lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang
menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya,
sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya
berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai
beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya
perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik
kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah
beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya.
Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika
itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali.
Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang,
sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika
pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka
mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah
kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang
dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun
unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan
kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil
yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah
menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah
fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi,
beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid
berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah
kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah
mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak
yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara
Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah
sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri
Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang
tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau
telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan
menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan
penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi
Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau
mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah
yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan
tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku
tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan
apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula
yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan
wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru
setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu
yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera
menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan
firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang
dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur : 11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah,
sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki
kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan
dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan
seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa
sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya
kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu.
Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan
makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata :
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan
Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah
meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya
Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu
adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya
merah. Dia telah tua renta ditelan masa.
Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang
lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan
memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku
ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain
mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika
orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan
putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan
pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan wanita
maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum.
Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan
istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika
suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah
menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi
Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan
memberimu nafkah selamanya”.
Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia
menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah
suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan
menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah
datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga
turunlah ayat :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara
yang baik….” (al-Baqarah : 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap
langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia
mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum.
Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain
rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan
Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan
pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat.
Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya
Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau
akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa
Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah
mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan
menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta
menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki
Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari
hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap
kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para
sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka
selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang
keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya.
Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.
Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang
diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan
junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah
bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu
fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah
mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih mengetahui tentang
keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai
sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut
ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain
hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika
sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan
Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau,
sebagairnana perkataannya ini :
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada
Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan
diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR.
Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya
langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang
suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung
dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini :
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat
‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang
takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60).
Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan
pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang
berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima).
Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri)
kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku
bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu
ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR.
Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan
hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits
menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang
langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu,
sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi
hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah
untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat
terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan
mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak
saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang
mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku
tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih
benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an
turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah,
dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku tetap
membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu, karena
aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang firman
Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi
mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu membujang.”
Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan
penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku
mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui
sesuatu.”
Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu
berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu
alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan
syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan
ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku
sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau
mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan
bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya,
kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun
yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais
berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu
perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan
Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada
kuburan ayahnya, Abu Bakar :
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur
atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau
berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu
menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan
musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan
menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah
ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu
dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah
yang terkenal, seperti :
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan
bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah
perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri
kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit
di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat
beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir
beliau menjelang wafat :
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku,
Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah
menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di
tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat
beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai
siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’
beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian
beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau
ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya
ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat
(beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam
tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR.
Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu,
dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia
memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau
lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia
di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang
yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar
dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa
dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati
yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di
dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS.
Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang
dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke makam Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman
menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan
bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para
nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah
sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan
Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan jarak waktu
wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan
oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan
dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia. Sebelum
meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di sisi
Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar
rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan
pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan
Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika
mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum
muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para
istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah
tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan
Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan
istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu
memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu
diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu
alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat
menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah.
Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga
Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika
bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di
sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau
menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat
malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa
Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan jika
belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya
pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika
orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran yang
Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang
perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak,
Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan
Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut. Aisyah
dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak
akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami
dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan Ali
dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari
kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan
karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih
bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala)
ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu
bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di
rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak
pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak
bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha
menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang
untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan
terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar
Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa yang mencari
keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya
pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan
kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam
sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad,
Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan,
tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh
kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah,
selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering
memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin
Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan
shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.”
Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang
shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik
atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku
tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai
melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah
pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa
sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata,
“Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu
sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah.
Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka
sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada
hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah
sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu
dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah
engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku
didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu
dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka
selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu
membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu
Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat
baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api
neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan
kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus
ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah
membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging
untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau
katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku
lakukan hal itu untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di
sisi-Nya. Amin.
Sumber :
- Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan