Oleh: Wildan Kurnia Saputra
Sebagaimana
telah dibahas pada postingan sebelumnya, cakupan keseluruhan tentang harta
bersama diatur dalam hukum posistif, baik undang-undang perkawinan maupun KHI.
Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama didasari
kedua sumber hukum positif tersebut. Sebagai contoh, jika pasangan suami istri
ternyata harus bercerai, pembagian harta bersama mereka harus jelas didasari
pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum positif tersebut. Jika tidak,
maka harus diselesaikan lewat jalur hukum, dalam hal ini Peradilan Agama.
Berikut ini,
penulis paparkan hukum positif sebagai acuan dasar mengenai harta bersama, yaitu:
1.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang
harta bersama dalm Undang-Undang No. 1 tAhun 1974 pada bab VII dengan judul
“harta bersama dalam perkawinan” yang terdiri dari tiga pasal yakni pasal 35,
36 dan 37. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa:
a.
Pasal 35
(1)
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2)
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri, dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak sudah menentukan lain.
b.
Pasal 36
(1)
Mengenai
harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2)
Mengenai
harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
c.
Pasal 37
(1)
Bilsa perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam ketentuan pasal 35 undang-undang
no. 1 tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri dari
harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh
selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu ia menjadi milik
bersama suami dan istri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama
suami istri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama. Sedangkan harta
bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami atau istri sebagai
hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan, dan oleh karena itu ia
menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami atau istri.[1]
Pengaturan harta bersama yang demikian
sesuai dengan hukum adat, dimana dalam hukum adat itu dibedakan dalam harta
gono-gini yang menjadi milik bersama suami istri, dan harta bawaan menjadi
milik masing-masing pihak suami atau istri. Diikutinya sistem hukum adat oleh
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional adalah sebagai
konsekwensi dari politik hukum Indonesia yang telah menggariskan bahwa
pembangunan hukum nasional haruslah berdasarkan hukum adat sebagai hukum
kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila.[2]
2.
Kompilasi
Hukum Islam
Berbeda halnya dengan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 soal harta bersama secara singkat hanya dalam tiga pasal, pasal 35
samapai pasal 37, maka dalam KHI soal harta bersama diatur secara lebih
enumeratif mulai pasal 85 sampai pasal 97.
Adapun pengaturan harta bersama
secara lebih lanjut, menyatakan :
a.
Pasal
85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
b. Pasal 86
(1)
Pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
(2)
Harta istri
tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami
tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
c. Pasal 87
(1)
Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)
Suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.
d.
Pasal
88
Apabila terjadi perselisian antara suami istri
tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
pengadilan agama.
e.
Pasal
89
Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta
istri maupun hartanya sendiri.
f.
Pasal
90
Istri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama,
maupun harta suami yang ada padanya.
g.
Pasal
91
(1) Harta
bersama sebagai tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud
atau tidak berwujud.
(2) Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga.
(3) Harta
bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
(4) Harta
bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.
h.
Pasal
92
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
i.
Pasal
93
(1)
Pertanggungjawaban
terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada harta masing-masing.
(2)
Pertanggungjawaban
terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada
harta bersama.
(3)
Bila harta
bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami.
(4)
Bila harta suami
tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.
j.
Pasal
94
(1)
Harta bersama
dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)
Pemilikan harta
bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang
sebagai tersebut ayat 1 dihitung pada saat berlangsung akad perkawinan yang
kedua, ketiga, atau yang keempat.
k.
Pasal
95
(1)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan pemerintahan no. 9 tahun
1975 dan pasal 136 ayat 2, suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama
untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan
harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
(2)
Selama masa sita
dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama.
l.
Pasal
96
(1)
Apabila terjadi
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama
(2)
Pembagian harta
bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
m. Pasal 97
Janda tergugat cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
lain dalam perkawinan.[3] Bersambung
!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan