RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (5): KETENTUAN HUKUM HARTA BERSAMA


KETENTUAN HUKUM HARTA BERSAMA
Oleh: Wildan Kurnia Saputra
Sebagaimana telah dibahas pada postingan sebelumnya, cakupan keseluruhan tentang harta bersama diatur dalam hukum posistif, baik undang-undang perkawinan maupun KHI. Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama didasari kedua sumber hukum positif tersebut. Sebagai contoh, jika pasangan suami istri ternyata harus bercerai, pembagian harta bersama mereka harus jelas didasari pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum positif tersebut. Jika tidak, maka harus diselesaikan lewat jalur hukum, dalam hal ini Peradilan Agama.
Berikut ini, penulis paparkan hukum positif sebagai acuan dasar mengenai harta bersama, yaitu:
1.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang harta bersama dalm Undang-Undang No. 1 tAhun 1974 pada bab VII dengan judul “harta bersama dalam perkawinan” yang terdiri dari tiga pasal yakni pasal 35, 36 dan 37. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa:
a.      Pasal 35
(1)   Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri, dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak sudah menentukan lain.
b.      Pasal 36
(1)   Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2)   Mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
c.      Pasal 37
(1)   Bilsa perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam ketentuan pasal 35 undang-undang no. 1 tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu ia menjadi milik bersama suami dan istri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami istri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami atau istri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan, dan oleh karena itu ia menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami atau istri.[1]
Pengaturan harta bersama yang demikian sesuai dengan hukum adat, dimana dalam hukum adat itu dibedakan dalam harta gono-gini yang menjadi milik bersama suami istri, dan harta bawaan menjadi milik masing-masing pihak suami atau istri. Diikutinya sistem hukum adat oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional adalah sebagai konsekwensi dari politik hukum Indonesia yang telah menggariskan bahwa pembangunan hukum nasional haruslah berdasarkan hukum adat sebagai hukum kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila.[2]
2.      Kompilasi Hukum Islam
Berbeda halnya dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 soal harta bersama secara singkat hanya dalam tiga pasal, pasal 35 samapai pasal 37, maka dalam KHI soal harta bersama diatur secara lebih enumeratif mulai pasal 85 sampai pasal 97.
             Adapun pengaturan harta bersama secara lebih lanjut, menyatakan :
a.      Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
b.     Pasal 86

(1)   Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
(2)   Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
c.      Pasal 87
(1)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)   Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.
d.     Pasal 88
Apabila terjadi perselisian antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama.
e.      Pasal 89
Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.
f.       Pasal 90
Istri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
g.      Pasal 91
(1)   Harta bersama sebagai tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)   Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
(4)   Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
h.     Pasal 92
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
i.        Pasal 93
(1)   Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada harta masing-masing.
(2)   Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama.
(3)   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami.
(4)   Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.
j.       Pasal 94
(1)   Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)   Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagai tersebut ayat 1 dihitung pada saat berlangsung akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.
k.     Pasal 95
(1)   Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan pemerintahan no. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat 2, suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
(2)   Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
l.        Pasal 96
(1)   Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
m.   Pasal 97
Janda tergugat cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian lain dalam perkawinan.[3] Bersambung !




[1] Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 182
[2] R. Purwoto S., Renungan Hukum, (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia, 1998), hal. 449
[3] Abdurrohman, “Kompilasi Hukum Islam”, hal. 134 -137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi