APA SAJA RUANG
LINGKUP HARTA BERSAMA ?
Oleh: Wildan
Kurnia Saputra
Pada postingan
sebelumnya, penulis telah memaparkan klasifikasi harta dalam perkawinan, yang
salah satunya adalah harta bersama. Kemudian, pada kesempatan kali ini penulis
akan mengungkap apa saja ruang lingkup harta bersama. Artinya, dalam tulisan
ini penulis akan coba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah
suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri
dalam perkawinan.
Dan tentunya,
sesuai dengan statement awal yang penulis tulis di postingan pertama tentang
Ruang lingkup harta bersama, bahwa semua materi yang tersaji adalah hasil
rekapan penulis dari berbagai sumber. Oleh karena itu, akan ditemukan pula footnote
yang bercokol disetiap quoted yang penulis lakukan.
Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala
harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi
harta bersama.
Gambaran ruang
lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai
berikut:[1]
a. Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan
apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada
saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut
menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau
istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri
dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan
berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara
suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri
harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak
dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan
sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama.[2]
Lain halnya
jika uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut berasal dari harta
pribadi suami atau istri, jika uang pembelian barang tersebut secara murni
berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta
bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi miliki pribadi suami atau istri.
b.
Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai
Dari Harta Bersama[3]
Patokan untuk menentukan
sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang
biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu
dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian.
Misalnya suami
istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian
terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum
dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun
rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami
sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan
berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang
demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.
c.
Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini
sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama
perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar bahwa
dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada
umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu
mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta
pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak
pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti
itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau
tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta
yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang
pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi[4]
d.
Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan
yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi
harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang
jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk
penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek
harta bersama.[5]
Dengan demikian, fungsi harta
pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah
kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas dari fungsinya dan
dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tapi
hasil yang tumbuh dari padanya jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini
berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Jika dalm perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang
timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami
istri jatuh menjadi harta bersama. Misalnya rumah yang dibeli dari harta
pribadi, bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh menjadi harta bersama.
Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta
pribadi dengan harta yeng diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi.
Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, tetapi secara
mutlak menjadi harta pribadi.[6]
e.
Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri
Segala penghasilan suami atau istri,
baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun
hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta
bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami
atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan
ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini
terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Bersambung !
[1] Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 275-278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan