RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (4): APA SAJA RUANG LINGKUP HARTA BERSAMA ?

APA SAJA RUANG LINGKUP HARTA BERSAMA ?
Oleh: Wildan Kurnia Saputra
Pada postingan sebelumnya, penulis telah memaparkan klasifikasi harta dalam perkawinan, yang salah satunya adalah harta bersama. Kemudian, pada kesempatan kali ini penulis akan mengungkap apa saja ruang lingkup harta bersama. Artinya, dalam tulisan ini penulis akan coba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami istri dalam perkawinan.
Dan tentunya, sesuai dengan statement awal yang penulis tulis di postingan pertama tentang Ruang lingkup harta bersama, bahwa semua materi yang tersaji adalah hasil rekapan penulis dari berbagai sumber. Oleh karena itu, akan ditemukan pula footnote yang bercokol disetiap quoted yang penulis lakukan.
 Memang benar, baik pasal 35 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
a.  Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
             Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa dianatara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama.[2]
Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut berasal dari harta pribadi suami atau istri, jika uang pembelian barang tersebut secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi miliki pribadi suami atau istri.

b.     Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai Dari Harta Bersama[3]
                Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian.
Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama.

c.       Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi[4]
d.      Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama.[5]
           Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas dari fungsinya dan dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tapi hasil yang tumbuh dari padanya jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dalm perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami istri jatuh menjadi harta bersama. Misalnya rumah yang dibeli dari harta pribadi, bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yeng diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi.[6]
e.       Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri
           Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau istri tidak terjadi pemisahan, maka dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Bersambung !


[1] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),  hal. 275-278
[2] Ibid, hal. 275
[3] Ibid, hal. 275
[4] Ibid, hal. 275
[5] Ibid, hal. 275
[6] Ibid, hal. 275

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi