Gambar: traditional-wedding.com |
SERBA - SERBI MAHAR
A.
Pengertian
Mahar
Kata mahar
berasal dari bahasa Arab yaitu al-mahr, jamaknya almuhur atau al-muhurah.
Menurut bahasa, kata al-mahr[1]
.Bermakna alshadaq yang dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal
dengan“maskawin”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.[2]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.[2]
Mahar menurut istilah ulama dan
ahli hukum Islam Indonesia diantaranya:
a.
Menurut Abdurrrahman al-Jaziri, maskawin adalah nama
suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang
disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita
itu untuk hidup bersama sebagai suami istri[3].
b.
Menurut Wahbah al-Zuhayli (1932)
mahar adalah harta yang merupakan hak istri yang diberikan oleh suami sebab
akad pernikahan atau hubungan badan(persetubuhan)secara hakiki.[4]
c.
Menurut Imam Taqiyuddin, maskawin (shadaq)
ialah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan
sebab nikah atau bersetubuh (wathi'), Di dalam al-Qur’an maskawin
disebut: shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunnah
disebut: mahar, ’aliqah dan ’aqr[5].
d.
Kamal Muchtar, mengatakan mahar adalah pemberian
wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon istrinya di
dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan
dari mereka untuk hidup sebagai suami istri[6].
e.
Pasal 1 sub d KHI, mahar adalah pemberian
dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita baik berbentuk barang,
uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[7].
f.
Menurut Mustafa Kamal Pasha, mahar adalah
suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan disebabkan karena terjadinya ikatan perkawinan[8].
Dari
berbagai definisi di atas nampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh golongan
Hanafiyah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara
definisi yang dikemukakan oleh golongan lainnya tidak membatasi hanya pada
harta saja. Dari sini dapat dipahami bahwa definisi-definisi selain golongan
Hanafiyah, memasukkan jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam
pengertian mahar, seperti jasa atau manfaat, mengajarkan beberapa ayat
al-Qur‟an dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa
barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa
barang disyaratkan bahwa barang itu harus berupa sesuatu yang mempunyai nilai
atau harga, halal dan suci.Sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah
berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.
Dari
rumusan-rumusan definisi di atas juga dapat dipahami bahwa mahar itu
merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan
menikahi calon istrinya. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh
bagi istriyang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya.
Keempat golongan ulama di atas sepakat bahwa mahar adalah hak calon
istri dari calon suamiyang muncul karena terjadinya akad nikah.
Berdasarkan
definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahar itu adalah suatu
pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri serta
disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan
untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Mahar, dalam
istilah yang sering dikemukakan oleh ulama, seperti tertera dalam kitab Subul al-Salam Syarh Bulug al- Maram menjelaskan
bahwa mahar mempunyai delapan nama sebagai berikut:
صَدَاقٌ
وَمَهْرٌ وَنِهْلَةٌ وَفَرِيْضَة # حِبَاءٌ وَأَجْرٌ ثُمَّ عُقْرٌ عَلَائِق
‘’Mahar mempunyai delapan nama yang
dinadzamkan dalam perkataannya: shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba’, ujr,
’uqr, ‘alaiq”[9].
B. Dasar Hukum Mahar
Hukum Islam
mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak
untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. Mahar merupakan
salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan
cintanya kepada calon istrinya.[10]
Ekualitas
laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar.
Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap
perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi
nafkah kepada istri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap istri,
sebagaimana dikemukakan ulama Syafi’iyah.[11]
Mengenai dasar
hukum mahar, para ulama sepakat terhadap eksistensinya berdasarkan ketetapan
dalam al-Qur’an, As-Sunnah. Berikut kami paparkan beberapa dalilnya:
QS. An-Nisa [4]
ayat 4
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ
نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
QS. An-Nisa [4]
ayat 24
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَلِيماً حَكِيماً
Maka isteri-isteri yang
telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
QS. Al-Maidah
[5] ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ
حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.
Hadits
Rasulullah SAW:
Landasan hukum
juga terdapat dalam hadits Nabi SAW, yang memperkuat
statemen tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri, bahkan banyak
hadits yang menegaskan akan hal ini. Karena terbatasnya tempat, disini akan
kami cantumkan satu saja sebagai sample yaitu:
وعن عائشة قالت: قال رسول لله صلى الله عليه و سلم : أیما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل
بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (أخرجه
الاربعة إلا النسائي وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)
“Dari ‘Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: perempuan
siapapun yang menikah dengan tanpa izin
dari walinya, maka pernikahannya batal, apabila suami telah mendzukhulnya, maka
wajib baginya memberikan mahar untuk
menghalalkan farjinya, namun apabila walinya tidak mau menikahkannya, maka
penguasa menjadi walinya.” (dikeluarkan
oleh empat perawi kecuali Nasa’i, dan dishahihkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu
Hiban dan Hakim)[12]
Firman Allah SWT dan hadits Nabi
SAW di atas menunjukkan
bahwa mahar sangat penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namun setiap suami wajib memberi
mahar sebatas kemampuannya. Ayat tersebut juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat
memberatkan.
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam mengatur
mahar secara panjang lebar dalam
Pasal-pasal 30, 31,32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang
hampir keseluruhannya
mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.
Lengkapnya adalah sebagai
berikut:[13]
Pasal
30
Calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pasal
31
Penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal
32
Mahar diberikan langsung kepada
calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal
33
(1) Penyerahan mahar dilakukan
dengan tunai.
(2) Apabila
calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahan menjadi
utang (calon) mempelai pria.
Pasal
34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian
menyebut jenis dan jumlah pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi
sahnya perkawinan.
Pasal
35
(1) Suami yang
menalak istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang
telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila
suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan
menjadi hak penuh istri.
(3) Apabila
perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan,
maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal
36
Apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan
jenisnya atau barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang yang hilang.
Pasal
37
Apabila terjadi selisih pendapat
mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke
Pengadilan Agama
Pasal
38
(1) Apabila mahar yang diserahkan
mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia
menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk
menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang
tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum
dibayar.
Pengaturan mahar dalam KHI bertujuan:[14]
a. Untuk menertibkan masalah mahar,
b. Menetapkan kepastian hukum bahwa
mahar bukan “rukun nikah”,
c. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan”,
bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi,
d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina
ketentuan dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan aparat penegak
hukum.
C. Tafsir 2 Ayat al-Qur’an Tentang Mahar
Pada
bagian ini, penulis akan coba memaparkan tafsiran dari berbagai ayat-ayat yang
berbicara seputar mahar dengan merujuk kepada tafsir-tafsir mu’tabar yang
klasik maupun kontemporer. Akan tetapi, mengingat banyaknya ayat yang
menyinggung tentang mahar dengan segenap problematikanya, maka pada tulisan ini
penulis hanya akan mengemukakan ayat-ayat –yang menurut penulis- cukup
subtansial dalam pembahasannya mengenai mahar.
1. QS.
An-Nisa [4] ayat: 4
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ
نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dalam sejarah asbab an-Nuzulnya, ditemukan riwaya yang dikeluarkan
oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Shalih, beliau berkata bahwa ayat ini diterunkan
sehubungan dengan kebiasaan orang tua (wali) yang menggunakan dan menerima
mahar tanpa seizin putrinya. Kemudian Allah swt. Melarang perbuatan tersebut.[15]
Kata Shaduqaat
dalam ayat tersebut di atas adalah bentuk jamak dari shaduqah dengan
dlommah huruf dal yang artinya mahar perempuan, berasal dari kata shadaqa
karena ia merupakan pemberian yang didahului oleh janji yang dipenuhi oleh
si pemberi. Kata nihlah dengan kasrah huruf nun; berarti
pemberian tanpa ada tujuan penggantian, dan dikatakan pula nuhlah dengan
dhommah huruf nun.[16]
Senada dengan al-Qurtubiy (w.671 H.) mengartikan kata” nihlah” sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Al-nihlah dan al-nuhlah dengan
mengkasrahkan dan mend}ammah-kan huruf nun, keduanya sering digunakan
dalam bahsa Arab, dan maknanya adalah pemberian[17].
Sementara al-Thabari makna (wa atu al-nisa shaduqa tihinna nihlah)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan“ ditujukan kepada para wali perempuan
bukan kepada suaminya[18].
Muhammad ‘Abduh
berkomentar, kata nihlah adalah sebuah pemberian ikhlas tanpa mengharap
balasan. Sementara kata shaduqat adalah bentuk jamak dari kata shadaqah
adalah persembahan yang diberikan kepada perempuan dengan cara sukarela
sebelum melakukan hubungan badan. Atas dasar ini, kata nihlah (pemberian)
muncul sebagai bentuk ekspresi kasih sayang dan ikatan kekerabatan yang wajib
dan tidak dapat ditawar-tawar seperti layaknya transaksi jual beli. Hal yang
sering terjadi dalam masyarakat di mana laki-laki hanya semata-mata memberi
mahar seperti layaknya hadiah biasa tanpa disertai perasaan kasih sayang dan
rasa kekerabatan.[19]
Pandangan yang
senada dijelaskan Khairuddin Nasution kata nihlah memberikan pengertian
bahwa status dari pemberian dalam perkawinan adalah suatu pemberian sukarela
tanpa pamrih sebagai simbol cinta dan kasih sayang dari calon suami kepada
calon istrinya, dan bukan sebagai uang pengganti untuk memiliki si perempuan
dan untuk mendapatkan layanan karena pada
prinsipnya pasangan suami istri adalah pasangan yang saling melayani dan dilayani.
Sehingga diharapkan dengan adanya status mahar seperti ini apa yang menjadi
tujuan utama sebuah keluarga membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah
antara suami dan istri dapat terwujud[20].
Muhammad
Mutawalli al-Sha‘rawi (1911-1998) menjelaskan, bahwa maksud shaduqatihinna adalah
mahar, sedangkan nihlah adalah pemberian. Apakah shidaq itu
pemberian, jawabnya “tidak”. Shidaq adalah hak dan ongkos pengganti
digunakannya alat kelamin. Tetapi Allah ingin menjelaskan bahwa hendaklah
pemberian mahar kepada perempuan seperti nihlah atau pemberian.
Laki-laki menikah dengan perempuan bagi laki-laki mendapat kenikmatan pada
dirinya, demikian juga perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan keturunan. Diharapakan seorang laki-laki tidak mengambil sesuatu
dari mahar, karena perempuan itu akan diambil kenikmatannya dan juga terkadang
mendapat anak darinya. Dia akan bekerja di rumah dan laki-laki akan bersusah
payah keluar rumah, tetapi pemberian ini ditetapkan oleh Allah untuk memuliakan
perempuan[21].
Sementara
Sayyid Quthb (1906-1966) menjelaskan bahwa maskawin dinamai oleh ayat ini shaduqat
bentuk jamak dari shaduqah, yang terambil dari akar kata shadaqa yang
berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu di dahului oleh janji sehingga
pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji[22].
Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan
kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup
istrinya, tetapi, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia
rumah tangga, khususnya rahasia terdalam.[23]
Mahar adalah simbol kejujuran, tanda persetujuan dan pemberian wajib yang tidak
mengharapkan imbalan dan balasan[24].
Quraish Shihab
(1944) memperjelas makan shaduqat. Maskawin dinamai shaduqat diperkuat
oleh lanjutan ayat, yakni nihlah. Kata ini berarti pemberian yang tulus
tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga dapat berarti agama, pandangan
hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan
ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa mengharapkan imbalan, bahkan
diberikannya karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya[25].
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam al-Qur’an tentang tafsir ayat dari QS. An-Nisa di atas, bahwasanya mahar
(maskawin) adalah pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri dengan
sukarela disertai dengan cinta dan kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.
Kata Nihlah yang didahului kata shaduqat diikat oleh janji untuk membuktikan
kebenaran cinta dan kasih sayang sehingga dengan ikatan janji itu maka
terdoronglah atas dasar tuntuan agama untuk memberikan mahar secara suka rela
tanpa mengharapkan imbalan. Mahar merupak simbol kejujuran dan tanda
persetujuan kedua belah pihak. Mahar diberikan kepada istri adalah merupakan
kemuliaan dan kehormatan bagi perempuan.
Selanjutnya, Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy dalam tafsirnya
“Tafsir Al-Munir” Juz 2 halaman 573-575, pemahaman hukum yang tercover dalam
ayat tersebut diatas adalah:
a. Wajib
memberikan mahar kepada istri
Dalam kitab Umdah at-Tafsir, tercatat bahwa Ibnu Zaid berkata,
“Janganlah engkau nikahi dia kecuali dengan sesuatu yang wajib banginya”.
Ulama sepakat bahwa batas maksimal mahar itu adalah tidak terbatas,
tergangung kemauan sang suami. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dengan
batas minimal mahar.[26]
b.
Istri boleh menyerahkan haknya
(maharnya) kembali kepada suaminya & Suami boleh memakai mahar dengan
seizin istrinya
Jika si istri
secara suka rela menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah dikasih atau setelah
disebutkan jumlahnya, maka suami boleh memakainya, memakannya dengan cara baik
dan halal. Karena itu, dalam potongan ayat selanjutnya Allah swt. Berfirman:
فَإِن
طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Lantas,
sekalipun begitu suami harus ihtiath (berhati-hati) dalam hal menerima kembali
mahar yang telah diberikan kepada istrinya –sekalipun istrinya yang memberinya-
. Para ulama berpendapat, suami boleh mengambil atau memakai mahar tesebut
berdasarkan izin istrinya jika dalam dararut saja. Jadi, dalam keadaan normal
sebaiknya suami tidak sekoyong-konyong mau menerima hibah yang berupa mahar
tersebut.
c. Suami
wajib memberikan mahar jika sudah berkhalwat dengan istrinya
Pemahaman
ini didasarkan dengan keumuman lafdz dari QS. An-Nisa ayat 4 tersebut, tetapi
keumuman ayat ini –kata Wahbah az-Zuhaily- diperinci dengan QS. Al-Baqarah ayat 237:
وَإِن
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ
تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah , dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan.
2.
QS. An-Nisa [4]
ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم
مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم
بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Asbab
an-Nuzul ayat ini ditemukan beberapa riwayat, yaitu:
Diriwayatkan
oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa‟id
Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami
dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap
tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga
turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.[27]
Diriwayatkan
oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini
(An-Nisa ayat 24) di waktu perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan
kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri
mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada
Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.[28]
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari Ma‟mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa
orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan
harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk
mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa
ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.[29]
Segolongan
ulama mengatakan, bahwa ayat tersebut di atas turun berkaitan dengan nikah
mut’ah. Akan tetapi, penulis tidak akan membahas nikah mut’ah disini. Penulis
hanya akan menyinggung tetang mahar yang terkandung di dalamnya.
Lantas, apa
saja pemahaman tafsir mengenai mahar yang bisa ditelisik dari ayat ini ?
Berikut ini kami paparkan beberapa penjelasan para ulama dalam tafsirnya
masing-masing:
Penjelasan tentang mahar bagi perempuan sebagai perbandingan istimta’
sebagai penguat ayat sebelumnya yaitu wa atun nisa’ shaduqatihinna
nihlah baik menurut mayoritas ulama‟ yang menjadikan mahar sebagai seuatu
yang wajib diserahkan, atau menurut Abu Hanifah yang menjadikan mahar berhak
hanya untuk istri yang telah disepakati, dari situ secara dhahir kata ma
pada ayat tersebut dijadikan sebagai isim syarat yang membenarkan adanya
istimta’, sebagai penjelasan sesungguhnya tidak diperbolehkan meniadakan
mahar dari nikah, karena mahar merupkan pembeda antara nikah dan zina, karena
itu khabarnya diiringi dengan huruf fa’ sebagai jawab syarat dari
ayat faatuhunna ujuruhnna faridah.[30]
Istimta’ yakni mengambil manfaat, huruf sin dan ta’ dalam kata
istimta’ menunjukkan makna mubalaghah, Allah menamai nikah dengan
istimta’ karena istimta’ mengandung makna kemanfaatan dunia, semua
kemanfaatan dunia adalah mata’, Allah berfirman wamal hayatut
dunya illa mata’.[31]
Dhamir yang di jar kan dengan ba’ kembali kepada kata
ma. Sedangkan min menunjukkan makna tab’id (sebagian),
yakni jika kalian bersenang-senang dengan mereka maka berilah maharnya, maka
tidak diperbolehkan melakukan istimta’ tanpa mahar.[32]
Atau kata ma menunjukkan makna perempuan, dan dlamir
yng di jar kan dengan kata ba’ kembali kepada kata istimta’
yang diambil dari kata istamta’tum dan lafadz min mengandung
makna bayan (penjelsan), yaitu setiap perempuan yang akan kalian
nikmati maka berilah maharnya.
Dan bisa juga lafadz ma sebagai maushul maka masuknya
fa’ dalam khabarnya maka fungsinya ma sebagai syarat,
maka di datangkanlah dengan kata (ma) dan tidak digambarkan
dengan kata man karena yang dimaksud adalah jenis perempuan tidak
tertuju pada satu perempuan saja karena ma digunakan sebagai yang
berakal itu lebih banyak bukan sebaliknya. Kata faridah sebagai hal dari
lafadz ujurahunna yakni yang telah di tetapkan atau yang
ditentukan ukurannya.23
Adapun nikah tafwid ialah nikah yang dilaksanakn tanpa
menyebutkan mahar. Dan diperbolehkan menurut fuqaha‟ akan tetapi dengan syarat
tidak memberikan kuasa penuh kecuali mereka telah mengetahhui kebiasaan yang
dilakukan, kata faridah mengandung makna ukuran, karena itu Allah
berfirman wala junaha alaikum fima taradaytum bihi min ba’dhil faridhah,
yaitu apa yang kamu tambahkan dari mahar tersebut atau mereka perempuan telah
merelakan untuk menggugurkan mahar. Inilah makna ayat yang lebih jelas.24
[1] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
No.
1/1974 sampai KHI, Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group, 2006, hal. 64.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009), 84.
[3] Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib
al-Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub ’Ilmiyah, 1990, hal. 89.
[4] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989), Jilid 7, hal. 251. Baca juga ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shari‘ah al-Islamiyah (Beyrut: Mu’assasah
al-Risalah, 1993), Jilid 7, 49. Baca juga Husein Muhammad, Fiqh Perempuan
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKIS,2001), 108. Lihat
pula Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’a>n, al-Sunnah dan
Pendapat para Ulama (Bandung: Karisma, 2008), hal. 131.
[5] Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini
al-Hishni al-Dimasyqy al-Syafi’i, Kifayah al- Akhyar fii Halli Ghayah al-
IKhtisar, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiah,1990, hal. 60.
[6] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974, hal. 78.
[7] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademi Presindo, 1992, hal. 113.
[8] Mustafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa
Mandiri, 2009, hal. 274.
[9] Imam Muhammad bin Ismail al- Yamin Ashin’ani, Subul al- Salam
Syarh Bulug al-Maram, juz, III, Bairut Libanon : Darul Kutub al-
‘Ilmiyah, 1988,hal.282.
[10]
Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan & Rumah
Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008), hal.12.
[11]
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hal. 124.
[12]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Indonesia:
Al-Harmain,2011, hal. 214.
[13] Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia,
2008), hal.10.
[14]
Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007),hal. 40.
[15]
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr,
1989), Jilid 2, hal. 566-567
[16]
Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dar Sahnun li
al-Nashr wa al-Tawzi’, t.th.), Jilid 4, hal 230. Kata nihlatan dibaca nasab
karena kedudukannya sebagai hal dari ayat (Shaduqatihinna), akan tetapi boleh
saja hal disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) meskipun shahibul halnya
bentuk jamak (banyak), karena yang dikehendaki dari bentuk mufrad ini adalah
jenis yang tepat untuk seluruh individu, dan boleh juga kata nihlatan dibaca
nasab sebagai masdariyah untuk kata (atuu) untuk menjelaskan jenis pemberian
yang maksudnya memberikan kemuliaan. Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa
al-Tanwir, Jilid 4, hal.230.
[17]
Abi’ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubiy, al-Jami‘ li Ahkam
al-Qur’an, (Beyrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), hal.1594. Al-Raghib
al-Asfahani menjelaskan kata al-nahlah dan al-nihlah adalah pemberian sukarela
dan pemberian ini berbeda dengan hibah, sebab setiap hibah sudah pasti termasuk
nihlah, sedangkan tidak setiap nihlah adalh hibah. Menurutnya kata nihlah
diambil dari kata al-nahl apabila dilihat dari fi’il seperti, nahaltahu a
‘thaytuhu ‘athiyyah artinya saya memberikannya sebuah pemberian, maka hal itu
dinamakan dengan mahar, ini bermakna bahwa seorang laki-laki yang menikahi
wanita tidak berhak menggaulinya sampai ia memberikan mahar sebagai penganti
kehormatan dirinya, demikian juga pemberian seorang laki-laki terhadap anaknya.
Baca al-Raghib al-Asfahani, Mu‘jam Mufradat Alfadz al-Qur’an (Beyrut: Dar
al-Fikr, t.th.), hal 506.
[18] Abu
Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ahyi al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 3, hal. 293.
[19]
Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: t.p, 1973), Jilid 4, hal.
307-308.
[20]
Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I),
Yogyakarta: ACADEMIA & TAZZATA, 2004), hal.168.
[21]
Mutawalli al-Sha‘rawi, Tafsir al-Sha‘rawi, (al-Qahirah: Akhbar al-Yawm, 1999),
Jilid 4, 2014.
[22]
Muh}ammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 4, Op.,Cit. Hal.
230.
[23]
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati,2008),Volume 2, hal. 416.
[24]
Hasbi Hj.Muh.Ali, Raihanah Hj.Azahari “Objektif Pemberian Mahar”dalam International
Journal Fiqh, No.10 (2013), 59.
http://umexpert.um/edu.my/file/publication/00002815_95293-pdf. (diakses 17
Januari 2017).
[25]M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Volume, 2,
Op.Cit.416.
[27] Anggota IKAPI, Asbabun
Nuzul Latar Belakang
historis turunnya ayat-ayat
al-Qur’an (Bandung:
Co Penerbit Diponogoro, 2009), hal. 134
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Ibnu Atsur, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir, juz 5.
Op.,Cit.hal. 9
[31] Anggota IKAPI, Asbabun
Nuzul Latar Belakang
historis turunnya ayat-ayat
al-Qur’an ,Op., Cit. hal. 134
[32] Ibnu
Atsur, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir, juz 5. Op.,Cit.hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan