RADIO DEWI ANJANI

SERBA - SERBI MAHAR

Gambar: traditional-wedding.com
 SERBA - SERBI MAHAR

A.    Pengertian Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-mahr, jamaknya almuhur atau al-muhurah. Menurut bahasa, kata al-mahr[1] .Bermakna alshadaq yang dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal dengan“maskawin”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.[2]

Mahar menurut istilah ulama dan ahli hukum Islam Indonesia diantaranya:
a.       Menurut Abdurrrahman al-Jaziri, maskawin adalah nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri[3].
b.      Menurut Wahbah al-Zuhayli (1932) mahar adalah harta yang merupakan hak istri yang diberikan oleh suami sebab akad pernikahan atau hubungan badan(persetubuhan)secara hakiki.[4]
c.       Menurut Imam Taqiyuddin, maskawin (shadaq) ialah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi'), Di dalam al-Qur’an maskawin disebut: shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunnah disebut: mahar, ’aliqah dan ’aqr[5].
d.      Kamal Muchtar, mengatakan mahar adalah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri[6].
e.       Pasal 1 sub d KHI, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[7].
f.       Menurut Mustafa Kamal Pasha, mahar adalah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan disebabkan karena terjadinya ikatan perkawinan[8].
Dari berbagai definisi di atas nampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara definisi yang dikemukakan oleh golongan lainnya tidak membatasi hanya pada harta saja. Dari sini dapat dipahami bahwa definisi-definisi selain golongan Hanafiyah, memasukkan jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti jasa atau manfaat, mengajarkan beberapa ayat al-Qur‟an dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa barang disyaratkan bahwa barang itu harus berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal dan suci.Sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.
Dari rumusan-rumusan definisi di atas juga dapat dipahami bahwa mahar itu merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh bagi istriyang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya. Keempat golongan ulama di atas sepakat bahwa mahar adalah hak calon istri dari calon suamiyang muncul karena terjadinya akad nikah.
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahar itu adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri serta disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Mahar, dalam istilah yang sering dikemukakan oleh ulama, seperti tertera dalam  kitab Subul al-Salam Syarh Bulug al- Maram menjelaskan bahwa mahar mempunyai delapan nama sebagai berikut:
صَدَاقٌ وَمَهْرٌ وَنِهْلَةٌ وَفَرِيْضَة   #   حِبَاءٌ وَأَجْرٌ ثُمَّ عُقْرٌ عَلَائِق
’Mahar mempunyai delapan nama yang dinadzamkan dalam perkataannya: shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ’uqr, ‘alaiq”[9].
B.     Dasar Hukum Mahar
Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar. Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan cintanya kepada calon istrinya.[10]
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi’iyah.[11]
Mengenai dasar hukum mahar, para ulama sepakat terhadap eksistensinya berdasarkan ketetapan dalam al-Qur’an, As-Sunnah. Berikut kami paparkan beberapa dalilnya:
QS. An-Nisa [4] ayat 4
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
QS. An-Nisa [4] ayat 24
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
QS. Al-Maidah [5] ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Hadits Rasulullah SAW:
Landasan hukum juga terdapat dalam hadits Nabi SAW, yang memperkuat statemen tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri, bahkan banyak hadits yang menegaskan akan hal ini. Karena terbatasnya tempat, disini akan kami cantumkan satu saja sebagai sample yaitu:
وعن عائشة قالت: قال رسول لله  صلى الله عليه و سلم : أیما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (أخرجه الاربعة إلا النسائي وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)
“Dari ‘Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: perempuan siapapun yang menikah dengan tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, apabila suami telah mendzukhulnya, maka wajib baginya memberikan mahar untuk menghalalkan farjinya, namun apabila walinya tidak mau menikahkannya, maka penguasa menjadi walinya.” (dikeluarkan oleh empat perawi kecuali Nasa’i, dan dishahihkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hiban dan Hakim)[12]
Firman Allah SWT dan hadits Nabi SAW di atas menunjukkan bahwa mahar sangat penting meskipun bukan sebagai rukun nikah, namun setiap suami wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Ayat tersebut juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal-pasal 30, 31,32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:[13]
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahan menjadi utang (calon) mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35
(1) Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istri.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama

Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

Pengaturan mahar dalam KHI bertujuan:[14]
a. Untuk menertibkan masalah mahar,
b. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan “rukun nikah”,
c. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan”, bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi,
d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.

C.    Tafsir 2 Ayat al-Qur’an Tentang Mahar
Pada bagian ini, penulis akan coba memaparkan tafsiran dari berbagai ayat-ayat yang berbicara seputar mahar dengan merujuk kepada tafsir-tafsir mu’tabar yang klasik maupun kontemporer. Akan tetapi, mengingat banyaknya ayat yang menyinggung tentang mahar dengan segenap problematikanya, maka pada tulisan ini penulis hanya akan mengemukakan ayat-ayat –yang menurut penulis- cukup subtansial dalam pembahasannya mengenai mahar.
1.      QS. An-Nisa [4] ayat: 4
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dalam sejarah asbab an-Nuzulnya, ditemukan riwaya yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Shalih, beliau berkata bahwa ayat ini diterunkan sehubungan dengan kebiasaan orang tua (wali) yang menggunakan dan menerima mahar tanpa seizin putrinya. Kemudian Allah swt. Melarang perbuatan tersebut.[15]
Kata Shaduqaat dalam ayat tersebut di atas adalah bentuk jamak dari shaduqah dengan dlommah huruf dal yang artinya mahar perempuan, berasal dari kata shadaqa karena ia merupakan pemberian yang didahului oleh janji yang dipenuhi oleh si pemberi. Kata nihlah dengan kasrah huruf nun; berarti pemberian tanpa ada tujuan penggantian, dan dikatakan pula nuhlah dengan dhommah huruf nun.[16] Senada dengan al-Qurtubiy (w.671 H.) mengartikan kata” nihlah” sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Al-nihlah dan al-nuhlah dengan mengkasrahkan dan mend}ammah-kan huruf nun, keduanya sering digunakan dalam bahsa Arab, dan maknanya adalah pemberian[17]. Sementara al-Thabari makna (wa atu al-nisa shaduqa tihinna nihlah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan“ ditujukan kepada para wali perempuan bukan kepada suaminya[18].
Muhammad ‘Abduh berkomentar, kata nihlah adalah sebuah pemberian ikhlas tanpa mengharap balasan. Sementara kata shaduqat adalah bentuk jamak dari kata shadaqah adalah persembahan yang diberikan kepada perempuan dengan cara sukarela sebelum melakukan hubungan badan. Atas dasar ini, kata nihlah (pemberian) muncul sebagai bentuk ekspresi kasih sayang dan ikatan kekerabatan yang wajib dan tidak dapat ditawar-tawar seperti layaknya transaksi jual beli. Hal yang sering terjadi dalam masyarakat di mana laki-laki hanya semata-mata memberi mahar seperti layaknya hadiah biasa tanpa disertai perasaan kasih sayang dan rasa kekerabatan.[19]
Pandangan yang senada dijelaskan Khairuddin Nasution kata nihlah memberikan pengertian bahwa status dari pemberian dalam perkawinan adalah suatu pemberian sukarela tanpa pamrih sebagai simbol cinta dan kasih sayang dari calon suami kepada calon istrinya, dan bukan sebagai uang pengganti untuk memiliki si perempuan dan untuk mendapatkan layanan karena pada prinsipnya pasangan suami istri adalah pasangan yang saling melayani dan dilayani. Sehingga diharapkan dengan adanya status mahar seperti ini apa yang menjadi tujuan utama sebuah keluarga membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah antara suami dan istri dapat terwujud[20].
Muhammad Mutawalli al-Sha‘rawi (1911-1998) menjelaskan, bahwa maksud shaduqatihinna adalah mahar, sedangkan nihlah adalah pemberian. Apakah shidaq itu pemberian, jawabnya “tidak”. Shidaq adalah hak dan ongkos pengganti digunakannya alat kelamin. Tetapi Allah ingin menjelaskan bahwa hendaklah pemberian mahar kepada perempuan seperti nihlah atau pemberian. Laki-laki menikah dengan perempuan bagi laki-laki mendapat kenikmatan pada dirinya, demikian juga perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keturunan. Diharapakan seorang laki-laki tidak mengambil sesuatu dari mahar, karena perempuan itu akan diambil kenikmatannya dan juga terkadang mendapat anak darinya. Dia akan bekerja di rumah dan laki-laki akan bersusah payah keluar rumah, tetapi pemberian ini ditetapkan oleh Allah untuk memuliakan perempuan[21].
Sementara Sayyid Quthb (1906-1966) menjelaskan bahwa maskawin dinamai oleh ayat ini shaduqat bentuk jamak dari shaduqah, yang terambil dari akar kata shadaqa yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu di dahului oleh janji sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji[22]. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia rumah tangga, khususnya rahasia terdalam.[23] Mahar adalah simbol kejujuran, tanda persetujuan dan pemberian wajib yang tidak mengharapkan imbalan dan balasan[24].
Quraish Shihab (1944) memperjelas makan shaduqat. Maskawin dinamai shaduqat diperkuat oleh lanjutan ayat, yakni nihlah. Kata ini berarti pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa mengharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya[25].
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam al-Qur’an tentang tafsir ayat dari QS. An-Nisa di atas, bahwasanya mahar (maskawin) adalah pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri dengan sukarela disertai dengan cinta dan kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan. Kata Nihlah yang didahului kata shaduqat diikat oleh janji untuk membuktikan kebenaran cinta dan kasih sayang sehingga dengan ikatan janji itu maka terdoronglah atas dasar tuntuan agama untuk memberikan mahar secara suka rela tanpa mengharapkan imbalan. Mahar merupak simbol kejujuran dan tanda persetujuan kedua belah pihak. Mahar diberikan kepada istri adalah merupakan kemuliaan dan kehormatan bagi perempuan.
Selanjutnya, Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy dalam tafsirnya “Tafsir Al-Munir” Juz 2 halaman 573-575, pemahaman hukum yang tercover dalam ayat tersebut diatas adalah:
a.  Wajib memberikan mahar kepada istri
Dalam kitab Umdah at-Tafsir, tercatat bahwa Ibnu Zaid berkata, “Janganlah engkau nikahi dia kecuali dengan sesuatu yang wajib banginya”.
Ulama sepakat bahwa batas maksimal mahar itu adalah tidak terbatas, tergangung kemauan sang suami. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dengan batas minimal mahar.[26]
b.      Istri boleh menyerahkan haknya (maharnya) kembali kepada suaminya & Suami boleh memakai mahar dengan seizin istrinya
Jika si istri secara suka rela menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah dikasih atau setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh memakainya, memakannya dengan cara baik dan halal. Karena itu, dalam potongan ayat selanjutnya Allah swt. Berfirman:
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Lantas, sekalipun begitu suami harus ihtiath (berhati-hati) dalam hal menerima kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya –sekalipun istrinya yang memberinya- . Para ulama berpendapat, suami boleh mengambil atau memakai mahar tesebut berdasarkan izin istrinya jika dalam dararut saja. Jadi, dalam keadaan normal sebaiknya suami tidak sekoyong-konyong mau menerima hibah yang berupa mahar tersebut.
c.  Suami wajib memberikan mahar jika sudah berkhalwat dengan istrinya
Pemahaman ini didasarkan dengan keumuman lafdz dari QS. An-Nisa ayat 4 tersebut, tetapi keumuman ayat ini –kata Wahbah az-Zuhaily- diperinci  dengan QS. Al-Baqarah ayat 237:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah , dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

2.      QS. An-Nisa [4] ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Asbab an-Nuzul ayat ini ditemukan beberapa riwayat, yaitu:
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa‟id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.[27]
Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 24) di waktu perang Humain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.[28]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ma‟mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.[29]
Segolongan ulama mengatakan, bahwa ayat tersebut di atas turun berkaitan dengan nikah mut’ah. Akan tetapi, penulis tidak akan membahas nikah mut’ah disini. Penulis hanya akan menyinggung tetang mahar yang terkandung di dalamnya.
Lantas, apa saja pemahaman tafsir mengenai mahar yang bisa ditelisik dari ayat ini ? Berikut ini kami paparkan beberapa penjelasan para ulama dalam tafsirnya masing-masing:
Penjelasan tentang mahar bagi perempuan sebagai perbandingan istimta’ sebagai penguat ayat sebelumnya yaitu wa atun nisa’ shaduqatihinna nihlah baik menurut mayoritas ulama‟ yang menjadikan mahar sebagai seuatu yang wajib diserahkan, atau menurut Abu Hanifah yang menjadikan mahar berhak hanya untuk istri yang telah disepakati, dari situ secara dhahir kata ma pada ayat tersebut dijadikan sebagai isim syarat yang membenarkan adanya istimta’, sebagai penjelasan sesungguhnya tidak diperbolehkan meniadakan mahar dari nikah, karena mahar merupkan pembeda antara nikah dan zina, karena itu khabarnya diiringi dengan huruf fa’ sebagai jawab syarat dari ayat faatuhunna ujuruhnna faridah.[30]
Istimta’ yakni mengambil manfaat, huruf sin dan ta’ dalam kata istimta’ menunjukkan makna mubalaghah, Allah menamai nikah dengan istimta’ karena istimta’ mengandung makna kemanfaatan dunia, semua kemanfaatan dunia adalah mata’, Allah berfirman wamal hayatut dunya illa mata’.[31]
Dhamir yang di jar kan dengan ba’ kembali kepada kata ma. Sedangkan min menunjukkan makna tab’id (sebagian), yakni jika kalian bersenang-senang dengan mereka maka berilah maharnya, maka tidak diperbolehkan melakukan istimta’ tanpa mahar.[32]
Atau kata ma menunjukkan makna perempuan, dan dlamir yng di jar kan dengan kata ba’ kembali kepada kata istimta’ yang diambil dari kata istamta’tum dan lafadz min mengandung makna bayan (penjelsan), yaitu setiap perempuan yang akan kalian nikmati maka berilah maharnya.
Dan bisa juga lafadz ma sebagai maushul maka masuknya fa’ dalam khabarnya maka fungsinya ma sebagai syarat, maka di datangkanlah dengan kata (ma) dan tidak digambarkan dengan kata man karena yang dimaksud adalah jenis perempuan tidak tertuju pada satu perempuan saja karena ma digunakan sebagai yang berakal itu lebih banyak bukan sebaliknya. Kata faridah sebagai hal dari lafadz ujurahunna yakni yang telah di tetapkan atau yang ditentukan ukurannya.23
Adapun nikah tafwid ialah nikah yang dilaksanakn tanpa menyebutkan mahar. Dan diperbolehkan menurut fuqaha‟ akan tetapi dengan syarat tidak memberikan kuasa penuh kecuali mereka telah mengetahhui kebiasaan yang dilakukan, kata faridah mengandung makna ukuran, karena itu Allah berfirman wala junaha alaikum fima taradaytum bihi min ba’dhil faridhah, yaitu apa yang kamu tambahkan dari mahar tersebut atau mereka perempuan telah merelakan untuk menggugurkan mahar. Inilah makna ayat yang lebih jelas.24


[1] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
  No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 64.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 84.
[3] Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub ’Ilmiyah, 1990, hal. 89.
[4] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989), Jilid 7, hal. 251. Baca juga ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shari‘ah al-Islamiyah (Beyrut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), Jilid 7, 49. Baca juga Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKIS,2001), 108. Lihat pula Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’a>n, al-Sunnah dan Pendapat para Ulama (Bandung: Karisma, 2008), hal. 131.  
[5] Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqy al-Syafi’i, Kifayah al- Akhyar fii Halli Ghayah al-
  IKhtisar, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiah,1990, hal. 60.
[6] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 78.
[7] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo, 1992, hal. 113.
[8] Mustafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009, hal. 274.
[9] Imam Muhammad bin Ismail al- Yamin Ashin’ani, Subul al- Salam Syarh Bulug al-Maram, juz, III, Bairut Libanon : Darul Kutub al-
  ‘Ilmiyah, 1988,hal.282.
[10] Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan & Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008), hal.12.
[11] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 124.
[12] Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Indonesia: Al-Harmain,2011, hal. 214.
[13] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.10.
[14] Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),hal. 40.
[15] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Jilid 2, hal. 566-567
[16] Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dar Sahnun li al-Nashr wa al-Tawzi’, t.th.), Jilid 4, hal 230. Kata nihlatan dibaca nasab karena kedudukannya sebagai hal dari ayat (Shaduqatihinna), akan tetapi boleh saja hal disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) meskipun shahibul halnya bentuk jamak (banyak), karena yang dikehendaki dari bentuk mufrad ini adalah jenis yang tepat untuk seluruh individu, dan boleh juga kata nihlatan dibaca nasab sebagai masdariyah untuk kata (atuu) untuk menjelaskan jenis pemberian yang maksudnya memberikan kemuliaan. Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 4, hal.230.
[17] Abi’ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubiy, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, (Beyrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), hal.1594. Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan kata al-nahlah dan al-nihlah adalah pemberian sukarela dan pemberian ini berbeda dengan hibah, sebab setiap hibah sudah pasti termasuk nihlah, sedangkan tidak setiap nihlah adalh hibah. Menurutnya kata nihlah diambil dari kata al-nahl apabila dilihat dari fi’il seperti, nahaltahu a ‘thaytuhu ‘athiyyah artinya saya memberikannya sebuah pemberian, maka hal itu dinamakan dengan mahar, ini bermakna bahwa seorang laki-laki yang menikahi wanita tidak berhak menggaulinya sampai ia memberikan mahar sebagai penganti kehormatan dirinya, demikian juga pemberian seorang laki-laki terhadap anaknya. Baca al-Raghib al-Asfahani, Mu‘jam Mufradat Alfadz al-Qur’an (Beyrut: Dar al-Fikr, t.th.), hal 506.
[18] Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ahyi al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 3, hal. 293.
[19] Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: t.p, 1973), Jilid 4, hal. 307-308.
[20] Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I), Yogyakarta: ACADEMIA & TAZZATA, 2004), hal.168.
[21] Mutawalli al-Sha‘rawi, Tafsir al-Sha‘rawi, (al-Qahirah: Akhbar al-Yawm, 1999), Jilid 4, 2014.
[22] Muh}ammad Thahir Ibnu ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 4, Op.,Cit. Hal. 230.
[23] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,2008),Volume 2, hal. 416.
[24] Hasbi Hj.Muh.Ali, Raihanah Hj.Azahari “Objektif Pemberian Mahar”dalam International Journal Fiqh, No.10 (2013), 59. http://umexpert.um/edu.my/file/publication/00002815_95293-pdf. (diakses 17 Januari 2017).
[25]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Volume, 2, Op.Cit.416.
[26] Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir al-Munir. (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989), Jilid 3, hal. 574.
[27] Anggota  IKAPI,  Asbabun  Nuzul  Latar  Belakang  historis  turunnya  ayat-ayat  al-Qur’an  (Bandung: Co Penerbit Diponogoro, 2009), hal. 134
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Ibnu Atsur, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir, juz 5. Op.,Cit.hal. 9
[31] Anggota  IKAPI,  Asbabun  Nuzul  Latar  Belakang  historis  turunnya  ayat-ayat  al-Qur’an ,Op., Cit.  hal. 134
[32] Ibnu Atsur, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir, juz 5. Op.,Cit.hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi