RADIO DEWI ANJANI

KRITERIA ISTRI & SUAMI YANG SHALIH

Gambar: https://www.islamkafah.com
KRITERIA ISTRI & SUAMI YANG SHALIH

Sebuah perkawinan yang bisa melahirkan keluarga sakīnah yang dilandasi rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) adalah meniscayakan adanya suami dan istri.
Sebab, bangunan rumah tangga bagaikan kapal yang mengarungi lautan luas tak bertepi. Lautan samudera bukan saja luas, tetapi juga selalu diiringi gelombang-gelombang sekecil apa pun itu. Sebuah kapal akan selamat dari terpaan badai dan gelombang bukan hanya terletak pada kekuatan fisiknya, tetapi kehandalan nakhoda dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengendalikan kapal tersebut.
Dengan demikian, sebuah keluarga yang sakinah bukan hanya menuntut adanya suami, tetapi suami yang saleh. Begitu juga, kehadiran perempuan yang salehah juga sangat dibutuhkan dalam merealisasikan cita-cita yang mulia tersebut. Jika sebuah riwayat mengatakan bahwa, “Dunia adalah kesenangan sesaat dan sebaik-baik kesenangan sesaat itu adalah wanita salehah,” maka riwayat yang lain juga menyebutkan bahwa, “Yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya, dan yang paling mulia akhlaknya adalah yang paling baik memperlakukan istrinya.” Kedua hadis ini sama-sama memberikan perhatian yang berimbang kepada laki-laki dan perempuan dalam konteks membangun keluarga sakīnah.
Oleh karena itu, dalam sub-bab ini akan dibahas secara mendalam dan terpisah tentang kriteria suami saleh dan istri salehah. Kemudian dijelaskan secara integral dan holistik.

1. Kriteria Istri yang Salehah
Tidak bisa dimungkiri bahwa kehadiran perempuan yang salehah bagi setiap laki-laki adalah sesuatu yang sangat didambakan, bahkan hal itu terkadang bisa mengalahkan hal-hal lain yang juga menjadi cita-citanya. Sebab, kehadiran istri salehah bukan saja dibutuhkan dalam membangun rumah tangga yang sakinah, akan tetapi kehadirannya justru akan menjadi faktor yang sangat penting dalam merealisasikan cita-citanya yang lain. Di samping itu, kehadiran istri salehah akan menjadikan laki-laki senantiasa merasakan tenteram hatinya dan terhormat. Namun begitu, ternyata bukan hal yang mudah untuk memformulasikan siapa istri yang salehah itu? Kriteria apa saja yang harus dipenuhi sehingga seorang istri dikatakan salehah? Kalaulah bisa diformulasikan, maka bisa dipastikan setiap laki-laki akan memiliki kriteria, yang dalam beberapa hal berbeda dengan lelaki yang lain.
Secara umum, paling tidak, setiap lelaki akan mengidamkan seorang perempuan yang cantik, berpenampilan menarik, sarjana, memiliki karir yang bagus, dari keluarga yang terhormat, masih gadis, dan seterusnya. Bukan hanya itu, ia juga mencita-citakan istrinya adalah perempuan yang taat kepada suami, tidak boros, sabar, menerima apa adanya, dan seterusnya sampai tidak terbatas. Walhasil, laki-laki akan sangat mendambakan seorang istri yang sempurna lahir dan batin, walaupun begitu, dalam tataran riilnya tetap saja sulit untuk diformulasikan.
Sekali lagi, memang tidak mudah untuk membuat kriteria istri salehah; apalagi yang bisa menampung segala keinginan setiap laki-laki terhadap calon pendampingnya. Namun, jika kita ingin mencoba membuat kriteria istri salehah dengan mengacu kepada pemahaman berbalik (mafhūm mukhālafah) dari hak-hak seorang suami, yang berarti kewajiban istri, sebagaimana yang diformulasikan oleh Khadījah an-Nabrawī, maka akan muncul kriteria istri yang salehah adalah:
1. Perempuan yang taat beragama
2. Selalu merawat tubuhnya dan berpenampilan menarik demi suaminya
3. Membantu suami dalam mencukupi kebutuhan keluarga
4. Selalu berhias untuk suami
5. Senantiasa menjaga harga diri dan kemuliaan suami
6. Menjaga harga dirinya di saat suami tidak ada atau tidak bersamanya
7. Menjaga harta dan keluarganya
8. Menjaga rahasia atau kekurangan suami
9. Rela dan tabah dalam menghadapi kesulitan hidup
10. Senantiasa merasa puas dengan pemberian suami
11. Senantiasa setia dalam suka maupun duka
12. Mengikuti keinginan suami dalam menentukan jumlah anak
Walaupun kriteria di atas sedemikian banyak, namun tetap tidak bisa dikatakan sebagai kriteria yang baku. Memang, setiap wanita yang membaca kriteria ini, pasti akan panas hatinya sebab seakan dirinya berada dalam kekuasaan suami dan tidak berdaya sama sekali, bahkan seperti "pelayan" suami. Hanya saja, yang harus disadari oleh kaum perempuan adalah bahwa kriteria di atas dilihat dari sudut pandang laki-laki. Bahkan, jika ditanyakan lagi kepada setiap laki-laki pasti akan muncul kriteria-kriteria selain yang di atas.
Namun, yang juga harus disadari oleh setiap lelaki adalah bahwa tidak selalu kriteria-kriteria yang diidam-idamkan itu ada semua dalam diri seorang perempuan. Sebab, kelebihan dan kekurangan pasti akan senantiasa ada pada diri setiap manusia, termasuk perempuan. Oleh karena itu, Al-Quran menawarkan dua kriteria yang dianggap paling asasi. Dan, jika ditelusuri lebih jauh, maka dua hal itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh setiap suami terhadap istrinya, pada akhirnya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
Maka perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). (QS.an-Nisā'[4]: 34)
Redaksi pada ayat ini merupakan satu rangkaian dengan redaksi sebelumnya yang menerangkan tentang posisi laki-laki dalam kaitannya dengan perempuan. Hal penting terkait dengan ayat ini adalah bahwa ia tidak secara langsung berhubungan dengan posisi laki-laki dalam rumah tangga, sebab kata rijāl tidak pernah digunakan oleh Al-Quran maupun bahasa Arab secara umum untuk menunjukkan arti suami, berbeda dengan kata nisā' atau mar'ah. Oleh karena itu, posisi laki-laki di sini tidak selalu disandingkan dengan istri, bisa saja saudara laki-laki dengan saudara perempuannya, bapak dengan anak-anak perempuannya.34 Namun, redaksi pada awal ayat (ar-rijāl qawwāmūn…) merupakan pendahuluan bagi penggalan kedua, seperti yang tertera di atas, yakni tentang sifat dan kriteria istri yang salehah.
Dari ayat ini ada dua kriteria yang ditonjolkan untuk mengukur apakah seorang istri itu salehah atau tidak, yaitu, qānitāt (perempuan yang taat) dan hāfīzhāt lil gaib (menjaga dirinya di saat tidak bersama suami). Kedua kriteria ini akan dibahas secara terpisah agar memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.

a. Qānitāt
Kata qānitāt berasal dari qanata yang berarti keharusan ketaatan yang disertai sikap ketertundukan (luzūmuth-thā‘ahma‘al-khudhū‘). Ada juga yang memahami dengan menyibukkan diri dengan beribadah dan membuang segala apa saja selain sikap ibadah (al-isytigāl bil-‘ibādah wa rafadha kullu mā siwāhu).
Walhasil, qanata adalah ketaatan yang tulus semata-mata mengharap rida Allah. Dengan demikian, kata qānitāt lebih dalam maknanya dibanding thā'i‘āt. Sehingga, ketaatan sebagai salah satu kriteria istri yang salehah, didasarkan pada karakter kata qanata, adalah ketaatan yang penuh ketulusan yang dilandasi atas rasa pengabdian kepada Allah semata-mata demi mengharap rida-Nya.
Melihat hal ini, perempuan yang qānitāt adalah perempuan senantiasa taat kepada Allah sekaligus tunduk dan patuh kepada-Nya. Dengan demikian, sikap ketaatan dan ketertundukan di sini tidak terkait dengan suami, tetapi hanya kepada Allah. Namun begitu, para ulama memahami ayat ini sebagai ketaatan kepada Allah sekaligus kepada suami, jika ia sebagai istri, karena redaksi ini disebutkan dalam konteks relasi antara lelaki dan perempuan. Artinya, ketaatan seorang istri terhadap suami sebenarnya realisasi ketaatannya kepada Allah. Sehingga dengan demikian, ia akan melakukannya dengan penuh ketulusan tanpa merasa terbebani sedikit pun sebagaimana ditunjukkan oleh kata qanata. Jika ketaatan istri terhadap suami merupakan manifestasi dari ketaatannya kepada Allah, maka tidak ada alasan bagi istri untuk tidak taat kepada suami, sejauh ketaatan kepadanya tidak mengarah kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dalam hal ini, yang dilihat bukan suaminya, tetapi Allah.
Dalam konteks keterkaitan dua hal ini, yakni ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada suami, dapat dilihat di dalam beberapa riwayat berikut ini:
Sekiranya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain, pasti akan aku perintah seorang istri sujud kepada suaminya, mengingat haknya yang berarti kewajiban si istri. Seorang istri tidak akan memperoleh manisnya iman sehingga ia memenuhi hak suaminya. (Riwayat Ibnu Mājah, Ahmad, dan al-Baihaqī dari Mu‘ādz bin Jabal) 
 
Hai Basrah! Ingatlah Allah di saat melakukan kesalahan, niscaya Dia akan mengingatmu dengan ampunan, dan taatlah kepada suamimu, niscaya hal itu sudah cukup bagimu untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. (Riwayat al-Baihaqī dan ad-Dailamī). 
 
Yang paling berhak untuk ditaati bagi perempuan adalah suaminya, dan yang paling berhak untuk ditaati bagi laki-laki adalah ibunya. (Riwayat al-Hākim dari ‘Āisyah)
Beberapa hadis di atas harus dipahami betapa Rasulullah sangat menginginkan agar setiap istri benar-benar menunjukkan sikap ketaatan kepada suaminya. Sebab, secara psikologis seorang suami akan merasa kurang berharga dan tidak memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya tanpa adanya sikap ketaatan tersebut, meskipun ia mendapatkan segalanya dari sang istri, seperti kecantikan, penghasilan, nasab, karir, dan sebagainya.
Ayat ini seharusnya menjadi wilayah baca kaum perempuan dalam konteks membina hubungan dengan suaminya, agar ketaatan kepada suami, di samping sebagai realisasi dari ketaatan kepada Allah, juga tidak dirasakan sebagai beban, sebab ia dilandasi atas semangat ingin membangun keluarga sakinah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah. 

Bahkan, secara jujur setiap lelaki akan mengakui bahwa sikap itulah yang sebenarnya diidamkan oleh mereka terhadap perempuan yang paling dicintainya, yaitu istrinya. Di sinilah, seorang istri yang baik akan menunjukkan rasa pengorbanannya, jika harus memilih salah satu dari dua pilihan, misalnya, antara berkarir atau mengurus rumah tangga. Boleh jadi, keinginan untuk terus berkarir begitu kuat, namun suaminya tidak mengizinkan, maka dorongan untuk membina keluarga yang sakinah itulah menjadikan ia tidak berat sama sekali harus menaati suaminya, meskipun harus meninggalkan pekerjaannya yang selama ini digeluti. Atau sebaliknya, seorang istri akan dengan senang hati untuk bekerja di luar rumah demi meringankan beban suaminya atau secara tulus untuk mengurus anak-anaknya di saat suaminya tidak ada di rumah.
Di samping itu, ketaatan yang tulus itulah sebenarnya bentuk penghormatan yang hakiki bagi seorang istri terhadap suaminya, bahkan seandainya pun si istri bukanlah perempuan yang berwajah cantik, bukan wanita karir, bukan sarjana, ia hanya sosok ibu rumah tangga biasa; namun, dengan ketaatan yang tulus kepada suaminya akan semakin menumbuhkan penghargaan suami terhadap dirinya dan sebagai timbal-baliknya, si suami juga selalu berusaha menjaga diri dan perasaannya. Oleh karena itu, tidak bisa diajukan pertanyaan berbalik, kenapa suami tidak diperintahkan untuk taat juga kepada istrinya. Sebab, ketika suami menuruti perintah istrinya, misalnya, “Iya Ma, selesai rapat saya akan langsung pulang,” sebagai jawaban dari perkataan istrinya, “Pa, setelah selesai rapat langsung pulang ya…,” harus dipahami sebagai wujud timbal-balik dari sikap ketaatan tersebut. Masalah ketaatan ini tidak bisa dipahami secara hitam-putih atau demi memuaskan suami, tetapi Al-Quran hendak menunjukkan kepada kaum perempuan yang bermaksud membina rumah tangga dengan harmonis, bahwa ketaatan adalah hal yang paling asasi yang dicita-citakan oleh seorang laki-laki terhadap calon pendampingnya kelak. Sehebat apa pun yang dimiliki perempuan, dalam hal kecantikan, karir, kesarjanaan, nasab, penghasilan, dan sebagainya, namun tanpa ketaatan yang tulus kepada suami, maka istri seperti ini tidak dibutuhkan oleh laki-laki.

b. Hāfizhāt lil-Ghaib
 Yang dimaksudkan di sini adalah menjaga diri dan kehormatan harta suami di saat suaminya tidak ada di rumah.38 Dalam sebuah riwayat dinyatakan: 
 
Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan suami ketika memandangnya; senantiasa taat ketika memerintahnya; dan tidak berbeda pendapat yang membuat suaminya tidak suka, baik menyangkut dirinya maupun harta suaminya. (Riwayat Ahmad, an-Nasā'i, dan al-Hākim dari Abū Hurairah)
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemeliharaan ini erat kaitannya dengan redaksi bimā hafizh allāh. Artinya, perintah al-hifzh ini tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan perintah Allah kepada seorang suami untuk memenuhi hak-hak istrinya, yaitu memberi nafkah dan mempergaulinya dengan baik. Jika hal ini tidak dilakukan oleh seorang suami maka tidak ada tuntutan untuk memelihara harta suaminya. Sebagaimana dalam kasus istri Abū Sufyān, Hindun bin ‘Utbah, ketika ia meminta pendapat kepada Rasulullah perihal suaminya yang kikir, apakah ia boleh mengambil sendiri harta suaminya untuk keperluan anak-anaknya, lalu beliau mengizinkannya sebatas kebutuhan yang wajar.39 Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seorang istri merasa keberatan meminta izin suaminya jika hendak pergi atau melakukan hal-hal yang lain, jika ia percaya bahwa suaminya adalah suami yang saleh. Sebab, jika hal itu bermanfaat baik bagi dirinya, keluarga, maupun orang lain, serta tidak berbahaya bagi keselamatannya, sebagai suami yang baik, pasti akan memberi izin.
Di sinilah, kenapa term shālihāt diawali dengan huruf fa' yang posisinya sebagai fashīhah (penegas). Sebab, ketaatan (qānitāt) dan pemeliharaan (hāfizhāt) adalah terkait dengan posisi seorang suami dalam menjalankan perannya sebagai qawwām. Seorang suami tidak dikatakan qawwām jika sikap tanggung jawabnya kepada istri itu tidak sesempurna mungkin, tidak berkesinambungan dan terus menerus. Atau dengan kata lain, tidak ada ketaatan tanpa adanya tanggung jawab memberi nafkah, kecuali jika suami, karena sesuatu sebab tertentu, menjadikan dirinya tidak bisa memberi nafkah istrinya secara wajar. Tentu saja, hal ini sangat berbeda dengan suami yang secara sengaja tidak mau menafkahi istrinya, baik karena kekikirannya maupun kemalasannya dalam mencari nafkah, padahal fisiknya mampu. Namun, di kalangan ulama ada yang berpendapat, didasarkan ayat di atas, bahwa sebuah akad perkawinan bisa dibatalkan (fasakh) jika suami tidak mampu lagi menafkahi istrinya secara wajar. Pendapat ini diikuti oleh Malik, Syafi‘i, dan lainnya.

2. Kriteria Suami yang Saleh
Sebagaimana laki-laki, setiap perempuan pasti mendambakan seorang pendamping yang baik, untuk membina keluarga sakinah. Namun begitu, sebagaimana wanita salehah menetapkan kriteria suami yang saleh ternyata juga tidak mudah. Sebab, setiap wanita bisa dipastikan punya cara pandang dan ukuran tersendiri dalam menetapkan calon pendampingnya yang dianggap baik/saleh, yang tentunya berbeda dengan wanita lain. Secara umum, biasanya wanita menghendaki seorang lelaki yang tanggung jawab, pengertian, setia, sabar, tidak suka memaksakan kehendak, berasal dari keturunan yang baik, sarjana, dan punya pekerjaan yang mapan. 
Bahkan, di antara mereka juga ada menetapkan lebih dari itu, misalnya, tampan, gagah, postur tubuh ideal, memiliki rumah pribadi, kendaraan pribadi, dan lain-lain. Walhasil, setiap wanita sangat mendambakan seorang pendamping yang nyaris tanpa cacat. Padahal, keinginan tidak selalu sejajar simetris dengan kenyataan, sebab sesempurna apa pun seorang suami, ia tetap manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Di sinilah Rasulullah telah menetapkan atau lebih tepatnya mengingatkan agar tidak teperdaya oleh penampilan fisik-material. Beliau menekankan agar setiap wanita menjatuhkan pilihannya kepada lelaki yang baik agamanya. Yang dimaksudkan di sini adalah yang mulia akhlaknya. Sebab jika tidak demikian, maka beliau memprediksi keluarga tersebut akan berantakan: 
Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian senang dengan akhlak dan agamanya, maka nikahkan anakmu dengan orang itu, jika tidak (dengan pertimbangan demikian) maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan-kerusakan baru. (Riwayat Ibnu Mājah dan alHākim dari Abū Hurairah)
Di samping itu, seorang suami yang berakhlak mulia, akan senantiasa menunjukkan ketulusan cintanya, yang diwujudkan dengan mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya, baik lahir maupun batin. Namun, jika rasa cinta itu mulai memudar, ia akan tetap memperlakukan istrinya dengan baik sebagai amanah Allah. Hanya saja, jika mencoba merujuk kepada Al-Quran, maka hampir-hampir tidak dijumpai ayat-ayat yang secara eksplisit menjelaskan kriteria suami yang saleh, sebagaimana perempuan salehah. Meskipun begitu, di antara ayat-ayat Al-Quran, ada ayat yang bisa dipahami sebagai kriteria suami yang saleh, seperti firman Allah:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orangyang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya. (QS.al-Qashash[28]: 26)
Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan ayat-ayat sebelumnya yang berkenaan dengan kisah Musa, yang melarikan diri ke Madyan untuk menghindari ancaman Fir‘aun, dengan dua orang gadis. Kedua gadis tersebut begitu terpesona dengan apa yang dilakukan oleh Musa terhadap mereka, baik kekuatan fisiknya ketika membantu mereka untuk mengambil air, maupun akhlaknya ketika mengantarknya demi memenuhi undangan orang tuanya. Rasa kagum dan terpesona inilah yang mendorong salah satu dari mereka untuk berkata kepada bapaknya, “Sesungguhnya sebaik-baik pekerja adalah yang kuat lagi tepercaya.” 

Ayat ini memang tidak secara langsung berkaitan dengan kriteria suami yang saleh, tetapi perkataan atau lebih tepatnya promosi salah satu dari kedua gadis tentang kehebatan dan keluhuran akhlak Musa di hadapan bapaknya, itulah yang mengindikasikan bahwa mereka tertarik kepadanya. Begitu juga bapaknya, setelah menyimak secara seksama penjelasan putrinya, maka ia menganggap bahwa pemuda seperti Musa inilah yang layak menjadi pendamping hidup putrinya. Atas alasan inilah, kemudian bapaknya berkata kepada Musa, bahwa dirinya akan dinikahkan kepada salah satu dari putrinya.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ
Dia (Syuaib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku.” (QS. al-Qashash[28]: 27)
Jawaban bapaknya ini tentu saja tidak nyambung dengan perkataan anaknya itu, namun sebagai seorang bapak yang bijak, ia paham betul jika anaknya sangat mencintai pemuda tersebut. Oleh karena itu, rangkaian ayat ini yang muncul sebagai bentuk persetujuannya. Di sini, Al-Quran menggunakan term al-qawiyy dan al-amīn. Kedua term ini memang tidak secara khusus terkait dengan perkawinan, namun juga hal-hal lain. Misalnya, ‘Umar bin al-Khaththāb pernah berdoa agar barisannya diperkuat dengan orang-orang yang kuat lagi amanah.41 Namun, dalam kasus di atas, terdapat dua hal, yaitu al-qawiyy (orang yang kuat) dan al-amīn (orang yang dapat dipercaya), yang mendasari orang tua itu untuk menikahkan putrinya dengan Musa.

a. Al-Qawiyy
Kata al-qawiyy di sini pada mulanya mengacu kepada kekuatan fisik. Hal ini karena saat itu kekuatan fisik memang sangat dibutuhkan untuk bisa bersaing dalam mencari penghidupan, juga karena kondisi alamnya dan jenis pekerjaannya. Namun, dilihat dari konteksnya, maka esensi dari kata al-qawiyy di sini adalah bertanggung jawab. Bertanggung jawab adalah menjadi hal sangat penting bagi seorang istri, pada akhirnya. Sebab, sehebat apa pun seorang laki-laki, baik fisik, ilmu, ketampanan, ataupun nasab, namun jika ia tidak berani menghadapi kerasnya persaingan hidup dalam mencari nafkah sebagai wujud tanggung jawabnya kepada istri dan keluarganya, maka laki-laki seperti ini tidak dibutuhkan oleh seorang istri. Maka, sangatlah tidak patut jika ada seorang suami menyuruh, apalagi memaksa istrinya untuk bekerja, walaupun demi menopang biaya kehidupan keluarga, kecuali hal itu keluar dari keinginan istrinya sendiri untuk membantu ekonomi keluarga.
Bahkan, termasuk dalam konteks tanggung jawab adalah menjaga perasaan istrinya. Betapa seorang istri akan merasa sangat tidak nyaman, jika perasaannya tertekan. Misalnya sebagai ilustrasi:
Ketika seorang suami bekerja di sebuah kantor atau perusahaan,tentunya ia akan berhubungan dengan banyak pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Di antara kolega atau rekan kerjanya, ada seorang perempuan, sebut saja “Melati”. Suatu ketika, Melati pernah diperkenalkan kepada istrinya. Pada mulanya, istrinya tidak ada perasaan apa-apa kepada rekan kerja suaminya ini, namun lama kelamaan perasaannya menjadi tidak nyaman, bahkan seringkali jantungnya berdegup keras, tidak seperti biasanya. Kemudian ia berusaha mengungkapkan perasaannya ini kepada suaminya, seraya berkata,Mas jangan terlalu dekat dengan Melati ya...”

Perkataan si istri ini mungkin dianggapnya terlalu berlebihan, bahkan boleh jadi suami akan sangat tersinggung sebab ia sepertinya ada “main mata” dengan rekan kerjanya itu.Namun demikian, di sinilah seorang suami yang baik akan diuji apakah yang dilakukan itu demi mengikuti hawa nafsunya dan memuaskan keinginan pribadinya, meskipun menyangkut karir dan masa depannya, atau demi membahagiakan istrinya, lahir dan batin. Dalam kasus semacam ini, tidak bisa hanya diselesaikan melalui logika dan diskusi, sebab ini menyangkut perasaan halus perempuan, yang konon, lebih tajam daripada laki-laki.42 Bahkan perasaan halus seorang perempuan justru sangat dibutuhkan, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anaknya.43 Seorang suami yang baik dituntut untuk berani berkorban demi istrinya walaupun harus mengalahkan perhitungan akalnya.

Dengan demikian, riwayat tentang larangan bagi seorang istri membawa laki-laki yang tidak disukai suaminya ke dalam rumah, juga harus dipahami secara berbalik, yakni suami juga dilarang bergaul atau membawa perempuan lain ke rumah, jika kehadirannya tidak disukai atau mengganggu perasaan istrinya.

Kenapa demikian? Sebab seorang suami yang baik/saleh, bukan saja berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan fisik-materinya, namun juga berusaha membuat istrinya merasa aman dan nyaman bersamanya, sekalipun untuk itu ia harus berkorban demi cinta kasihnya kepada sang istri. Di sisi lain, jika seorang suami tidak bisa menjaga perasaan istrinya, maka suami seperti ini sebenarnya tidak dibutuhkan oleh istri.
b. Al-Amīn
Makna generik al-amīn adalah orang yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, bisa dilihat kembali dalam kasus Musa dengan dua orang gadis. Ketika salah satu dari mereka berkata kepada bapaknya bahwa Musa adalah seorang yang dapat dipercaya, lalu bapaknya bertanya, “Apa alasanmu mengatakan demikian?” Kemudian anaknya bercerita, “Ketika aku hendak membawanya ke rumah, aku berada di depannya, lalu ia berkata, ‘Sebaiknya aku saja yang berjalan di depan dan kalian di belakangku, kalau nanti sampai di persimpangan jalan, kalian bisa melempar kerikil sebagai pertanda ke arah mana kita harus menuju’.”44 Alasan inilah yang menjadikan si gadis yakin bahwa pemuda tersebut adalah seorang yang dapat dipercaya dan layak untuk menjadi pendampingnya.
Al-Amīn (dapat dipercaya), dalam hal ini, dibahas dalam konteks hubungan suami-istri, dan bukan pada kasus-kasus yang lain. Apakah seorang laki-laki akan tetap amanah jika bergaul dengan kaum perempuan, atau justru ia adalah tipelaki-laki “mata keranjang” atau tidak setia. Kenapa al-amīn menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi seorang perempuan untuk menentukan calon pendampingnya, sebab bukan saja wilayah gerak laki-laki cenderung bebas dan di luar rumah dibanding perempuan, akan tetapi sifat itulah yang bisa menenteramkan hati perempuan.
Di sisi lain, kenapa juga sifat al-amīn, dalam konteks hubungannya dengan lawan jenis, begitu istimewa untuk dijadikan tolok ukur demi melihat kesalehan seorang suami?
Hal ini terkait dengan kondisi psikologis laki-laki yang cenderung lemah di hadapan kaum perempuan. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً
Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (QS.an-Nisā'/4: 28)
Sementara ulama memahami bahwa kata dha‘īf di sini menyangkut hubungan laki-laki dengan perempuan. Artinya, seorang laki-laki cenderung tidak berkutik atau lemah jika dihadapkan pada perempuan. Menurut Imam Thawūs, seperti dikutip oleh Ibnu ‘Asyūr, meskipun begitu bukan berarti harus dipahami bahwa laki-laki selalu berada dalam posisi sangat lemah dalam urusan perempuan, sebab ini akan membatasikandungan ayat itu sendiri. Namun, ayat di atas harus dilihat dalam kaitannya dengan hukum-hukum praktis yang disebutkan jauh sebelumnya, seperti kebolehan berpoligami (tarkhīsh an-nikāh}). Atau dengan kata lain, faktor paling dominan yang membuat manusia lemah adalah kesenangan dan hawa nafsu, sehingga akhlaknya menjadi lemah. Inilah pendapat yang paling kuat, dan bukan lemah secara fisik. Artinya, ketika seseorang secara fisik kuat tetapi tidak mendorong dirinya kepada ketaatan kepada Allah dengan menjaga kesetiaannya, maka ia dikatakan sebagai orang lemah.47Melihat hal ini, al-amīn secara sederhana bisa dimaknai bahwa si suami tidak mudah tergoda atau selalu setia. 
Seorang suami yang baik atau saleh akan berusaha menghindar dari hal-hal yang dapat menjadikannya tergoda kepada perempuan lain atau mendorong nafsu syahwatnya. Praktek poligamikebanyakan terjadi karena dorongan nafsu syahwat dibanding pertimbangan akal dan nurani sehatnya, misalnya, tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, memegang kepercayaan yang diberikan istrinya, dibanding menuruti nafsunya dan kebutuhan biologisnya.Tentu saja, bukan hanya dua hal itu saja, al-qawiyy dan alamīn, yang mendorong seorang perempuan untuk mau dinikahi,namun jika diteliti lebih jauh, sesungguhnya dua hal itulah yang dibutuhkan oleh seorang istri pada akhirnya. Oleh karenanya,setiap perempuan harus memastikan terlebih dahulu apakah calon suaminya memenuhi dua kriteria di atas, bertanggung jawab dan bisa dipercaya/setia atau tidak. Sekaligus, hal ini juga menjadi catatan bagi setiap suami, jika ingin membina keluarga sakinah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, ia harus senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab kepada istrinya, lahir dan batin, yakni memberi nafkah dan menjaga perasaannya,dan menjaga kepercayaan si istri dengan tetap setia.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka harus dipahami secara integral dan menyeluruh, tidak parsial. Artinya, jika ingin melihat siapa istri yang salehah itu, maka harus juga dilihat kriteria suami yang saleh; begitu juga sebaliknya. Ringkasnya, jika masing-masing pihak menyadari posisinya, dengan selalu memahami dan menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga mendorongnya untuk saling memberi dan berani berkorban untuk pasangannya, bukan saling memiliki dan saling menuntut, maka keluarga sakinah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah akan mudah terwujud. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi