BERKENALAN DENGAN ‘IDUL FITRI
Oleh:
Wildan Kurnia Saputra
Tidak terasa kita sudah
sampai di terminal akhir bulan ramadhan. Beberapa hari lagi sang waktu akan
mengantarkan kita menuju bulan ke-sepuluh dalam kalender qamariah, bulan
syawal. Dalam hembusan nafas pertama pada bulan tersebut –ditandai dengan
menggemanya adzan magrib di hari terakhir bulan ramadhan- umat Islam di
seantero bumi bergembira ria menyambut ‘idul fitri.
Di Indonesia, hal
tersebut ditandai dengan sidang itsbat atau penetapan tanggal satu syawal oleh
pemerintah bagian Kementerian Agama Republik Indonesia. Ketika
mendengar kata ‘Idul Fitri, tentu dalam benak setiap muslim yang ada adalah
kebahagiaan dan kemenangan lantaran merasa gembira dan senang karena telah
melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh. Selain itu, hari raya ‘Idul Fitri
juga kerap ditandai dengan hampir 90% pelakunya memakai sesuatu yang baru, mulai
dari pakaian baru, sarung baru, topi baru, sajadah baru, bahkan penampilan
baru.
Di luar itu semua, pernahkah kita mencari tahu bagaimana sebenarnya makna
dari Idul Fitri itu ? Apakah Idul Fitri di mata seorang muslim hanya ditandai
dengan beragam sesuatu yang baru ?, ataukah dengan mudik ke kampung halaman untuk
bersilaturrahim kangen-kangenan dengan kerabat dan sanak saudara ?. Mari
sejenak kita pantau ulang tentang idul fitri kita.
Idul fitri adalah satu
dari dua hari raya yang dimiliki umat Islam, yang dirayakan setelah satu bulan
sebelumnya melaksanakan ibadah puasa ramadhan. Secara bahasa, idul fitri
terdiri dari dua kata, yaitu ‘iid (عيد)yang merupakan turunan kata dari (عود)
berarti ‘kembali dan berulang-ulang’ dan fitri yang berakar kata fathr (فطر)
berarti ‘asal kejadian atau kondisi awal’.
Menurut sementara pakar,
dinamai ‘iid karena perayaan ‘idul fitri dilaksanakan setiap tahun. Pendapat
lain mengatakan, disebut ‘iid karena pada hari itu umat Islam memperbanyak
ibadah yang berarti kembali berserah diri kepada Allah swt. Yang lain
mengatakan, dinamakan demikian karena berulang-ulangnya suka cita yang
dirasakan umat islam stiap kali ‘Idul fitri itu datang. Betapapun, agaknya
pendapat-pendapat tersebut akan terasa lebih utuh jika dimaknai secara holistik.
Artinya, disebut dengan istilah ‘iid karena hari raya itu terjadi setiap tahun,
dimana pada hari itu umat Islam besuka cita dengan benar-benar menghambakan
diri kepada Allah SWT.
Selanjutnya, ulama
sepakat mengartikan kata fathr sebagai ‘asal kejadian atau kondisi awal’. Akan
tetapi mereka berbeda pendapat di dalam menetapkan kondisi awal atau asal
kejadian tersebut. Menurut pendapat pertama, dalam konteks asal kejadian
manusia seperti tertera dalam QS. Ar-Ruum [30]: 30, Allah telah menciptakan
potensi ma’rifatul iman (potensi untuk beriman) pada diri manusia
seluruhnya yang ditetapkan berbarengan dengan penciptaan manusia itu sendiri.
Ini berarti potensi tersebut dapat dikembangkan oleh manusia dengan bekal
kemampuan daya yang ia miliki dan bimbingan Rasul, yang pada akhirnya akan
mengantarkan pelakunya kepada beriman kepada Allah SWT.
Bertolak belakang dengan
pendapat di atas, pendapat kedua mengatakan bahwa fitri berarti ‘iman adalah
bawaan sejak lahir’. Dengan kata lain bahwa Allah SWT telah memberikan iman
kepada seseorang dari sejak ketika berada di rahim ibunya. Para pendukung
pendapat ini menyandarkan pemahamannya pada firman Allah SWT:
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengata-kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"( QS. Al-‘Araf [7]: 172)
Dari pemaparan di atas,
agaknya ‘Idul fitri dapat diartikan dengan kembali kepada fitrah (awal kejadian)
dimana pada hari itu manusia yang berhasil meraih tujuan puasa laksana
seorang bayi yang baru dilahirkan yang bersih dari dosa dan kesalahan. Pada
saat itu manusia benar-benar kembali dan menepati janjinya kepada Allah SWT,
yaitu semua manusia pada mulanya dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah
satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian
Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi
pengakuan ke Tuhan-nan sebagaimana tertulis rapi pada ayat di atas.
Jadi, seorang muslim yang
ber’idul fitri adalah dia yang membangun kembali pengabdian yang seutuhnya
hanya kepada Zat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Karena hanya dengan menghambakan
diri secara total kita semua akan menjadi abdi-abdi Allah yang setia. Nampaknya
ini akan terwujud hanya dengan cara ber’idul fitri yang benar, bukan sekedar
idul fitri yang ikut-ikutan atau apalagi cuma sekedar berprinsip ‘semua baru’.
Penulis berkata demikian bukan berarti melarang untuk beli baju baru, sandal
baru dan semua yang ‘baru-baru’, akan tetapi alangkah lebih bagus dan
sempurnanya ‘Idul fitri kita jika yang kita perbarui bukan sekedar lahiriah
semata, melainkan juga batiniah. Baju boleh baru asalkan rohani juga baru,
jilbab boleh mahal asalkan iman semakin tebal.
Dosa kita setahun yang
lewat akan diampuni dengan jalan bertaubat dalam arti yang sesungguhnya dengan
aktualisasi memperbanyak ibadah di hari yang fitri. Agaknya kita perlu
mencermati apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, “merayakan Idul
Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang
tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah SWT”.
----------------------------
Sumber Tulisan:
1. Al-Bayan fi
Madzhab al-Imam asy-Syafi’i oleh al-‘Allamah Syaikh Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khairi bin Salim
al-Gimrani asy-Syafi’i al-Yamani.
2. Mu’jam
Maqayis al-Lughah
oleh Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria
3. Ensiklopedi
Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata
Catatan: Tulisan ini juga dimuat di www.mdqhnwanjani.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan