RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (7): KETENTUAN UMUM HUKUM HARTA BERSAMA

Gambar: steemitimages.com
KETENTUAN UMUM HUKUM HARTA BERSAMA
Ketentuan umum pada postingan ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif tentang harta bersama, yaitu bagaiamana memperlakukan harta bersama sebelum harta itu dibagi. Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup pengaturan hukum bagi suami istri yang masih memiliki hubungan perkawinan terhadap harta bersama mereka.
1.  Pengurusan Harta Bersama

Dibagian ini akan dijabarkan bagaimana ketentuan hukum tentang pengurusan harta bersama. Menurut KUHPerdata, suami sendirilah yang berhak mengurus harta bersama, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut. Istri tidak berhak mencampuri kewenangan suami. Dasar ketentuan ini adalah bahwa suami yang merupakan kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap segala urusan yang berkenaan dengan kehidupan rumah tangga termasuk dalam hal pengurusan harta bersama.[1]
           Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPerdata pasal 124 ayat 1, “hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140”. Artinya, suami memiliki kewenangan dalam mengurus harta bersama karena dia merupakan kepala rumah tangga, termasuk
dalam hal menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya. Namun suami tidak diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat 3 yaitu, “mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara, suarat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri”.[2]
2.  Penggunaan Harta Bersama
Kebersamaan harta kekayaan suami istri, maka harta bersama menjadi milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini, ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu; hak milik dan hak guna. Harta bersama suami istri memang sudah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa disana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama, dia harus mendapat persetujuan dari istrinya dan sebaliknya.[3] Undang-undang perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan, “mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.
Sebagai contoh, selama masa perkawinan salah satu pihak dari pasangan suami istri membeli rumah atau tanah atas nama suami atau istri. Kedua harta tersebut merupakan bagian dari harta bersama yang dimiliki secara bersama. Jika ada salah satu pihak yang ingin menjualnya, harus mendapat persetujuan dari pasangannya.
Jika penggunaan harta bersama tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, maka tindakan tersebut dianggap telah melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa dituntut secara hukum. Dasarnya adalah KHI pasal 92, “suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.[4]
Suami istri juga diperboleh menggunakan harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur, “harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya”.
Prinsip diatas bertolak belakang dengan prinsip yang diatur oleh KUHPerdata dimana pada pasal 124 ayat 1 menentukan bahwa harta bersama atau persatuan berada di bawah urusan suami secara mutlak bahkan pada ayat 2 menyatakan bahwa suami dapat menjual, memindahtangankan dan membebani harta bersama tersebut tanpa persetujuan dan campur tangan istri, kecuali sebelumnya ada perjanjian perkawinan.[5]
Pasal 93 KHI mengatur ketentuan hukum harta bersama yang terkait dengan hutang. Ayat 1 pasal itu menyebutkan bahwa, “pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing”. Artinya, hutang yang secara khusus dimiliki suami atau istri menjadi tanggungjawab masing-masing.



[1] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini ….., hal. 26
[2] R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 34-35
[3] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini ….., hal. 34
[4] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, hal. 136
[5] R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi