Gambar: steemitimages.com |
KETENTUAN UMUM HUKUM
HARTA BERSAMA
Ketentuan umum pada
postingan ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif tentang harta
bersama, yaitu bagaiamana memperlakukan harta bersama sebelum harta itu dibagi.
Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup pengaturan hukum bagi suami
istri yang masih memiliki hubungan perkawinan terhadap harta bersama mereka.
1. Pengurusan Harta Bersama
Dibagian ini akan dijabarkan bagaimana
ketentuan hukum tentang pengurusan harta bersama. Menurut KUHPerdata, suami
sendirilah yang berhak mengurus harta bersama, termasuk berwenang melakukan
berbagai perbuatan terhadap harta tersebut. Istri tidak berhak mencampuri
kewenangan suami. Dasar ketentuan ini adalah bahwa suami yang merupakan kepala
rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap segala urusan yang berkenaan dengan
kehidupan rumah tangga termasuk dalam hal pengurusan harta bersama.[1]
Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPerdata pasal 124 ayat 1, “hanya
suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya,
memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal
yang diatur dalam pasal 140”. Artinya, suami memiliki kewenangan
dalam mengurus harta bersama karena dia merupakan kepala rumah tangga, termasuk
dalam hal menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya. Namun suami tidak diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat 3 yaitu, “mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara, suarat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri”.[2]
dalam hal menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya. Namun suami tidak diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat 3 yaitu, “mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara, suarat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri”.[2]
2. Penggunaan Harta Bersama
Kebersamaan harta kekayaan suami istri,
maka harta bersama menjadi milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini, ada dua
macam hak dalam harta bersama, yaitu; hak milik dan hak guna. Harta bersama
suami istri memang sudah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan
bahwa disana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak
menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari
pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama, dia harus mendapat
persetujuan dari istrinya dan sebaliknya.[3] Undang-undang
perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan, “mengenai harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.
Sebagai contoh, selama masa perkawinan
salah satu pihak dari pasangan suami istri membeli rumah atau tanah atas nama
suami atau istri. Kedua harta tersebut merupakan bagian dari harta bersama yang
dimiliki secara bersama. Jika ada salah satu pihak yang ingin menjualnya, harus
mendapat persetujuan dari pasangannya.
Jika penggunaan harta bersama tidak
mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, maka tindakan
tersebut dianggap telah melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang
bisa dituntut secara hukum. Dasarnya adalah KHI pasal 92, “suami atau istri
tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama”.[4]
Suami istri juga diperboleh menggunakan
harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah
satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur, “harta bersama
dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya”.
Prinsip diatas bertolak belakang dengan
prinsip yang diatur oleh KUHPerdata dimana pada pasal 124 ayat 1 menentukan
bahwa harta bersama atau persatuan berada di bawah urusan suami secara mutlak
bahkan pada ayat 2 menyatakan bahwa suami dapat menjual, memindahtangankan dan
membebani harta bersama tersebut tanpa persetujuan dan campur tangan istri,
kecuali sebelumnya ada perjanjian perkawinan.[5]
Pasal 93 KHI mengatur ketentuan hukum
harta bersama yang terkait dengan hutang. Ayat 1 pasal itu menyebutkan bahwa, “pertanggungjawaban
terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing”.
Artinya, hutang yang secara khusus dimiliki suami atau istri menjadi
tanggungjawab masing-masing.
[1] Happy Susanto, Pembagian
Harta Gono-Gini ….., hal. 26
[2] R. Subekti,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 34-35
[3] Happy Susanto, Pembagian
Harta Gono-Gini ….., hal. 34
[4] Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia, hal. 136
[5] R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
hal. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan