RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (6): HARTA BERSAMA DALAM KACAMATA ISLAM



HARTA BERSAMA DALAM KACAMATA ISLAM
Oleh:
Wildan Kurnia Saputra
Di era klasik, permasalahan ini belum –kalau enggan mengatakan tidak- dibahas oleh para ulama yang hidup pada masa itu. Karenanya, materi tentang harta bersama secara eksplisit tidak kita temukan dalam turats-nya para ulama. Tetapi, dengan semakin kompleksnya permasalahan di masyarakat yang dalam hal ini menyangkut perkawinan, para pemerhati hukum islam yang terkemudian dituntut untuk membahas aspek-aspek pernikahan  dari setiap sudutnya, tentunya dengan pemaparan yang lebih rinci dan lebih holistik sesuai dengan tuntutan zaman. Istilah anak sekarang: Out box thinking.
Lantas, dalam salah satu sudutnya muncul isu gono gini yang memaksa para tokoh Islam Indonesia -mengingat gono gini menurut sementara pendapat hanya ditemukan di Indonesia- untuk melakukan cross check ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan gono gini alias harta bersama. Tentunya, sesuai dengan karakter masyarakat Islam Indonesia Modern, para ahli Ijtihad Indonesia dituntut untuk menyodorkan masalah ini dengan lebih lugas, ringan dan enumeratif.

Sebagai kesimpulan dasar, kita bisa katakan bahwa hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung, kalau kata orang Harta suami ya milik suami, harti istri ya haknya istri”. Pandangan ini, menurut penulis adalah indikasi dari pemahaman sementara orang tentang apa yang difirmankan Allah swt dalam al-Qur’an. Diantaranya adalah ayat yang berbunyi:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ

“.. Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.”.(QS. An-Nisa’: 32)

Hilman Hadi Kusuma dalam bukunya, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama halaman 117 menulis bahwa, ayat tersebut bersifat umum dan tidak hanya ditujukan terhadap suami atau istri, melainkan semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing. Untuk hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau wanita mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggalkan atau diberikan orang tua.
Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami dan mana yang termasuk harta istri, mana harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum terjadinya perkawinan, mana harta suami atau istri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan harta tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami atau harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.
Hukum Islam juga berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya.[1] Namun, al-Qur’an dan hadist tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Bagaimana dengan posisi harta bersama menurut Islam? Berikut ini akan dikemukakan pemetaan pandangan hukum Islam tentang harta bersama. Muhammah Idris Ramulyo dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam”, membagi pandangan hukum Islam tentang harta bersama kedalam dua kelompok sebagai berikut:[2]

a.      Kelompok Yang Memandang Tidak adanya harta bersama Dalam Hukum Islam

            Hukum Islam memberikan hak secara bebas kepada masing-masing individu untuk memiliki harta tanpa digugat oleh siapapun. Dalil yang dipergunakan adalah QS al-Nisa; [4] ayat 32, yang kemudian dipertegas dengan QS al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS al-Thalaq [65] ayat 7. Ketiadaan pelembagaan harta bersama itu merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab suami selaku kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarganya dalam hal nafkah. Usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga, semuanya harus dilaksanakan dengan mufakat. Hanya saja, suami harus menyadari bahwa pemenuhan nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya.[3]
b.      Kelompok yang memandang tidak adanya harta bersama dalam Hukum Islam kecuali dengan konsep syirkah
           Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya, demikian pula harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Dalam pandangan kelompok ini, istri tetap dianggap cakap bertindak meskipun tanpa bantuan suaminya dalam soal apapun, termasuk dalam hal mengurus harta benda sehingga dianggap bahwa istri dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Kelompok ini memandang bahwa suami tidak berhak atas harta istrinya karena kekuasaan istri terhadap harta adalah tetap dan tidak berkurang sedikitpun, meskipun mereka berdua diikat dalam hubungan perkawinan. Oleh karenanya, suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk keperluan belanja rumah tangga kecuali mendapat izin dari istrinya. Bahkan, menurut kelompok ini jika suami mempergunakan harta istri tanpa persetujuan darinya maka harta itu menjadi hutang suami yang wajib dibayarkan kepada istri kecuali jika istrinnya itu bersedia membebaskan tanggungan itu.
Meskipun demikian kelompok ini memandang bahwa dalam hubungan perkawinan istri menjadi syarikatur rajuly fil hayati”, yaitu kongsi sekutu bagi suami dalam menjalani bahtera hidup. Artinya hubungan suami istri merupakan suatu bentuk syirkah (kongsi, kerjasama, persekutuan).[4]
            Harta kekayaan suami dan istri bisa bersatu (harta bersama) karena adanya pengertaian syirkah semacam itu, harta itu seakan-akan dianggap sebagai harta tambahan karena usaha bersama suami istri selama masa perkawinan mereka. Jika terjadi perceraian, harta syirkah ini dibagi antara suami istri menurut pertimbangan siapa diantara mereka yang lebih banyak yang berinvestasi.
·         Istilah dan Pengertian Shirkah
     Secara etimologi, shirkah berarti persekutuan. Juga diartikan dengan percempuran dua hal atau lebih dan tidak dapat dipisahkan lagi. Secara terminologi, dapat disimpulkan shirkah adalah bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha di mana kedua belah pihak mempunyai kontribusi dan berkomitmen untuk menanggung laba dan rugi bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu.
·         Dasar Hukum Shirkah
          Dasar hukum pelaksanaan shirkah adalah QS al-Nisa’ [4] ayat 12 dan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hadits nomor 3383 dalam kitab Sunan Abu Daud.
·         Bentuk-bentuk Shirkah
  1. Sharikatu al-Inan (perserikatan terbatas), merupakan perserikatan harta antar dua orang atau lebih dalam pembentukan suatu usaha. Pengelolaan dilakukan secara bersama dengan pembagian yang sudah ditentukan, tanpa harus disyaratkan persamaan modal.
  2. Sharikatu al-Muwafadah (perserikatan tak terbatas), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan porsi yang tidak ditentukan, baik dalam modal ataupun pengelolaannya.
  3. Sharikatu al-‘Abdan (perserikatan tenaga), merupakan perserikatan yang yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam mengelola dan mengerjakan suatu pekerjaan dengan pembagian yang disepakati.
  4. Sharikatu al-Wujuh (perserikatan kepercayaan), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan modal yang diberikan dari pihak luar.
  5. Sharikatu al-Mudarabah, merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan orang mempunyai keahlian dalam berdagang, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan rugi ditanggung oleh pemilik modal.[5]
           Dari macam-macam syirkah di atas, harta bersama nampaknya lebih diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarati perkongsian bertenaga dan tak terbatas, dan yang mereka hasilkan dalam masa perkawina menjadi harta bersama, kecuali bentuk pemberian khusus kepada salah satu istri atau suami. meskipun gono gini tidak diatur secara jelas dalam fiqh islam, namun keberadaanya diterima oleh sebagian besar ulama’ indonesia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa masyarakat indonesia antara suami dan istri bersama untuk saling melengkapi dalam hal ekonomi.

           Imam Syafii tidak memperbolehkan bentuk syirkah perkongsian yang disamakan dengan harta bersama pasca putusnya perkawinan, karena tidak bermodal, dan juga pada dasarnya yang dinamkan syirkah adalah percampuran modal. Namun hal macam ini di tolak oleh Abu Hanifah, karena bentuk perkongsian ini sudah dijelaskan dalam masysarakat pada umunya, dan sebagian besar ulama’ dan juga masyarakat pun menerimanya. Alasan Imam Syafii tertumpu pada sisi bahwa perkongsian itu pada dasarnya untuk mengembangkan harta dengan disertai modal dari kedua belah pihak terlebih dahulu, namun menurut Abu Hanifah mengatakan bahwa bentuk perkongsian tersebut bukan untuk manegembangkan harta, tapi mencari harta, sedangkan mencari harta lebih dianjurkan dari pada mengembangkan harta. Karna berbeda jika mengembangkan adalah sudah dengan bentuk modal yang sudah ada, namun mencari harta adalah belum tentu adanya sebuah modal didalamnya, dan mengandalkan usaha keduanya.[6]

c.       Kelompok Yang Memandang Adanya Harta Bersama Dalam Hukum Islam
          Disamping mengetahui ketentuan yang berlaku dalam undang-undang perkawinan bahwa harta bersama itu diakui dan diatur dalam hukum posistif. Kelompok ini juga memandangan ketentuan tentang harta bersama itu sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Harta bersama yang dimaksud adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri setelah hubungan perkawinan mereka berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
            Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi satu baik harta maupun anak-anak. Sebagaimana yang datur oleh al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21 yang menyebutkan perkawinan sebagai suatu ikatan perkawinan yang suci, kuat dan kokoh (mitsaqah ghalidhan), artinya perkawinan yang dilakukan  melalui  ijab  Kabul dan memenuhi  syarat  serta rukun perkawinan lainnya seperti wali, saksi, mahar, dan I’lanun nikah (pemberitahuan perkawinan) sudah merupakan syirkah antara suami dan istri. Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengn hubungan perkawinan mereka termasuk masalah harta benda menjadi milik bersama.[7]
Berdasarkan dua pemetaan pandangan tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak atau aspirasi hukum Islam itu sendiri. Inilah pendapat yang benar dan dipegang oleh penulis, berdasarkan I’jaz al-Qur’an “ Shalih likulli zaman wa makan”. Tidak mungkin ada perkara yang luput atau sengaja diluputkan oleh Allah swt ketika kitab suci itu di Inzal- kan kepada manusia termulia, Muhammad saw. Al-Qur’an mengatur segala permasalahan yang dihadapi manusia, dulu, sekarang dan manusia di masa mendatang, baik problema itu tersurat secara gamblang, isyarat ataupun kesamaan illat dengan perkara-perkara yang hukumnya secara gamblang dituturkan dalam kitab suci itu. Bersambung !



[1] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, hal. 15
[2] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal. 29
[4] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, hal. 54
[6] H.M.A Tihami. Sohari Sahrani. Fiqkih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta; Rajawali Pers. 2010. Ed 1. Hlm 183.
[7] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 232

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi