Oleh:
Wildan Kurnia
Saputra
Di era klasik,
permasalahan ini belum –kalau enggan mengatakan tidak- dibahas oleh para ulama
yang hidup pada masa itu. Karenanya, materi tentang harta bersama secara
eksplisit tidak kita temukan dalam turats-nya para ulama. Tetapi, dengan
semakin kompleksnya permasalahan di masyarakat yang dalam hal ini menyangkut
perkawinan, para pemerhati hukum islam yang terkemudian dituntut untuk membahas
aspek-aspek pernikahan dari setiap sudutnya,
tentunya dengan pemaparan yang lebih rinci dan lebih holistik sesuai dengan
tuntutan zaman. Istilah anak sekarang: Out box thinking.
Lantas, dalam
salah satu sudutnya muncul isu gono gini yang memaksa para tokoh Islam
Indonesia -mengingat gono gini menurut sementara pendapat hanya ditemukan di
Indonesia- untuk melakukan cross check ajaran-ajaran Islam yang
berhubungan dengan gono gini alias harta bersama. Tentunya, sesuai dengan
karakter masyarakat Islam Indonesia Modern, para ahli Ijtihad Indonesia dituntut
untuk menyodorkan masalah ini dengan lebih lugas, ringan dan enumeratif.
Sebagai kesimpulan dasar, kita bisa
katakan bahwa hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan
kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik
pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung, kalau kata orang
“Harta suami ya milik suami, harti
istri ya haknya istri”. Pandangan ini, menurut penulis adalah
indikasi dari pemahaman sementara orang tentang apa yang difirmankan Allah swt
dalam al-Qur’an. Diantaranya adalah ayat yang berbunyi:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ
مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
“.. Bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan.”.(QS.
An-Nisa’: 32)
Hilman Hadi Kusuma
dalam bukunya, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama halaman
117 menulis bahwa, ayat tersebut bersifat umum dan tidak hanya ditujukan
terhadap suami atau istri, melainkan semua pria dan wanita. Jika mereka
berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan
harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing. Untuk
hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau wanita
mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggalkan atau
diberikan orang tua.
Pandangan hukum Islam yang memisahkan
harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk
harta suami dan mana yang termasuk harta istri, mana harta bawaan suami dan
mana harta bawaan istri sebelum terjadinya perkawinan, mana harta suami atau
istri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta
bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan
harta tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami atau
harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.
Hukum Islam juga berpendirian bahwa
harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri
hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya.[1] Namun,
al-Qur’an dan hadist tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta benda
yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak
suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Bagaimana
dengan posisi harta bersama menurut Islam? Berikut ini akan dikemukakan
pemetaan pandangan hukum Islam tentang harta bersama. Muhammah Idris Ramulyo
dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum
Islam”, membagi pandangan hukum Islam tentang harta bersama
kedalam dua kelompok sebagai berikut:[2]
a. Kelompok Yang Memandang Tidak adanya harta bersama
Dalam Hukum Islam
Hukum
Islam memberikan hak secara bebas kepada masing-masing individu untuk memiliki harta
tanpa digugat oleh siapapun. Dalil yang dipergunakan adalah QS al-Nisa; [4]
ayat 32, yang kemudian dipertegas dengan QS al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS
al-Thalaq [65] ayat 7. Ketiadaan pelembagaan harta bersama itu merupakan
konsekuensi logis dari tanggung jawab suami selaku kepala keluarga dalam
memenuhi kebutuhan dalam keluarganya dalam hal nafkah. Usaha pemenuhan
kebutuhan rumah tangga, semuanya harus dilaksanakan dengan mufakat. Hanya saja,
suami harus menyadari bahwa pemenuhan nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya.[3]
b. Kelompok yang memandang tidak adanya harta bersama
dalam Hukum Islam kecuali dengan konsep syirkah
Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan
istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan
dikuasai sepenuhnya, demikian pula harta suami tetap menjadi milik suami dan
dikuasai sepenuhnya. Dalam pandangan kelompok ini, istri tetap dianggap cakap
bertindak meskipun tanpa bantuan suaminya dalam soal apapun, termasuk dalam hal
mengurus harta benda sehingga dianggap bahwa istri dapat melakukan segala
perbuatan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Kelompok ini memandang bahwa suami tidak
berhak atas harta istrinya karena kekuasaan istri terhadap harta adalah tetap
dan tidak berkurang sedikitpun, meskipun mereka berdua diikat dalam hubungan
perkawinan. Oleh karenanya, suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk
keperluan belanja rumah tangga kecuali mendapat izin dari istrinya. Bahkan,
menurut kelompok ini jika suami mempergunakan harta istri tanpa persetujuan
darinya maka harta itu menjadi hutang suami yang wajib dibayarkan kepada istri
kecuali jika istrinnya itu bersedia membebaskan tanggungan itu.
Meskipun demikian kelompok ini memandang
bahwa dalam hubungan perkawinan istri menjadi “syarikatur rajuly fil hayati”,
yaitu kongsi sekutu bagi suami dalam menjalani bahtera hidup. Artinya hubungan suami
istri merupakan suatu bentuk syirkah (kongsi, kerjasama, persekutuan).[4]
Harta kekayaan suami dan istri bisa bersatu (harta bersama) karena
adanya pengertaian syirkah semacam itu, harta itu seakan-akan dianggap sebagai
harta tambahan karena usaha bersama suami istri selama masa perkawinan mereka.
Jika terjadi perceraian, harta syirkah ini dibagi antara suami istri menurut
pertimbangan siapa diantara mereka yang lebih banyak yang berinvestasi.
·
Istilah dan Pengertian Shirkah
Secara etimologi, shirkah
berarti persekutuan. Juga diartikan dengan percempuran dua hal
atau lebih
dan tidak dapat dipisahkan lagi. Secara terminologi, dapat disimpulkan shirkah
adalah bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha di mana kedua
belah pihak mempunyai kontribusi dan berkomitmen untuk menanggung laba dan rugi
bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu.
·
Dasar Hukum Shirkah
Dasar hukum pelaksanaan shirkah
adalah QS al-Nisa’ [4] ayat 12 dan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, hadits nomor 3383 dalam kitab Sunan Abu Daud.
·
Bentuk-bentuk Shirkah
- Sharikatu al-Inan (perserikatan terbatas), merupakan perserikatan harta antar dua orang atau lebih dalam pembentukan suatu usaha. Pengelolaan dilakukan secara bersama dengan pembagian yang sudah ditentukan, tanpa harus disyaratkan persamaan modal.
- Sharikatu al-Muwafadah (perserikatan tak terbatas), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan porsi yang tidak ditentukan, baik dalam modal ataupun pengelolaannya.
- Sharikatu al-‘Abdan (perserikatan tenaga), merupakan perserikatan yang yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam mengelola dan mengerjakan suatu pekerjaan dengan pembagian yang disepakati.
- Sharikatu al-Wujuh (perserikatan kepercayaan), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan modal yang diberikan dari pihak luar.
- Sharikatu al-Mudarabah, merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan orang mempunyai keahlian dalam berdagang, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan rugi ditanggung oleh pemilik modal.[5]
Dari macam-macam syirkah di atas,
harta bersama nampaknya lebih diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah
yang berarati perkongsian bertenaga dan tak terbatas, dan yang mereka hasilkan
dalam masa perkawina menjadi harta bersama, kecuali bentuk pemberian khusus
kepada salah satu istri atau suami. meskipun gono gini tidak diatur secara
jelas dalam fiqh islam, namun keberadaanya diterima oleh sebagian besar ulama’
indonesia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa masyarakat indonesia
antara suami dan istri bersama untuk saling melengkapi dalam hal ekonomi.
Imam Syafii tidak memperbolehkan bentuk
syirkah perkongsian yang disamakan dengan harta bersama pasca putusnya
perkawinan, karena tidak bermodal, dan juga pada dasarnya yang dinamkan syirkah
adalah percampuran modal. Namun hal macam ini di tolak oleh Abu Hanifah, karena
bentuk perkongsian ini sudah dijelaskan dalam masysarakat pada umunya, dan
sebagian besar ulama’ dan juga masyarakat pun menerimanya. Alasan Imam Syafii
tertumpu pada sisi bahwa perkongsian itu pada dasarnya untuk mengembangkan
harta dengan disertai modal dari kedua belah pihak terlebih dahulu, namun
menurut Abu Hanifah mengatakan bahwa bentuk perkongsian tersebut bukan untuk
manegembangkan harta, tapi mencari harta, sedangkan mencari harta lebih
dianjurkan dari pada mengembangkan harta. Karna berbeda jika mengembangkan
adalah sudah dengan bentuk modal yang sudah ada, namun mencari harta adalah
belum tentu adanya sebuah modal didalamnya, dan mengandalkan usaha keduanya.[6]
c. Kelompok Yang Memandang Adanya Harta Bersama Dalam
Hukum Islam
Disamping mengetahui ketentuan yang berlaku dalam undang-undang
perkawinan bahwa harta bersama itu diakui dan diatur dalam hukum posistif.
Kelompok ini juga memandangan ketentuan tentang harta bersama itu sesuai dengan
kehendak dan aspirasi hukum Islam. Harta bersama yang dimaksud adalah harta
yang diperoleh pasangan suami istri setelah hubungan perkawinan mereka
berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami
istri maka semuanya menjadi satu baik harta maupun anak-anak. Sebagaimana yang
datur oleh al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21 yang menyebutkan perkawinan sebagai
suatu ikatan perkawinan yang suci, kuat dan kokoh (mitsaqah ghalidhan),
artinya perkawinan yang dilakukan
melalui ijab Kabul dan memenuhi syarat
serta rukun perkawinan lainnya seperti wali, saksi, mahar, dan I’lanun nikah
(pemberitahuan perkawinan) sudah merupakan syirkah antara suami dan istri. Oleh
karena itu, hal-hal yang berkenaan dengn hubungan perkawinan mereka termasuk
masalah harta benda menjadi milik bersama.[7]
Berdasarkan dua pemetaan pandangan
tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik
itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak atau aspirasi hukum
Islam itu sendiri. Inilah pendapat yang benar dan dipegang oleh penulis,
berdasarkan I’jaz al-Qur’an “
Shalih likulli zaman wa makan”. Tidak mungkin ada
perkara yang luput atau sengaja diluputkan oleh Allah swt ketika kitab suci itu
di Inzal- kan kepada
manusia termulia, Muhammad saw. Al-Qur’an mengatur segala permasalahan yang
dihadapi manusia, dulu, sekarang dan manusia di masa mendatang, baik problema
itu tersurat secara gamblang, isyarat ataupun kesamaan illat dengan perkara-perkara
yang hukumnya secara gamblang dituturkan dalam kitab suci itu. Bersambung
!
[1] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya
Perceraian, hal. 15
[2]
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999),
hal. 29
[3] http://aphiedmz.blogspot.co.id/2011/08/pemikiran-harta-bersama-di-indonesia.html dengan perubahan seperlunya.
[4] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya
Perceraian, hal. 54
[5] http://aphiedmz.blogspot.co.id/2011/08/pemikiran-harta-bersama-di-indonesia.html dengan perubahan seperlunya.
[6]
H.M.A Tihami. Sohari Sahrani. Fiqkih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta; Rajawali Pers. 2010. Ed 1. Hlm 183.
[7] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), hal. 232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan