RADIO DEWI ANJANI

HARTA BERSAMA (3): KLASIFIKASI HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Sumber: Bacaanmadani.com
 KLASIFIKASI HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
OLEH :
Wildan Kurnia Saputra
Perkawinan dengan segala kasus krusial di dalamnya memang selalu menyisihkan tanda tanya. Dalam kasus ini kita mendapati polemik-polemik yang sudah, sedang atau akan dibahas oleh para cendikia yang ahli dibidangnya. Salah satu contohnya adalah mengenai harta benda dalam perkawinan.
Di era klasik, permasalahan ini belum –kalau enggan mengatakan tidak- dibahas oleh para ulama yang hidup pada masa itu. Tetapi, dengan semakin kompleksnya permasalahan di masyarakat yang dalam hal ini menyangkut perkawinan, ulama-ulama kontemporer dituntut untuk membahas setiap sudut dari pernikahan itu sendiri. Lantas, dalam salah satu sudutnya muncul isu gono gini yang memaksa para tokoh Islam Indonesia -mengingat gono gini menurut sementara pendapat hanya ditemukan di Indonesia- untuk melakukan cross check ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan gono gini. Tentunya, sesuai dengan karakter masyarakat Islam Indonesia Modern, para ahli Ijtihad Indonesia ditunut untuk menyodorkan masalah ini dengan lebih lugas, ringan dan enumeratif.
Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat (1). Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui hanya harta bersama sebab berdasarkan KHI pasal 85, yang juga ditegaskan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Di Indonesia, dinyatakan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.[1]
Harta benda dalam perkawinan –menurut para pakar- dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, sebagai berikut :

a.      Harta Bersama

Sebagaimana telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51 ayat 1:
1)     Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan sertta pengelolaan harta bersama.

2)     Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama baik mengenai harta bersama ataupun mengenai anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.[2]

             Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami istri. Sesuai namanya yakni harta bersama suami istri, maka selama mereka masih terikat dalam perkawinan harta itu tidak dapat dibagi. Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati.[3]

b.      Harta Bawaan
Harta bawaan adalah “harta benda milik masing-masing suami istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah”.[4]
Tentang macam harta ini, KHI pasal 87 ayat (1) mengatur, “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawianan”.
           Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suami atau istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Sebagai Dasar hukumnya adalah undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (2), yang mengatakan bahwa, “megenai harta bawaan masing-masing suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Hal senada juga dinyatakan dalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan  perbuatan   hukum   atas   harta   masing-masing berupa hibah,
hadiah, sedekah, atau lainnya”. Artinya berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangan yang lain.
            Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika sepasang pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjajian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antar harta bawaan dengan harta bersama.[5]

c.       Harta Perolehan
Harta perolehan adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”.
Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, tetapi harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan.
Sebagaimana halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam pertjajian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”.
Harta perolehan sama dengn harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta bersama, yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik masing-masing suami istri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha bersama atau usaha masing-masing.
Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga suami, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:[6]
a.      Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
b.      Harta yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawianan yaitu harta pencaharian.
c.       Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
d.      Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan. Bersambung !




[1] Ahmad Rofiq, “Hukum Islam Di Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 201
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: gema insani, 2003), hal. 127
[4] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal. 15
[5] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian, hal. 15
[6] Imam Sudiyat, “Hukum Adat”, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 143-144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan

Rabbaanii Islamic School Bekasi