OLEH :
Wildan
Kurnia Saputra
Perkawinan
dengan segala kasus krusial di dalamnya memang selalu menyisihkan tanda tanya.
Dalam kasus ini kita mendapati polemik-polemik yang sudah, sedang atau akan
dibahas oleh para cendikia yang ahli dibidangnya. Salah satu contohnya adalah
mengenai harta benda dalam perkawinan.
Di era klasik,
permasalahan ini belum –kalau enggan mengatakan tidak- dibahas oleh para ulama
yang hidup pada masa itu. Tetapi, dengan semakin kompleksnya permasalahan di
masyarakat yang dalam hal ini menyangkut perkawinan, ulama-ulama kontemporer
dituntut untuk membahas setiap sudut dari pernikahan itu sendiri. Lantas, dalam
salah satu sudutnya muncul isu gono gini yang memaksa para tokoh Islam
Indonesia -mengingat gono gini menurut sementara pendapat hanya ditemukan di
Indonesia- untuk melakukan cross check ajaran-ajaran Islam yang
berhubungan dengan gono gini. Tentunya, sesuai dengan karakter masyarakat Islam
Indonesia Modern, para ahli Ijtihad Indonesia ditunut untuk menyodorkan masalah
ini dengan lebih lugas, ringan dan enumeratif.
Ikatan
perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana
tertuang dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat (1). Namun, bukan berarti
dalam perkawinan yang diakui hanya harta bersama sebab berdasarkan KHI pasal
85, yang juga ditegaskan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul Hukum
Islam Di Indonesia, dinyatakan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau
istri”.[1]
Harta benda dalam perkawinan –menurut para pakar- dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam, sebagai berikut :
a.
Harta Bersama
Sebagaimana
telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah “harta benda yang
diperoleh selama perkawinan”. Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang
sama atas harta bersama. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51
ayat 1:
1)
Seseorang
istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan sertta pengelolaan harta
bersama.
2)
Setelah
putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang
sama baik mengenai harta bersama ataupun mengenai anak-anaknya, dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.[2]
Setelah putusnya perkawinan,
seseorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Harta yang dihasilkan bersama oleh suami
istri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami istri. Sesuai namanya yakni
harta bersama suami istri, maka selama mereka masih terikat dalam perkawinan
harta itu tidak dapat dibagi. Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya
dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati.[3]
b.
Harta Bawaan
Harta bawaan
adalah “harta benda milik masing-masing suami istri yang diperoleh sebelum
terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah”.[4]
Tentang macam
harta ini, KHI pasal 87 ayat (1) mengatur, “harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawianan”.
Harta bawaan bukan termasuk dalam
klasifikasi harta bersama. Suami atau istri berhak mempergunakan harta
bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya.
Sebagai Dasar hukumnya adalah undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (2), yang
mengatakan bahwa, “megenai harta bawaan masing-masing suami atau istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya”. Hal senada juga dinyatakan dalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas
harta masing-masing berupa
hibah,
hadiah,
sedekah, atau lainnya”. Artinya berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang
dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh
pasangan yang lain.
Harta bawaan bisa saja menjadi
harta bersama jika sepasang pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian
perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjajian perkawinan yang
mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antar harta bawaan
dengan harta bersama.[5]
c.
Harta Perolehan
Harta perolehan
adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing
pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”.
Harta ini
umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui
usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta
bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, tetapi harta macam ini diperoleh
setelah masa perkawinan.
Sebagaimana
halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing
pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
pertjajian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat (2), “suami dan
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”.
Harta perolehan
sama dengn harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta bersama,
yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik masing-masing suami
istri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha bersama atau usaha
masing-masing.
Dalam
kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
suami, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:[6]
a.
Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta
bawaan.
b.
Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawianan yaitu
harta pencaharian.
c.
Harta
yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau
sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
d.
Harta
yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah
yang kita sebut hadiah perkawinan. Bersambung !
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, (Jakarta: gema insani, 2003), hal. 127
[4] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya
Perceraian, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal. 15
[5] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya
Perceraian, hal. 15
[6] Imam Sudiyat, “Hukum Adat”, (Yogyakarta: Liberty, 1981),
hal. 143-144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan