RAKSASA SEUKURAN KURCACI
Oleh:
Masih ingat peristiwa 11 September tahun 2001 silam ? Anda yang
masih remaja kala itu pasti tidak akan lupa di saat menara kembar World Trade
Center (WTC), New York, Amerika Serikat runtuh akibat sebuah insident. Gedung
yang menjadi simbol kemajuan ekonomi negara adikuasa itu luluh lantak dalam
hitungan menit, beberapa saat setelah ditabrak pesawat sipil yang konon dibajak
teroris. Tak luput dari incaran media, kejadian itu pun langsung menjadi berita
internasional dan menjadi buah bibir dunia.
Memang, penulis tidak tahu apa-apa tentang apa yang diperbincangkan
media ketika itu, karena saya sendiri saat kejaidan tersebut kira-kira masih
berumur 7 tahun. Namun apa yang menjadi rekaman media menjadi saksi dan akan terus bisa ditelusuri
oleh generasi yang muncul setelahnya. Tak terkecuali kita. Bagi yang sering
mengacak-acak sumber informasi pasti mengetahui kronologi awal sampai akhir kejadian
tersebut, yang sampai kini masih diselimuti berbagai macam teori konspirasi.
Kejadian yang populer disebut 9.11 (nine one one) itu meskipun
berlansung puluhan tahun lalu, namun dampaknya masih terasa hingga kini. Invasi
AS ke Afganistan dan Iraq adalah dua contoh kejadian yang berkaitan dengan
9.11. Yang paling menyedihkan, runtuhnya gedung kembar WTC itu telah berhasil
mengubah wajah dan pemikiran dunia terhadap kaum muslimin di berbagai negara
dengan manaruh label ‘fundamentalis, extrimis dan teroris’ yang kesemuanya dikonotasikan
sebagai sebuah keburukan.
Diketahui memang, jauh sebelum tragedi 9.11, sebagaimana termuat
dalam artikel di News Week Magazine pada 16 April 1979, dikatakan bahwa dalam
jangka waktu ± 150 tahun sudah lebih dari 60.000 ribu buku telah ditulis untuk
menyerang Islam. Jika dihitung, ini berarti ada lebih dari satu buku ditulis
setiap harinya. Dan setelah kejadian runtuhnya gedung kembar, angka ini
–menurut DR. Zakir Naik- terus meroket bahkan mencapi tingkat epidemik.
Hal semacam ini tentunya merupakan fitnah terang-terangan yang
dilontarkan kepada seluruh muslim di seantero jagat. Yang tersebar begitu cepat
lewat berbagai macam media yang tidak bertanggung jawab dan sangat
berkepentingan dengan apa yang dihasilkan lewat virus kebencian tersebut.
Karena itu, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekarang ini media
adalah senjata paling penting di dunia. Media dapat mengubah hitam menjadi
putih, siang menjadi malam, pahlawan menjadi penjahat dan lain-lain tergantung otak
siapa dibalik media tersebut.
Di Indonesia misalnya. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa begitu
banyak media yang tersebar, bahkan tak tanggung-tanggung -menurut analisa
penulis- media-media yang ada bahkan bekerja secara berjamaah untuk memojokkan
Islam. Memang bukan semuanya, tapi rata-rata. Cara kerjanya pun begitu
profesional, seolah-olah apa yang disampaikan itu benar adanya sehingga banyak
masyarakat yang terpedaya. Inilah salah satu tantangan yang dihadapi umat Islam
Nusantara.
Di sisi lain belum lagi serbuan yang muncul dari dalam tubuh umat
Islam sendiri. Masih banyak saudara-saudara muslim kita yang belum sadar
sepenuhnya akan arti penting sebuah persatuan. Karenanya, banyak kita dengar
dan saksikan satu golongan menyalahkan bahkan mencela dan menghujat golongan
lain yang dianggapnya tidak seirama dengan pemahamannya. Hal itu menurut
sementara pengamat di sebabkan yang salah satunya adalah karena adanya proxi
war di tengah-tengah kita. Ya, Umat Islam sedang di adu domba.
Siapa yang mengadu domba ? Secara obyektif bisa dikatakan, pengadu
domba bisa datang dari luar dan dari dalam Islam itu sendiri, baik dilakukan
secara sadar maupun tidak sadar. Di sini tanpa menyalahkan siapa-siapa,
hendaknya setiap individu muslim mengintrofeksi diri masing-masing. Pihak luar
tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kita yang dari dalam tidak terkungkung
dalam kandang dan masih terkotak-kotak dalam memahami dan mengamalkan Islam
yang paripurna ini. Kita masih belum se-iya se-kata dalam memahami
ajaran dari Nabi kita tercinta.
Memang, bersepakat pada perkara-perkara furu’iyyah
zhanniyah itu mustahil. Bahkan perbedaan pada
tataran ini dianggap wajar dan disebut-sebut sebagai rahmat. Perbedaan adalah
rahmat. Karenanya, kita dapati para sahabat dan ulama-ulama masa lalu sering
berbeda pendapat yang tidak sampai membuat mereka saling menyalahkan dan
menghujat antara satu dengan yang lainnya. Apalagi saling mengkafirkan. Tetapi,
jika perbedaan itu ada dan timbul dalam skala-skala dasar yang merupakan
prinsip dalam beragama, maka seyogyanya harus kita tinggalkan. Jika dibiarkan
dan tidak segera di sadari, maka lambat laun akan menjadi bumerang bagi umat
Islam itu sendiri.
Mari kita dengar apa kata Tuhan kita Allah swt:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ
وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang
sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku
bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.
(QS. Asy-Syura’ [42]: 10)
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An Nisa: 59)
Dari segi kuantitas, sudah tidak dipertanyakan lagi kalau jumlah
penganut muslim Indonesia menempati pringkat number wahid. Menurut data terakhir, tidak kurang dari 206.986.560 umat islam di Indonesia, dari total ± 1,6
milyar Muslim di seantero bumi. Angka ini jelas mengalahkan jumlah muslim di negara-negara
yang bahkan disebut sebagai negara Islam sekalipun, sebut saja seperti Pakistan
yang penduduk muslimnya hanya 180.608.292 dan berada pada rating urutan ke 2 setelah
Indonesia, selanjutnya menyusul India, Banglades dan Nigeria pada urutan 3, 4 dan
5 yang masing-masing jumlah penganut muslimnya 160.945.00, 132.937.800 dan 80.000.000
jiwa. Itu artinya, jumlah penganut Islam di Indonesia sekitar ± 7 % (persen)
dari jumlah total ± 22, 32 % (persen) umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam
Indonesia adalah Raksasanya Muslim.
Karena itu, muslim Indonesia mestinya menjadi kiblat bagi seluruh
umat Islam di dunia. Muslim Indonesia harus menjadi contoh keberagamaan yang
baik, yang mampu memikul semboyan agama Islam sebagai agama yang Rahmatan
lil ‘alamin. Apalagi jika melihat kebinekaan yang ada di Indonesia. Muslim
Indonesia mestinya menjadi panutan dan pengayom bagi saudara-saudara kita di
luar sana, baik yang muslim maupun non muslim dengan tanpa menceburkan diri
dalam lubang liberalisme. Bukan malah sebaliknya menjadi apatis dan cuek-cuek
saja tentang keberlangsungan ajaran Islam di masa sekarang, lebih-lebih di masa
mendatang.
Sebenarnya, solusi untuk menegakkan Islam yang kita cintai ini
tidaklah sulit. Jalan keluarnya sudah sering kita dengar dari
pengajian-pengajian, ceramah-ceramah dan pidato para ulama kita. Sesuai firman
Allah dan Hadits Nabi di atas: KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH. Namun
sayang, praktik dari solusi yang ditawarkan Allah dan Rasulnya tersebut masih
belum bisa kita bumikan di seluruh lini kehidupan.
Contoh yang menurut penulis paling menonjol dan kekinian adalah
mengenai ‘boleh atau tidak bolehnya umat Islam menjadikan non-Islam sebagai
pemimpin’. Setelah polemik ini terjadi, lantas mencuat berbagai macam wacana
pemikiran. Yang satu mengatakan ‘boleh’ yang lain ‘tidak’. Ada yang berucap
‘halal’, ada juga yang mengatakan ‘haram menjadikan non-muslim sebagai pemimpin’.
Selain itu, ada juga yang masih remang-remang pendiriannya alias ragu-ragu,
boleh atau tidak. Penulis tidak mau bersusah payah mengemukakan argument mereka
masing-masing di sini.
Saya cuma mau menekankan, bahwa setelah wacana tersebut naik ke
permukaan. Lantas seluruh ulama -yang dianggap menganut Islam Fundamental -
menfatwakan tentang ketidakbolehan umat Islam menjadikan non-Islam sebagai
pemimpin. Apa yang mereka fatwakan bukan sekedar keinginan, melainkan juga
sebuah ketetapan mayoritas ulama-ulama salaf yang merupakan hasil kajian dalam
mentelaah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dan alhamdulillah juga
sudah dilakukan berbagai macam cara untuk menyadarkan (mungkin lebih tepat:
memberitahukan) masyarakat. Yang disayangkan, alih-alih bisa paham, malah
katanya pendukung muslim untuk si calon non-muslim menjadi lebih banyak, tanpa mengesampingkan
ada juga muslim yang sadar dan tergugah hatinya untuk berjuang.
Yang juga tak kalah disayangkan setelah bersepakatnya ulama,
ternyata masih ada aktifis muslim yang pemikirannya masih kong kali kong
dengan pihak yang membelakangi Islam. Tidak hanya sekedar pendapat, mereka juga
tak mau kalah berkoar-koar menyuarakan ide dan gagasan yang dianggapnya modern,
lebih pancasilais dan nasionalis. Saya pun tak habis pikir, kenapa
masalah yang sudah jelas seperti ini digugat, diobok-obok dan banyak suara disumbang
oleh orang-orang yang ber-KTP Islam, padahal para ulama sepanjang zaman telah
ijma’ (konsensus) menegaskan bahwa non-muslim tidak boleh jadi pemimpin bagi
umat Islam yang mayoritas.
Tak perlu
ditelusuri secara implisit, secara ekplisit pun sudah jelas apa yang dikabarkan
oleh Rasulullah saw, begitu juga di banyak ayat dalam al-Qur’an dengan terang
benderang Allah swt tidak membolehkan non-muslim menjadi pemimpin umat
mayoritas ini. Silahkan anda cross cheking sendiri, misalnya dalam
beberapa ayat berikut: QS. Ali Imran [3]: 28, Al-Maidah [5]: 51dan lain-lain.
Nah, sudah
jelas kan. Lantas, akankah kita yang masih menganggap diri kita muslim berani piwal
dengan apa yang dibawa oleh Nabi saw. Bukankah keteladanan paling sempurna
tentang apa yang diajarkan Allah dalam al-Qur’an adalah apa yang dikatakan,
ditetapkan dan dicontohkan sendiri oleh Rasulullah saw. Mengapa kita tidak mau
sekata dengan para ulama dari kalangan agama kita sendiri ? Yang pemikiran dan
kelakuannya masih seiring dan sejalan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukankah
kata Qur’an kita adalah umat terbaik yang dihidupkan di akhir zaman ? Bagaimana
bisa menjadi baik kalau dalam hal ikut Allah dan Nabi-Nya saja kita masih harus
mikir dua kali ?
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.
(QS. Al-Ahzab [33]: 21)
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali Imran [3]: 110)
Di atas hanya sebuah fenomena dari sekian banyak hal yang di
dalamnya kita perlu kaji ulang lagi mengenai sejauh mana kita bertuhan kepada
Zat Yang Maha Tunggal itu, sudah sejauh mana kita menteladani makhluk paripurna
yang disebut sebagai ‘al-Qur’an berjalan’ itu. Juga, sudah sejauh mana misi
Islam yang Rahmatan lil ‘alamin itu tertanam kuat dalam iman, hati,
pikiran dan tindakan kita. Sehingga kita benar-benar akan menjadi umat teladan
sekaligus umat terbaik yang dihamparkan di penghujung zaman ini.
Kelihatannya memang, apa yang penulis utarakan terkesan begitu
idealis yang mustahil bisa dilaksanakan, atau apalagi terealisasikan. Tetapi,
memang seperti itulah keinginan Allah dan Rasul-Nya. Tugas kita sebagai muslim
yang baik adalah hanya sebagai ‘penyampai’ sekaligus menjadi ‘agent of
change’ sebagaimana Rasul dulu di tengah-tengah orang Arab Jahiliyah yang
nasab ketololannya sudah sampai ke taraf ‘goblok’. Bahkan hebat bin ajaib, pada
masa hidup beliau sebagai rasul, Nabi tercinta itu berhasil mengi-Islam-kan
hampir seluruh jazirah arab dalam kurun waktu yang relatif singkat. Beliau
mendapat wahyu pertama kali tahun 610 M, yang lantas didakwahkan
sembunyi-sembunyi sampai 613 M. Baru pada tahun 614 M beliau bersuara secara
terbuka menyebarkan Islam dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang, itu
terus beliau lakukan dan berakhir pada tahun
632 M/11 H. Beliau saw. menghadap-Nya.
Sebagai umat
Islam yang hidup di era millenium, hal tersebut seharusnya kita jadikan sebagai
motivasi untuk terus menegakkan, mengamalkan dan mendakwahkan Islam sebagai
agama yang damai. Lebih-lebih umat Islam Indonesia yang sekarang sedang menjadi
raksasanya. Kita harus bisa membuktikan pada dunia bahwa Islam bukan agama extrimis,
islam bukan agama yang intoleran atau apalagi teroris dan bukan agama yang
distigmakan dengan cap-cap tidak baik lainnya. Kaum Muslimin adalah orang-orang
yang menganut teguh prinsip “Rahmat bagi seluruh Alam”. Rahmat bagi benda mati
apalagi benda hidup. Muslim itu adalah rahmat bagi dirinya sendiri, bagi
keluarga, lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Rahmat bagi orang Kristen,
Hindu, Budha, dan selusin agama-agama yang lain. Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (QS. Al-Anbiyaa’[21]: 107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيراً وَنَذِيراً وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُونَ
Dan Kami
tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui (QS. Saba’[34]: 28)
Apa yang kita wacanakan di atas mustahil bisa tercapai tanpa
persatuan dan kesatuan kita dalam membumikan al-Qur’an dan As-Sunnah secara
holistik dan lebih konfrehensif. Sebenarnya, seluruh sisi kehidupan manusia jika
bersentuhan dengan isi petunjuk al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjadi terang
benderang dan bakal menghantarkan umat ini menjadi umat teladan dalam arti yang
sesungguhnya. Sehingga umat Islam, khususnya mayoritas muslim indonesia tidak
akan dipandang lagi sebagai ‘kurcaci cebol’ yang tidak bisa apa-apa sebagaimana
terlihat dewasa ini. Melainkan berdiri kokoh sebagai raksasa yang penuh dengan
cinta damai, sembari bertindak keras terhadap pihak-pihak yang berani
merong-rong umat dan ajarannya ini.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُم
بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُوراً مُّبِيناً
Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Qur'an)
(QS. An-Nisaa’ [4]: 174)
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى
وَرَحْمَةٌ لِّقَوْمِ يُوقِنُونَ
Al
Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini. (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 20)
Sudah saatnya umat Islam, lebih-lebih para pemimpinnya –termasuk
Kepala Negara-melirik lebih dalam lagi kebesaran Agama yang sempurna ini, mendalami
keagungan syariat dan ajarannya sebagaimana yang Allah swt telah wasiatkan
kepada Nabi Muhammad saw dan rasul-rasul pendahulunya. Dan terus berusaha
semaksimal mungkin menerapkannya dalam kehidupan individu, keluarga,
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai negara yang berasaskan Tuhan
Yang Maha Esa ini terpecah belah seperti kebanyakan negara-negara Muslim Timur
Tengah.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ
مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. (QS.
Al-Jaatsiyah [45]: 18)
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا
بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya) (QS.
Asy-Syuraa’ [42]: 13)
Wallahu
A’lam bishshawab !.
Catatan: Tul[isan ini diolah dari berbagai sumber
Catatan: Tul[isan ini diolah dari berbagai sumber
Selesai ditulis di: Anjani, 30 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan Ilmu dan Sopan